QUO VADIS PENGATURAN DECENTRALIZED FINANCE
“Banking is necessary, but banks are not”. Demikian ungkapan terkenal Bill Gates 28 tahun silam yang semakin mendekati kenyataan. Kehadiran industri financial technology (fintech) memang menggerus bisnis perbankan. Namun, disrupsi itu belum akan berakhir.
Industri perbankan kini harus bersiap menghadapi pemain baru bernama Decentralized Finance (DeFi) yang digadang-gadang sebagai evolusi sistem keuangan berikutnya.
Kemunculan DeFi tidak terlepas dari perkembangan aset kripto yang kian marak. DeFi merupakan bentuk intermediasi pada ekosistem aset kripto dengan menyediakan berbagai produk dan jasa keuangan sebagaimana yang disediakan oleh perbankan.
Model bisnis DeFi mirip dengan fintech, namun menggunakan teknologi blockchain dan aset kripto berjenis stablecoins sebagai pengganti mata uang dalam bertransaski.
Harus diakui platform DeFi menawarkan banyak peluang yang belum dimiliki Lembaga Jasa Keuangan (LJK) tradisional. Diantaranya ialah efisiensi biaya transaksi, transparansi transaksi dengan pencatatan di blockchain, inklusi layanan keuangan yang lebih luas, serta penyediaan layanan 24/7.
Saat ini DeFi lebih banyak digunakan oleh investor untuk me-leverage investasi pada aset kripto, dibandingkan untuk melakukan intermediasi kepada perekonomian riil dengan tingkat suku bunga pinjaman yang terbilang tinggi.
Namun dengan berbagai perkembangan teknologi dan model bisnis ke depan, tidak menutup kemungkinan DeFi dapat memfasilitasi aktivitas perekonomian riil secara efisien.
Salah satu contohnya adalah DeFi lending USDC Homes di Texas, Amerika Serikat. Platform DeFi ini menawarkan produk KPRdengan jaminan berbagai jenis aset kripto.
Plafon pembiayaan mencapai 80% dengan uang muka dalam bentuk aset kripto. Pinjaman dapat diberikan kepada debitur asing, bebas dari pengaturan transfer dana yang ditetapkan oleh otoritas.
BACA JUGA: ERA OPEN BANKING SISTEM PEMBAYARAN
Apabila ditelaah lebih lanjut, terdapat risiko riil dari studi kasus tersebut. Absennya regulasi yang mengatur DeFi memungkinkan terjadinya praktik shadow banking. Otoritas pun tidak memiliki data yang memadai terkait aliran dana dalam ekosistem platform DeFi.
Implikasinya, fenomena ekonomi yang sedang ekspansif akan sulit dibaca dan diantisipasi oleh otoritas. Potensi gelembung properti sangat mungkin kembali terulang dan lebih sulit untuk dikendalikan karena aliran kredit tidak hanya berasal dari perbankan, namun juga melalui platform DeFi lending.
Financial Stability Board (2022) mengidentifikasi sejumlah tantanganyang dihadapi oleh otoritas terkait DeFi. Dari perspektif legal, regulator terkendala dalam menentukan entitas mana yang bertanggung jawab apabila terjadi permasalahan hukum.
Pasalnya kepemilikan platform DeFi bersifat terdesentralisasi dengan skala bisnis lintas negara, sehingga batasan hukum tidak jelas.
Selain itu, faktor anonimitas tanpa adanya kewajiban Know Your Customer (KYC) membuat DeFi rentan untuk digunakan sebagai media pencucian uang. Mengutip data Chainalysis (2022), nilai pencucian uang melalui platformDeFi meningkat hampir mencapai 2000% pada 2021.
Peristiwa market crash USD Terra (UST) pada Mei 2022 juga menunjukkan adanya risiko sistemik. Kejatuhan nilai UST memicu penarikan aset sebesar UST 8,7 miliar serta likuidasi perjanjian lending lebih dari 35% dari platform DeFi Anchor.
Hal tersebut serupa dengan fenomena bank run pada industri keuangan tradisional yang berpotensi menyulut kesulitan likuiditas.
Kendati demikian, risiko sistemik DeFi mungkin belum akan terlihat dalam waktu dekat. Bank of England (2022) mencatat total nilai pada ekosistem aset kripto global sebesar USD 1,7 triliun. Angka ini masih jauh lebih kecil dibandingkan nilai aset keuangan tradisional global sebesar USD 469 triliun.
Meski begitu, pertumbuhan aset kripto yang eksponensial dan hadirnya intermediasi DeFi kepada perekonomian riil perlu mendapatkan perhatian.
Respon kebijakan
Saat ini respon kebijakan otoritas di tanah air masih terbatas pada perdagangan aset kripto. Bank Indonesia selaku otoritas sistem pembayaran menegaskan bahwa aset kripto bukanlah alat pembayaran yang sah sebagaimana amanat Undang-Undang No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.
Di samping itu, Bank Indonesia melarang Penyedia Jasa Pembayaran (PJP) dan Penyelenggara Infrastruktur Sistem Pembayaran (PIP) untuk memproses transaksi pembayaran dengan virtual currency.
Sejalan dengan langkah bank sentral, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga melarang LJK untuk memiliki eksposur terhadap transaksi aset kripto. Larangan itu mencakup menggunakan, memasarkan dan memfasilitasi perdagangan aset kripto.
Di sisi lain, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI) menetapkan aset kripto sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan. Namun, pengaturannya hanya mencakup aktivitas perdagangan aset kripto.
Selain itu, Kementerian Keuangan telah menerapkan PPN dan PPh atas perdagangan aset kripto sebesar 0,21% sejak 1 Mei 2022.
Sementara DeFi belum memiliki regulasi dan mekanisme pengawasan yang jelas di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Sayangnya, sejumlah pedagang aset kripto lokal yang telah terdaftar ikut menawarkan produk simpanan dan pinjaman berbasis aset kripto yang menyerupai produk yang ditawarkan DeFi.
Masyarakat pun dengan bebas dapat mengakses layanan DeFi di luar negeri. Otoritas perlu merespon untuk mengantisipasi berbagai risikonya terhadap stabilitas sistem keuangan.
BACA JUGA: MENGALKULASI RISIKO LIBRA FACEBOOK
Mengadopsi kerangka berpikir Donald Rumsfeld (mantan Menteri Pertahanan Amerika Serikat), otoritas keuangan global saat ini nampaknya berada dalam kondisi Known Unknowns ketika menyikapi fenomena DeFi.
Mereka telah menyadari pesatnya perkembangan DeFi, namun belum dapat memahami secara utuh risikonya terhadap stabilitas sistem keuangan dan bagaimana cara meregulasinya. Perlu upaya menutup knowledge gap untuk menuju kondisi Known Knowns.
Berangkat dari konfigurasi problematika tersebut, terdapat empat langkah sinergis yang berpeluang dilakukan oleh otoritas sektor keuangan di Indonesia.
Pertama, penguatan data capturing dan analisis dampak sistemik dari ekosistem aset kripto, termasuk DeFi, terhadap stabilitas sistem keuangan. Salah satu inisiatif yang dapat dilakukan ialah mendorong pertukaran data antar otoritas terkait.
Kedua, kolaborasi di tingkat nasional dan internasional. Antara lain dengan penguatan penerapan Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorirsme (APU-PPT) dengan mengikuti standar Financial Action Task Force (FATF) terkini.
Tak ketinggalan aspek perlindungan konsumen juga perlu terus diperkuat. Selain itu, juga diperlukan kerja sama internasional dengan berbagai standard setting bodies untuk menyusun guidance data dan indikator surveilans ekosistem aset kripto.
Ketiga, edukasi dan literasi kepada masyarakat. Masyarakat perlu terus diedukasi terkait dengan tingginya risiko investasi di ekosistem aset kripto dan DeFi. Selain itu otoritas juga dapat berkolaborasi menyusun template self assessment profil risiko yang dapat digunakan oleh caloninvestor aset kripto, sama halnya ketika masyarakat ingin menjadi investor di pasar modal.
BACA JUGA: MENIMBANG DESAIN DIGITAL RUPIAH
Keempat, dibentuknya joint regulatory sandbox. Tujuannya adalah untuk membuka ruang diskusi antara otoritas dan industri, menyamakan level of playing field, serta mencari titik tengah antara inovasi dan prudentiality.
Selain itu, sisi positif dari teknologi blockchain yang digunakan DeFi berpeluang untuk menghadirkan inovasi pada LJK dan PJP yang teregulasi.
Artikel ini telah dimuat di Harian INVESTOR DAILY 11 JULI 2022