Terminologi “the winter is coming” di sektor teknologi finansial (tekfin) nampaknya masih belum relevan sepanjang 2019. Kinerja pemain tekfin justru terbilang apik di tengah hiruk pikuk pemberitaan perlambatan ekonomi global. Rekor baru demi rekor baru yang terus diukir seolah menggambarkan optimisme pemain industri ini dalam mengarungi 2020.
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan jumlah pinjaman yang disalurkan oleh pemainP2P lending per Oktober 2019 sebesar Rp68 triliun. Nilai tersebut melonjak 200% dibandingkan posisi akhir Desember 2018 yang baru mencapai Rp22,67 triliun.
Setali tiga uang, hasil riset Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menyebut perusahaan tekfin P2P lending diproyeksi berkontribusi Rp100 triliun terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada 2020. Prediksi itu naik hampir empat kali lipat dibanding 2018, yang berada di angka Rp25,97 triliun.
Sejumlah indikator makro memang terlihat hijau di atas kertas. Namun, prospek industri tekfin bukan berarti akan berjalan mulus tanpa hambatan dalam setahun ke depan. Setidaknya, terdapat tiga catatan penting yang perlu menjadi perhatian regulator dalam memajukan industri ini.
Pertama, pemberantasan praktik tekfin ilegal. Isu perlindungan konsumen dan stigma negatif terhadap industri tekfin terus dibayang-bayangi oleh ulah oknum tidak bertanggung jawab.
Belum adanya ramuan mujarab untuk menjerat para pelakunya disinyalir sebagai salah satu pemicunya. Implikasinya, penindakan yang dilakukan pihak berwenang terkesan seperti bermain kucing-kucingan.
BACA JUGA: ERA BARU KEBANGKITAN TECHFIN
Contohnya, dua perusahaan tekfin ilegal yang diungkap Polres Jakarta Utara di pengujung 2019, yakni PT Barracuda Fintech dan PT Vega Data. Platform pinjaman daring yang dikelola keduanya sebanyak 13 hingga 15 aplikasi, di mana 11 diantaranya telah ditutup.
Tatkala satu aplikasi atau situs pinjaman daring ditutup, media serupa dengan nama berbeda akan muncul kembali oleh oknum yang sama. Demikian model represif yang selama ini berlangsung.
Solusinya, Peraturan OJK yang mengatur industri P2P lending sudah seharusnya diperkuat dengan kehadiran Undang-undang tentang tekfin. Sanksi yang berlaku saat ini, berupa peringatan tertulis, denda, pembatasan kegiatan usaha, dan pencabutan izin dinilai belum cukup efektif.
Buktinya Satuan Tugas Waspada Investasi terus disibukkan dengan penutupan ratusan aplikasi tekfin ilegal yang bermunculan setiap bulannya. Dengan adanya ancaman sanksi pidana lewat UU tekfin, ruang gerak pemain tekfin ilegal niscaya semakin terbatas, serta memberikan efek jera bagi pelaku secara simultan.
Kedua, wacana pembatasan jumlah pemain tekfin P2P lending. Ihwal munculnya opsi tersebut tentu tidak terlepas dari dalih kesamaan model bisnis antar pelaku. Dengan bermodalkan jaringan internet, seluruh pemain dapat menjangkau target konsumen yang sama dari Sabang hingga Merauke.
Pembatasan jumlah pemain turut membantu regulator dalam melakukan pengawasan. Pengalaman Tiongkok barangkali bisa menjadi referensi menarik.
Pada 2018 Negeri Tirai Bambu menetapkan sepuluh kebijakan pengaturan industri tekfin P2P lending, salah satunya larangan atas platform pinjaman daring baru. Ketentuan ini muncul pasca problematika likuiditas yang mendera 73% pemain tekfin P2P lending di sana.
BACA JUGA: NARASI EKSPANSI ALIPAY DAN WECHAT
Di sisi kontra, wacana tersebut praktis akan memantik munculnya pemain-pemain tekfin ilegal yang notabene tidak diakomodir karena alasan ‘kuota’ oleh regulasi. Jumlah pemain tekfin legal saat ini berjumlah 144 perusahaan dan dipastikan akan terus bertambah mengikuti perkembangan inovasi keuangan digital.
Artinya, merupakan suatu kondisi yang tidak adil tatkala regulasi justru menjadi barriers to entry bagi calon pemain tekfin, apalagi jika semata-mata demi melindungi kepentingan pemain lama.
Dari sudut pandang makroekonomi, pasar Indonesia masih memerlukan keterlibatan lebih banyak pihak, tak terkecuali pemain tekfin dalam mendorong inklusi keuangan. Hasil Survei Nasional Literasi Keuangan 2019 menunjukkan indeks inklusi keuangan mencapai 76,19%.
Meskipun angka tersebut sudah melebihi target pemerintah, namun masih lebih rendah dibandingkan negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia dan Thailand.
Berkaca pada sejumlah argumentasi pro dan kontra di atas, wacana pembatasan jumlah pemain tekfin P2P lending sejatinyamasih belum mendesak untuk diterapkan. Pasalnya kondisi industri tekfin domestik relatif lebih aman ketimbang Tiongkok yang memiliki risiko shadow banking sangat besar.
Ketiga, upaya penurunan suku bunga pinjaman. Sudah menjadi rahasia umum bahwa suku bunga pinjaman tekfin dalam negeri cenderung kurang bersahabat bagi debitur kecil. Bunga pinjaman tekfin ditetapkan maksimal 0,8% per hari. Itu berarti sekitar 24% per bulan atau 288% per tahun.
Sangat jauh berbeda dibandingkan bunga pinjaman bank untuk UMKM yang berkisar 20-30% per tahun. Faktor proses pencairan yang cepat tanpa kewajiban penyertaan agunan, disertai tingkat risiko pinjaman yang tinggi menjadi alasan utamanya.
Salah satu cara yang dapat ditempuh ialah mempercepat adopsi Pusat Data Fintech Lending (Pusdafil) oleh seluruh pemain tekfin P2P lending. Pusdafil memungkinkan satu pemain tekfin untuk terhindar dari debitur bermasalah sebagaimana dialami sebelumnya oleh pemain tekfin yang lain.
BACA JUGA: MEMBERANGUS PRAKTIK FINTECH ILEGAL
Dengan profil risiko debitur yang lebih terukur, suku bunga yang dibebankan diharapkan juga akan menurun. Sayangnya, AFPI menyebut baru sekitar 15 pemain tekfin yang telah mengintegrasikan data nasabah ke Pusdafil.
Tidak berhenti sampai di situ, integrasi Pusdafil dengan Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) akan menjadi sebuah kebutuhan mendasar dalam jangka menengah.
Dalam praktiknya, pinjaman daring seringkali dimanfaatkan oleh debitur nakal untuk melunasi pinjaman luring dan sebaliknya. Integrasi kedua layanan ini tak urung akan mencegah perilaku gali lubang tutup lubang tersebut.
Kesimpulannya, pekerjaan rumah regulator ke depan dapat diibaratkan layaknya menjaga keseimbangan dua tuas timbangan. Di satu sisi, langkah pengaturan dan pengawasan sudah sepatutnya dikedepankan mumpung ukuran industri tekfin masih terbatas. Di sisi yang lain, ekosistem inovasi harus dijaga agar tidak terbentur oleh berbagai ketentuan yang membelenggu.
Kehadiran payung hukum dan sistem pengawasan yang terintegrasi mutlak dibutuhkan, namun pada saat yang bersamaan proses seleksi alam tetap harus berjalan sesuai mekanisme pasar.
Artikel ini telah dimuat di Harian BISNIS INDONESIA 4 Januari 2020