Jul 25, 2022 | Articles on Media
Apa risiko terburuk bagi sebuah negara jika melegalkan Bitcoin sebagai alat pembayaran? Jawabannya krisis ekonomi dan jebakan utang. El Salvador mungkin satu-satunya negara yang menelan pil pahit ini.
Pada September 2021 El Salvador resmi menjadi negara pertama di dunia yang mengakui Bitcoin sebagai alat pembayaran yang sah. Presiden El Salvador, Nayib Bukelele yakin jika negaranya akan menjadi pusat keuangan dunia lewat mimpi kota Bitcoin yang sedang dibangun.
Ada tiga alasan pemerintah El Salvador mengambil langkah ekstrim ini. Pertama, El Salvador tidak punya mata uang sendiri. Negara itu menggunakan dolar Amerika untuk transaksi sehari-hari.
Kedua, 70% dari populasi El Salvador tidak punya rekening bank dan bekerja di sektor informal. Ketiga, perekonomian El Salvador sangat bergantung pada remiten pekerja migran, yang mayoritas berada di Amerika Serikat.
Sayangnya, perjudian Bukelele tidak kunjung berbuah manis. Hari pertama Bitcoin resmi menjadi mata uang nasional El Salvador, nilainya justru anjlok.
Beberapa bulan setelahnya, El Salvador dikabarkan terjerat banyak utang. Bukele dikabarkan berusaha melobi International Monetary Fund (IMF) untuk pinjaman US$ 1,3 miliar atau sekitar Rp 18,6 triliun.
Harus diakui isu pergolakan harga Bitcoin yang sangat liar merupakan pangkal dari semua permasalahan ini. Padahal salah satu syarat sebuah benda bisa menjadi uang adalah memiliki nilai yang stabil. Pada titik inilah Bitcoin belum bisa disejajarkan dengan mata uang resmi yang dikeluarkan oleh bank sentral.
BACA JUGA: METAVERSE DAN MASA DEPAN UANG
Sejak awal kemunculannya pada 2008, kehadiran Bitcoin telah menarik perhatian bank sentral di berbagai negara. Otoritas sistem pembayaran berupaya mendesain sebuah alat pembayaran baru berbasis blockchain yang serupa dengan Bitcoin, namun sah sebagai legal tender.
Alat pembayaran itu lantas dikenal dengan nama mata uang digital bank sentral atau Central Bank Digital Currency (CBDC). Kelak di Indonesia akan disebut Digital Rupiah.
Mengutip data Atlantic Council, saat ini ada sepuluh negara yang sudah meluncurkan CBDC, diantaranya Bahama (Sand Dollar) dan Nigeria (eNaira). Di samping itu, terdapat juga 15 negara yang sudah masuk tahap percontohan, 24 negara di tahap pengembangan, dan 43 negara berada pada tahap riset.
Alternatif CBDC
Topik pembahasan CBDC menjadi diskursus menarik sepanjang perhelatan Festival Ekonomi dan Keuangan Digital (FEKDI) pada Juli 2022. Berbagai lembaga internasional seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia dan Bank for International Settlement (BIS) turut memberikan pandangannya tentang desain CBDC.
Maklum, saat ini belum ada standar baku atau best practice yang sahih dan bisa menjadi acuan bank sentral dalam menerbitkan CBDC.
Secara teoritis, CBDC terbagi menjadi dua jenis berdasarkan tujuan penggunaannya. Pertama, CBDC grosir (wholesale CBDC). Nantinya bank sentral akan memberikan sebuah rekening kepada lembaga untuk menyimpan dana dan penyelesaian transfer antar bank.
Manfaat paling penting dari jenis CBDC ini ialah pembayaran dan setelmen yang lebih efisien, serta pengurangan risiko kredit dan likuiditas pihak bank lawan.
Kedua, CBDC ritel. Penggunaannya seperti uang kartal yang dipakai sehari-hari, namun dalam bentuk digital. Ada dua CBDC ritel, yaitu berbasis token dan berbasis akun. CBDC berbasis token bisa diakses dengan ‘kunci’ oleh siapapun sehingga memungkinkan adanya transaksi anonim.
Sementara CBDC berbasis akun mewajibkan identifikasi digital untuk mengakses akun milik pengguna sehingga tidak memungkinkan transaksi anonim.
Di samping itu, ada dua opsi pendekatan penerbitan CBDC yaitu secara langsung (one-tier) dan secara tidak langsung (two-tier). Pada pendekatan one-tier, masyarakat bisa memperoleh CBDC melalui rekening individu yang dibuka di bank sentral.
Sebaliknya pada pendekatan two-tier, penerbitan CBDC dilakukan lewat dua tahap, yaitu lewat bank sentral lalu perbankan. Mekanisme ini persis dengan pengedaran uang kartal yang selama ini dilakukan.
BACA JUGA: TATANAN BARU SISTEM PEMBAYARAN
Berdasarkan karakteristik perilaku konsumen Tanah Air, IMF menyarankan Indonesia untuk mengadopsi CBDC ritel. Alasannya karena preferensi masyarakat yang masih cenderung nyaman bertransaksi secara tunai.
Di samping itu, pilihan ini juga didasarkan oleh nilai agregat transaksi uang elektronik yang meningkat signifikan sekitar 49 % atau mencapai Rp 305,4 triliun.
Pertumbuhan eksponensial ini turut didukung oleh tren pembayaran di e-commerce didominasi oleh dompet digital. Statista mencatat pangsa dompet elektronik mencapai 30% dari total transaksi e-commerce pada 2020.
Data tersebut tidak terlepas dari menjamurnya pemain dompet digital raksasa di Indonesia, seperti GoPay, Ovo, Dana dan LinkAja.
Di sisi lain, penerbitan CBDC menggunakan pendekatan two-tier dinilai lebih cocok dengan lanskap sistem keuangan Indonesia yang masih didominasi oleh industri perbankan.
Apalagi pada mekanisme one-tier, proses penerbitan CBDC yang diikuti penerimaan simpanan di bank sentral berpotensi memunculkan konflik kepentingan bagi bank sentral selaku regulator dan pengawas.
Problematika perpindahan simpanan masyarakat di bank komersial ke bank sentral juga harus diantisipasi. Misalnya dari sisi pendanaan, bank niscaya akan kehilangan sebagian sumber dana ritel sehingga harus mengembangkan sumber dana lain, terutama wholesale funding.
Imbasnya, fungsi intermediasi perbankan dalam sistem keuangan terganggu dan mengurangi arus pendapatan bank karena sumber dana menjadi lebih mahal.
BACA JUGA: QUO VADIS PENGATURAN DECENTRALIZED FINANCE
Terlepas dari opsi desain mana yang akan dipilih, aspek legal formal terkait penerbitan CBDC juga harus diperhatikan. Adanya penerbitan CBDC oleh bank sentral sebagai perluasan bentuk uang fisik menjadi digital membutuhkan penyesuaian terhadap Undang-Undang (UU).
Hasil penelitian IMF (2020) menunjukkan hanya 23% bank sentral yang diijinkan oleh UU untuk menerbitkan mata uang secara langsung dalam format digital. Sementara itu, 61% bank sentral masih dibatasi kewenangan penerbitan mata uang hanya untuk uang kertas dan uang logam.
Tak ayal perjalanan menuju penerbitan CBDC memang masih panjang. Bank Indonesia akan mengeluarkan white paper pengembangan Digital Rupiah pada akhir tahun ini. Satu hal yang pasti, penerbitan Digital Rupiah akan selalu mengedepankan tiga prinsip, yaitu well-planned, well-calibrated, dan well-comunicated.
Kebijakan yang amat krusial ini akan direncanakan, dikalibrasi dan dikomunikasikan sebaik mungkin oleh Bank Indonesia.
Artikel ini telah dimuat di Harian KONTAN 25 Juli 2022
Jul 20, 2022 | Articles on Media
Kata ‘kolaborasi’ seolah menjadi mantra ajaib pada perhelatan Festival Ekonomi dan Keuangan Digital Indonesia 2022. Bagaimana tidak, Bank Indonesia bersama Pemerintah meluncurkan telah Gerakan Sinergi Nasional Ekonomi dan Keuangan Digital di sela-sela kegiatan berlangsung.
Komitmen ini seakan menegaskan satu pesan penting. Ekonomi digital diyakini akan menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi di masa depan.
Sejumlah data mendukung argumen ini. Nilai ekonomi digital domestik mencapai US$ 70 miliar tahun lalu. Angka itu diestimasi terus mengembang hingga menyentuh US$ 146 miliar pada 2025. Sejalan dengan itu, Indonesia juga menjadi tujuan utama investasi digital di Asia Tenggara dengan porsi hingga 40%.
Segendang sepenarian, Bank Indonesia juga menegaskan statistik serupa. Nilai transaksi lokapasar (marketplace) sepanjang 2022 diperkirakan tumbuh 31% atau menjadi Rp536 triliun.
Dari sisi perbankan, nilai seluruh layanan digital perbankan tahun ini diproyeksikan mampu mencapai Rp51.000 triliun atau tumbuh 26% dibandingkan tahun lalu. Pertumbuhan ini tidak terlepas dari meningkatnya preferensi masyarakat dalam berbelanja secara daring.
Tidak dapat dimungkiri bahwa ekonomi digital layak disebut sebagai penyelamat perekonomian domestik di tengah pandemi Covid-19. Ekonomi digital memungkinkan para pelaku usaha tetap melakukan aktivitas ekonomi tanpa tatap muka tatkala himbauan Work From Home (WFH) diberlakukan.
Bahkan, wabah Covid-19 justru mendorong terjadinya transformasi digital jauh lebih cepat dibanding saat kondisi normal.
BACA JUGA: MEMFORMAT ULANG EKONOMI DIGITAL
Menariknya, sejumlah hasil survei menemukan bahwa perubahan perilaku masyarakat akibat wabah Covid-19 cenderung permanen, alih-alih temporer. Kebiasaan konsumen di saat pandemi akan tetap terus berlangsung, meskipun pandemi telah berakhir.
Pola belanja daring, pemesanan makanan lewat aplikasi, dan pembayaran transaksi secara nirsentuh merupakan kenormalan baru yang tak terelakkan.
Kendati menjanjikan banyak keunggulan, namun ekonomi digital masih menyimpan satu pekerjaan rumah krusial. Kebermanfaatan ekonomi digital seyogianya dirasakan seluruh masyarakat hingga lapisan terbawah alias memiliki efek menetes (trickle down effect). Muara akhirnya tentu ialah isu inklusifitas.
Hasil Survei Nasional Keuangan Inklusif 2021 menunjukkan indeks keuangan inklusif telah mencapai 83,6%, mendekati target sebesar 90% pada 2024. Namun apabila dibedah lebih lanjut, masih terlihat kesenjangan antara perkotaan dan pedesaan.
Tercatat penggunaan produk dan layanan keuangan formal oleh penduduk perkotaan mencapai 89,1% atau lebih tinggi dibanding pedesaan yang sebesar 77%.
Digitalisasi daerah
Sinergitas antarotoritas menjadi kata kunci dalam mengurai problematika ini. Bahkan, jauh sebelum Gerakan Sinergi Nasional Ekonomi dan Keuangan Digital digagas, kolaborasi Bank Indonesia dan Pemerintah sejatinya telah berlangsung lama.
Salah satunya lewat pembentukan Satuan Tugas Percepatan dan Perluasan Digitalisasi Daerah (Satgas P2DD). Langkah ini termaktub dalam Keputusan Presiden Nomor 3 tahun 2021 pada awal Maret 2021.
BACA JUGA: LOMPATAN BESAR DIGITALISASI DAERAH
Setali tiga uang, ketentuan tersebut juga mewajibkan semua daerah untuk membentuk Tim Percepatan dan Perluasan Digitalisasi Daerah (TP2DD). Saat ini TP2DD telah hadir di 542 kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
Tak ayal, optimisme tinggi untuk mewujudkan visi Elektronifikasi Transaksi Pemerintah Daerah (ETPD) patut disematkan. Per definisi, ETPD adalah upaya mengubah transaksi pendapatan dan belanja Pemerintah Daerah (Pemda) dari tunai menjadi nontunai berbasis digital.
Harus diakui kebijakan pembayaran nontunai lewat ETPD terbukti efektif dalam mendongkrak tingkat inklusi keuangan. Pengalaman penyaluran bantuan sosial secara nontunai mengonfirmasi kesimpulan ini.
Masyarakat prasejahtera yang sebelumnya tidak memiliki rekening dipaksa membuka diri terhadap layanan jasa perbankan untuk memperoleh bantuan Pemerintah.
Temuan serupa juga terjadi pada studi kasus Program Kartu Prakerja. Menariknya, hasil survei yang diikuti 11 juta penerima manfaat menunjukkan 28% diantaranya baru pertama kali membuka rekening bank atau dompet elektronik.
Berangkat dari alur berpikir di atas, sangatlah tepat jika menyebut sistem pembayaran memegang peran kritikal dalam mengakselerasi digitalisasi daerah. Bank Indonesia sebagai bagian dari Satgas P2DD akan memastikan agar sistem pembayaran Tanah Air berkontribusi terhadap penciptaan ekosistem ekonomi digital yang inklusif.
Untuk mewujudkannya, Bank Indonesia telah menerbitkan Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2025 pada Mei 2019. Setidaknya terdapat tiga inisiatif yang dilakukan bank sentral.
Pertama, penerapan QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) atau standar nasional kode respon cepat pembayaran. Satu kode respon cepat untuk semua aplikasi pembayaran perbankan dan dompet elektronik.
Kedua, implementasi BI-FAST yang memfasilitasi pembayaran ritel secara real-time, aman, efisien, serta tersedia 24 jam sehari dan tujuh hari seminggu (24/7). Perubahan perilaku dalam bertransaksi ke arah daring menuntut dukungan infrastruktur yang mampu memfasilitasi metode pembayaran digital yang serba mobile, cepat, aman, dan murah.
Tren tersebut pada gilirannya memperbesar kebutuhan atas tersedianya pembayaran cepat yang memungkinan pembayaran antar individu yang tersedia setiap saat.
BACA JUGA: MENUJU SISTEM PEMBAYARAN CEPAT
Ketiga, peluncuran Standar Nasional Open API (Application Programming Interfaces) Pembayaran atau yang lebih dikenal sebagai SNAP. Langkah ini memungkinkan terjadinya keterhubungan antara perbankan dengan industri teknologi keuangan.
Sebelum open API hadir, akses konsumen untuk melakukan transaksi hanya terbatas pada kanal yang disediakan oleh bank, seperti mobile banking dan internet banking. Namun setelah open API diimplementasikan, konsumen kini juga dapat mengaksesnya lewat aplikasi pihak ketiga.
Tujuan utama dari ketiga upaya Bank Indonesia di atas ialah menciptakan sistem pembayaran yang saling tehubung (interconnected), saling dapat dioperasikan (interoperable) dan terintegrasi (integrated).
Tanpa adanya monopoli jasa sistem pembayaran oleh pihak tertentu, landskap tersebut niscaya akan mempercepat, memudahkan dan memperkaya opsi bagi Pemerintah dalam menyiapkan program ETPD.
Namun demikian, harus disadari bahwa ikhtiar Bank Indonesia tersebut tidak akan berarti banyak tanpa dukungan regulasi dan infrastruktur dari lembaga lainnya.
Oleh karena itu, kolaborasi Bank Indonesia bersama Pemerintah dan swasta melalui Gerakan Sinergi Nasional Ekonomi dan Keuangan Digital patut kita nantikan bersama.
Artikel ini telah dimuat di Harian JAWA POS 20 JULI 2022
Jul 11, 2022 | Articles on Media
“Banking is necessary, but banks are not”. Demikian ungkapan terkenal Bill Gates 28 tahun silam yang semakin mendekati kenyataan. Kehadiran industri financial technology (fintech) memang menggerus bisnis perbankan. Namun, disrupsi itu belum akan berakhir.
Industri perbankan kini harus bersiap menghadapi pemain baru bernama Decentralized Finance (DeFi) yang digadang-gadang sebagai evolusi sistem keuangan berikutnya.
Kemunculan DeFi tidak terlepas dari perkembangan aset kripto yang kian marak. DeFi merupakan bentuk intermediasi pada ekosistem aset kripto dengan menyediakan berbagai produk dan jasa keuangan sebagaimana yang disediakan oleh perbankan.
Model bisnis DeFi mirip dengan fintech, namun menggunakan teknologi blockchain dan aset kripto berjenis stablecoins sebagai pengganti mata uang dalam bertransaski.
Harus diakui platform DeFi menawarkan banyak peluang yang belum dimiliki Lembaga Jasa Keuangan (LJK) tradisional. Diantaranya ialah efisiensi biaya transaksi, transparansi transaksi dengan pencatatan di blockchain, inklusi layanan keuangan yang lebih luas, serta penyediaan layanan 24/7.
Saat ini DeFi lebih banyak digunakan oleh investor untuk me-leverage investasi pada aset kripto, dibandingkan untuk melakukan intermediasi kepada perekonomian riil dengan tingkat suku bunga pinjaman yang terbilang tinggi.
Namun dengan berbagai perkembangan teknologi dan model bisnis ke depan, tidak menutup kemungkinan DeFi dapat memfasilitasi aktivitas perekonomian riil secara efisien.
Salah satu contohnya adalah DeFi lending USDC Homes di Texas, Amerika Serikat. Platform DeFi ini menawarkan produk KPRdengan jaminan berbagai jenis aset kripto.
Plafon pembiayaan mencapai 80% dengan uang muka dalam bentuk aset kripto. Pinjaman dapat diberikan kepada debitur asing, bebas dari pengaturan transfer dana yang ditetapkan oleh otoritas.
BACA JUGA: ERA OPEN BANKING SISTEM PEMBAYARAN
Apabila ditelaah lebih lanjut, terdapat risiko riil dari studi kasus tersebut. Absennya regulasi yang mengatur DeFi memungkinkan terjadinya praktik shadow banking. Otoritas pun tidak memiliki data yang memadai terkait aliran dana dalam ekosistem platform DeFi.
Implikasinya, fenomena ekonomi yang sedang ekspansif akan sulit dibaca dan diantisipasi oleh otoritas. Potensi gelembung properti sangat mungkin kembali terulang dan lebih sulit untuk dikendalikan karena aliran kredit tidak hanya berasal dari perbankan, namun juga melalui platform DeFi lending.
Financial Stability Board (2022) mengidentifikasi sejumlah tantanganyang dihadapi oleh otoritas terkait DeFi. Dari perspektif legal, regulator terkendala dalam menentukan entitas mana yang bertanggung jawab apabila terjadi permasalahan hukum.
Pasalnya kepemilikan platform DeFi bersifat terdesentralisasi dengan skala bisnis lintas negara, sehingga batasan hukum tidak jelas.
Selain itu, faktor anonimitas tanpa adanya kewajiban Know Your Customer (KYC) membuat DeFi rentan untuk digunakan sebagai media pencucian uang. Mengutip data Chainalysis (2022), nilai pencucian uang melalui platformDeFi meningkat hampir mencapai 2000% pada 2021.
Peristiwa market crash USD Terra (UST) pada Mei 2022 juga menunjukkan adanya risiko sistemik. Kejatuhan nilai UST memicu penarikan aset sebesar UST 8,7 miliar serta likuidasi perjanjian lending lebih dari 35% dari platform DeFi Anchor.
Hal tersebut serupa dengan fenomena bank run pada industri keuangan tradisional yang berpotensi menyulut kesulitan likuiditas.
Kendati demikian, risiko sistemik DeFi mungkin belum akan terlihat dalam waktu dekat. Bank of England (2022) mencatat total nilai pada ekosistem aset kripto global sebesar USD 1,7 triliun. Angka ini masih jauh lebih kecil dibandingkan nilai aset keuangan tradisional global sebesar USD 469 triliun.
Meski begitu, pertumbuhan aset kripto yang eksponensial dan hadirnya intermediasi DeFi kepada perekonomian riil perlu mendapatkan perhatian.
Respon kebijakan
Saat ini respon kebijakan otoritas di tanah air masih terbatas pada perdagangan aset kripto. Bank Indonesia selaku otoritas sistem pembayaran menegaskan bahwa aset kripto bukanlah alat pembayaran yang sah sebagaimana amanat Undang-Undang No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.
Di samping itu, Bank Indonesia melarang Penyedia Jasa Pembayaran (PJP) dan Penyelenggara Infrastruktur Sistem Pembayaran (PIP) untuk memproses transaksi pembayaran dengan virtual currency.
Sejalan dengan langkah bank sentral, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga melarang LJK untuk memiliki eksposur terhadap transaksi aset kripto. Larangan itu mencakup menggunakan, memasarkan dan memfasilitasi perdagangan aset kripto.
Di sisi lain, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI) menetapkan aset kripto sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan. Namun, pengaturannya hanya mencakup aktivitas perdagangan aset kripto.
Selain itu, Kementerian Keuangan telah menerapkan PPN dan PPh atas perdagangan aset kripto sebesar 0,21% sejak 1 Mei 2022.
Sementara DeFi belum memiliki regulasi dan mekanisme pengawasan yang jelas di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Sayangnya, sejumlah pedagang aset kripto lokal yang telah terdaftar ikut menawarkan produk simpanan dan pinjaman berbasis aset kripto yang menyerupai produk yang ditawarkan DeFi.
Masyarakat pun dengan bebas dapat mengakses layanan DeFi di luar negeri. Otoritas perlu merespon untuk mengantisipasi berbagai risikonya terhadap stabilitas sistem keuangan.
BACA JUGA: MENGALKULASI RISIKO LIBRA FACEBOOK
Mengadopsi kerangka berpikir Donald Rumsfeld (mantan Menteri Pertahanan Amerika Serikat), otoritas keuangan global saat ini nampaknya berada dalam kondisi Known Unknowns ketika menyikapi fenomena DeFi.
Mereka telah menyadari pesatnya perkembangan DeFi, namun belum dapat memahami secara utuh risikonya terhadap stabilitas sistem keuangan dan bagaimana cara meregulasinya. Perlu upaya menutup knowledge gap untuk menuju kondisi Known Knowns.
Berangkat dari konfigurasi problematika tersebut, terdapat empat langkah sinergis yang berpeluang dilakukan oleh otoritas sektor keuangan di Indonesia.
Pertama, penguatan data capturing dan analisis dampak sistemik dari ekosistem aset kripto, termasuk DeFi, terhadap stabilitas sistem keuangan. Salah satu inisiatif yang dapat dilakukan ialah mendorong pertukaran data antar otoritas terkait.
Kedua, kolaborasi di tingkat nasional dan internasional. Antara lain dengan penguatan penerapan Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorirsme (APU-PPT) dengan mengikuti standar Financial Action Task Force (FATF) terkini.
Tak ketinggalan aspek perlindungan konsumen juga perlu terus diperkuat. Selain itu, juga diperlukan kerja sama internasional dengan berbagai standard setting bodies untuk menyusun guidance data dan indikator surveilans ekosistem aset kripto.
Ketiga, edukasi dan literasi kepada masyarakat. Masyarakat perlu terus diedukasi terkait dengan tingginya risiko investasi di ekosistem aset kripto dan DeFi. Selain itu otoritas juga dapat berkolaborasi menyusun template self assessment profil risiko yang dapat digunakan oleh caloninvestor aset kripto, sama halnya ketika masyarakat ingin menjadi investor di pasar modal.
BACA JUGA: MENIMBANG DESAIN DIGITAL RUPIAH
Keempat, dibentuknya joint regulatory sandbox. Tujuannya adalah untuk membuka ruang diskusi antara otoritas dan industri, menyamakan level of playing field, serta mencari titik tengah antara inovasi dan prudentiality.
Selain itu, sisi positif dari teknologi blockchain yang digunakan DeFi berpeluang untuk menghadirkan inovasi pada LJK dan PJP yang teregulasi.
Artikel ini telah dimuat di Harian INVESTOR DAILY 11 JULI 2022
Jul 8, 2022 | Articles on Media
‘Angsa hijau’ (green swans) tentu tidak benar-benar ada. Ia hanyalah sebuah metafora. Bank for International Settlements mulai memopulerkan istilah ini pada Januari 2020. Maknanya pun berbeda dengan teori angsa hitam karya Nassim Nicholas Taleb.
Angsa hijau melambangkan sebuah prediksi resesi ekonomi berikutnya. Dan krisis itu bersumber dari satu fenomena, namanya perubahan iklim.
Bill Gates mungkin benar. Pendiri Microsoft itu pernah berujar. Dampak ancaman perubahan iklim bisa lebih buruk ketimbang pandemi Covid-19. Prediksi ini masuk akal. Upaya penanganan isu cuaca ekstrem global dalam 20 tahun terakhir menelan biaya tidak sedikit.
Angkanya menyentuh hingga US$ 5,1 triliun. Apabila terus dibiarkan, suhu bumi akan naik 3,2 derajat celcius dan ekonomi dunia tergerus hingga 18%.
Problematika perubahan iklim harus disikapi secara holistik. Semua pihak memiliki peran untuk melakukan langkah preventif. Bank sentral tak terkecuali didalamnya. Pasalnya ada sebuah keterkaitan di antara keduanya. Perubahan iklim berkorelasi dengan tingkat inflasi yang menjadi ranah tugas bank sentral.
Setidaknya ada dua risiko utama dari perubahan iklim yang melatarbelakanginya. Pertama, risiko fisik yang berasal dari adanya kerusakan lingkungan akibat pengaruh cuaca. Implikasinya, terjadi penurunan produktifitas lahan pertanian yang berujung pada lonjakan harga pangan.
BACA JUGA: BANK SENTRAL DAN URGENSI EKONOMI HIJAU
Kedua, risiko transisi sebagai dampak perubahan struktural dalam perekonomian. Misalnya, pergeseran pemanfaatan sumber energi dari fosil ke baru terbarukan. Tanpa perhitungan matang, kebijakan ini sangat mungkin berbuntut pada melambungnya harga energi.
Situasi ini lantas dikenal dengan sebutan ‘greenflation’, yaitu kenaikan harga barang sebagai ekses negatif dari upaya menuju ekonomi hijau.
Dari perspektif makro, dua risiko ini berpotensi mengguncang stabilitas sistem keuangan. Hal pertama yang terlihat jelas ialah risiko gagal bayar dan risiko pasar sebagai taruhannya.
Terhentinya aktivitas ekonomi akibat bencana alam berskala masif berpengaruh buruk pada kemampuan bayar debitur. Pada saat yang bersamaan, kerusakan properti yang dialami juga menurunkan nilai aset yang menjadi agunan kredit.
Respon perbankan sudah bisa ditebak. Kran kucuran kredit ditutup atas nama prinsip kehati-kehatian dan mitigasi risiko. Tak pelak laju pertumbuhan ekonomi niscaya ikut melambat sebagai konsekuensi logisnya.
Makroprudensial hijau
Kehadiran bank sentral lewat kebijakan makroprudensial hijau tentu sangat dinantikan. Maklum, instrumen ini merupakan senjata ampuh otoritas untuk menjawab tantangan dari sisi pembiayaan. McKinsey (2022) memprakirakan kebutuhan investasi untuk memenuhi target bebas emisi karbon hingga 2050 mencapai US$9,2 triliun per tahun.
Secara konseptual, pencapaian target iklim global tidak hanya membutuhkan pendanaan untuk proyek hijau saja. Di sisi lain, bank dan industri jasa keuangan lainnya punya tanggung jawab untuk membatasi pembiayaan pada usaha padat karbon. Pada titik inilah makroprudensial hijau akan memainkan peran krusial.
Sifat kebijakan makroprudensial memang terbilang unik. Bank sentral dapat mempengaruhi keputusan investasi dan alokasi kredit sektor keuangan lewat instrumen ini.
Kewenangan pengawasan terhadap sistem keuangan menempatkan bank sentral pada posisi yang memungkinkan mereka untuk memberi insentif dan disinsentif, serta mengarahkan sumber daya menuju investasi hijau.
BACA JUGA: KETENAGAKERJAAN DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0
Dalam praktiknya, berbagai instrumen makroprudensial hijau telah dikembangkan di tingkat internasional. Pertama, rasio kredit hijau. Melalui instrumen ini, bank sentral mewajibkan sejumlah proporsi minimum dari kredit perbankan untuk disalurkan kepada sektor hijau.
Misalnya, Bangladesh Bank mengharuskan bank dan non bank untuk mengalokasikan lima persen dari portofolio kreditnya ke sektor hijau.
Kedua, uji stres iklim. Instrumen ini bertujuan untuk mengukur ketahanan lembaga keuangan dalam menghadapi skenario ekonomi yang tidak menguntungkan, khususnya akibat perubahan iklim. OECD mencatat beberapa bank sentral, seperti Inggris, Jepang, Eropa, Australia dan Tiongkok telah memulai inisiatif ini pada 2020-2021.
Ketiga, rasio pinjaman terhadap nilai aset hijau (Loan to Value/LTV hijau). Per definisi, LTV hijau merupakan nilai kredit yang dapat diberikan bank kepada nasabah untuk pembelian aset hijau.
Bank Indonesia telah mengadopsi instrumen ini sejak 2019 lewat pengaturan rasio LTV untuk properti berwawasan lingkungan dan uang muka pemberian kredit kendaraan bermotor berwawasan lingkungan.
Bak gayung bersambut, ruang penyempurnaan instrumen makroprudensial hijau masih terbuka lebar. Argumen ini sejalan dengan peluncuran taksonomi hijau Indonesia. Taksonomi hijau dapat diartikan sebagai klasifikasi sektor berdasarkan kegiatan usaha yang mendukung upaya perlindungan lingkungan hidup, serta mitigasi perubahan iklim.
BACA JUGA: EKSPANSI AKSES KEUANGAN PENJALA
Kehadiran taksonomi hijau setidaknya memiliki dua arti penting. Pertama, mendukung inovasi perumusan berbagai instrumen kebijakan bank sentral. Bank Indonesia akan mengembangkan instrumen rasio intermediasi makroprudensial hijau, penyangga likuiditas makrroprudensial hijau, serta rasio kredit/pembiayaan UMKM hijau.
Kedua, sebagai prasyarat utama harmonisasi bauran kebijakan keuangan hijau antar otoritas. Dengan bahasa yang sama, derap langkah kebijakan makroekonomi, makroprudensial dan mikroprudensial akan semakin sinergis.
Dengan semangat inovasi dan sinergitas di atas, kita patut optimis fungsi intermediasi perbankan Tanah Air akan mampu berkontribusi nyata dalam upaya penanganan perubahan iklim.
Di bawah komando Bank Indonesia dan anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) lainnya, masyarakat menyelipkan sebuah harapan tunggal. Ketahanan sistem keuangan domestik dapat tetap terjaga sehingga mampu menghalau datangnya ‘angsa hijau’ di Indonesia.
Artikel ini telah dimuat di Harian BISNIS INDONESIA 8 Juli 2022
Feb 26, 2022 | Articles on Media
Habis digital banking, terbitlah metaverse banking. Ungkapan ini sangat tepat disematkan pada Bank Rakyat Indonesia (BRI). Setelah sukses membawa BRI Agro bertransformasi menjadi bank digital berlabel Bank Raya, kini BRI tengah berancang-ancang membuka kantor cabang virtual pertamanya di dunia metaverse.
BRI tentu saja tidak sendirian. Langkah serupa juga sedang digarap oleh bank BUMN lainnya, yakni Bank Negara Indonesia (BNI). Di tingkat global, raksasa perbankan investasi JPMorgan Chase bahkan telah resmi dinobatkan sebagai bank pertama yang mendirikan kantor di metaverse.
Dalam laporan publikasinya, bank terbesar asal Amerika Serikat itu menyebut peluang pasar di metaverse diperkirakan bisa mencapai US$ 1 triliun.
Sejumlah bank internasional lain dikabarkan turut serta dalam aksi transformatif ini. Sebut saja, KB Kookmin Bank, Industrial Bank of Korea, NH Nonghyup, Hana Bank, Bank of America, BNP Paribas, Bank of Kuwait dan Mecrobank.
Kehadiran metaverse banking sejatinya merupakan evolusi lebih lanjut dari digital banking. Keduanya sama-sama memberikan jasa perbankan dimanapun dan kapanpun secara instan. Namun, perbedaannya metaverse banking mampu menghadirkan pengalaman yang lebih imersif bagi nasabah.
Layanan dua dimensi di layar gawai cerdas ditransformasi menjadi tampilan tiga dimensi lewat penggabungan virtual reality (VR), augmented reality (AR) dan kecerdasan buatan.
Pada tataran teoritis, fenomena di atas kian menegaskan era Bank 4.0 saat ini. Brett King (2018) mendefinisikan Bank 4.0 sebagai era di mana layanan perbankan melekat dengan nasabah secara real time lewat beragam teknologi.
Layanan mengandalkan kecerdasan buatan dan diberikan lewat omnichannel, tanpa membutuhkan kantor fisik bank sama sekali.
BACA JUGA: WAJAH INDUSTRI ERA METAVERSE
Banyak ahli percaya metaverse sebagai the next game changer di dunia perbankan. Kemunculan perbankan di semesta meta digadang-gadang menjadi jurus ampuh perbankan untuk tetap eksis di tengah kompetisi industri yang semakin ketat.
Metaverse niscaya akan memberikan pengalaman baru bagi nasabah, khususnya bagi mereka yang merasa lebih aman dan nyaman untuk berinteraksi secara langsung.
Nasabah dan petugas perbankan di semesta meta sama-sama direpresentasikan dalam bentuk avatar yang menggambarkan individu asli masing-masing. Interaksi dilakukan di dunia virtual, namun dengan sensasi seakan di dunia nyata.
Keunggulan kompetitif inilah yang kemudian dapat dieksplorasi lebih jauh oleh perbankan dalam menawarkan produknya.
Misalnya, ketika penyampaian ilustrasi produk kredit atau investasi, metaverse memungkinkan ilustrasi dihadirkan seolah-olah nasabah berada di dalam ilustrasi tersebut.
Nasabah tidak lagi hanya sekedar membaca atau membayangkannya saja. Kondisi serupa juga berlaku tatkala nasabah membuka rekening simpanan maupun melakukan transaksi pembayaran.
Hanya bank besar
Jika melihat peta persaingan dan respon terhadap perkembangan teknologi saat ini, strategi metaverse banking diprediksi tidak akan ditempuh oleh semua perbankan.
Kemungkinan besar hanya kelompok bank besar saja yang akan merealisasikannya. Selain karena faktor nominal investasi, perbedaan target nasabah menjadi pertimbangannya.
Dengan menyasar nasabah dari kalangan UMKM, kelompok bank kecil tampaknya lebih nyaman menempatkan dirinya sebatas sebagai bank digital. Segmen nasabah yang dilayani umumnya lebih mengedepankan servis yang cepat, mudah dan murah. Artinya, layanan perbankan cukup dilakukan lewat aplikasi tanpa perlu tatap muka.
Cerita berbeda dihadapi oleh kelompok bank besar. Terdapat golongan nasabah kelas atas dengan predikat nasabah prioritas yang perlu mendapat layanan ekstra. Jumlah nasabah di segmen ini relatif sedikit, namun menguasai mayoritas dana pihak ketiga.
Menariknya karakteristik nasabah prioritas ini masih menitikberatkan pada pengalaman layanan secara langsung. Di sinilah metaverse akan memainkan peran krusial dalam menjaga loyalitas nasabah crazy rich.
BACA JUGA: METAVERSE DAN MASA DEPAN UANG
Sementara dari sisi konsumen, tidak semua nasabah mampu mengakses layanan metaverse banking. Pasalnya harga perangkat VR untuk memasuki ekosistem metaverse masih kurang terjangkau bagi masyarakat kelas bawah.
Belum lagi isu biaya jaringan internet 5G yang juga dinilai belum cukup ekonomis. Tak ayal metaverse banking didesain eksklusif hanya untuk melayani kelompok nasabah tertentu dalam jangka menengah.
Di samping itu, argumen ini seakan turut menegaskan bahwa eksistensi metaverse banking tidak serta merta akan mengeliminasi keberadaan kantor fisik bank. Dalam beberapa kasus, nasabah tetap diwajibkan ke kantor fisik bank karena adanya batasan jenis dan nominal transaksi yang bisa diproses secara digital.
Maka menjadi sebuah diskursus menarik, “Apakah metaverse banking akan menjadi tren perbankan di masa depan?” Jawabannya tentu sangat mungkin, namun dengan beberapa prasyarat mendasar agar ramalan ini bisa terwujud. Pertama, penguatan aspek legal.
Misalnya, terkait implementasi ketentuan proses pengenalan nasabah secara elektronik atau electronic Know Your Customer (e-KYC) di dunia metaverse.
Penerapan e-KYC saat ini bisa beragam. Mulai dari panggilan video, mengirimkan foto wajah, memanfaatkan data kependudukan yang telah terintegrasi dengan data unik (sidik jari dan retina), hingga menggunakan tanda tangan digital.
Sayangnya, praktik e-KYC yang berlaku tersebut belum dapat diimplementasikan sepenuhnya di ekosistem metaverse mengingat perangkat VR yang tersedia masih belum mendukung prosedur tersebut.
BACA JUGA: MENDORONG INDUSTRI BERBASIS INOVASI
Contoh kasus lainnya, “Apakah pembuatan akad kredit dapat dilakukan secara sah di semesta meta?” Jawaban atas pertanyaan ini masih abu-abu. Tanpa adanya payung hukum yang jelas dan mengikat, metaverse banking tak ubahnya dengan showcasing kantor perbankan di dunia virtual semata.
Kedua, pembentukan wajah awal metaverse banking. Sebagaimana layaknya sebuah proyek investasi jangka panjang, mayoritas para pemain bank besar akan cenderung mengambil posisi wait and see pada tahap awal.
Oleh karena itu, kesuksesan BRI dan BNI sebagai pionir dalam membangun metaverse banking tanah air pada ajang G20 nanti akan menentukan arah pengembangannya ke depan.
Ketiga, respon antusiasime nasabah. Meskipun menjanjikan banyak keunggulan, namun hal ini tidak akan berarti apa-apa apabila nasabah tidak memanfaatkannya secara optimal.
Artikel ini telah dimuat di Harian KONTAN 26 Februari 2022