Jul 8, 2022 | Articles on Media
‘Angsa hijau’ (green swans) tentu tidak benar-benar ada. Ia hanyalah sebuah metafora. Bank for International Settlements mulai memopulerkan istilah ini pada Januari 2020. Maknanya pun berbeda dengan teori angsa hitam karya Nassim Nicholas Taleb.
Angsa hijau melambangkan sebuah prediksi resesi ekonomi berikutnya. Dan krisis itu bersumber dari satu fenomena, namanya perubahan iklim.
Bill Gates mungkin benar. Pendiri Microsoft itu pernah berujar. Dampak ancaman perubahan iklim bisa lebih buruk ketimbang pandemi Covid-19. Prediksi ini masuk akal. Upaya penanganan isu cuaca ekstrem global dalam 20 tahun terakhir menelan biaya tidak sedikit.
Angkanya menyentuh hingga US$ 5,1 triliun. Apabila terus dibiarkan, suhu bumi akan naik 3,2 derajat celcius dan ekonomi dunia tergerus hingga 18%.
Problematika perubahan iklim harus disikapi secara holistik. Semua pihak memiliki peran untuk melakukan langkah preventif. Bank sentral tak terkecuali didalamnya. Pasalnya ada sebuah keterkaitan di antara keduanya. Perubahan iklim berkorelasi dengan tingkat inflasi yang menjadi ranah tugas bank sentral.
Setidaknya ada dua risiko utama dari perubahan iklim yang melatarbelakanginya. Pertama, risiko fisik yang berasal dari adanya kerusakan lingkungan akibat pengaruh cuaca. Implikasinya, terjadi penurunan produktifitas lahan pertanian yang berujung pada lonjakan harga pangan.
BACA JUGA: BANK SENTRAL DAN URGENSI EKONOMI HIJAU
Kedua, risiko transisi sebagai dampak perubahan struktural dalam perekonomian. Misalnya, pergeseran pemanfaatan sumber energi dari fosil ke baru terbarukan. Tanpa perhitungan matang, kebijakan ini sangat mungkin berbuntut pada melambungnya harga energi.
Situasi ini lantas dikenal dengan sebutan ‘greenflation’, yaitu kenaikan harga barang sebagai ekses negatif dari upaya menuju ekonomi hijau.
Dari perspektif makro, dua risiko ini berpotensi mengguncang stabilitas sistem keuangan. Hal pertama yang terlihat jelas ialah risiko gagal bayar dan risiko pasar sebagai taruhannya.
Terhentinya aktivitas ekonomi akibat bencana alam berskala masif berpengaruh buruk pada kemampuan bayar debitur. Pada saat yang bersamaan, kerusakan properti yang dialami juga menurunkan nilai aset yang menjadi agunan kredit.
Respon perbankan sudah bisa ditebak. Kran kucuran kredit ditutup atas nama prinsip kehati-kehatian dan mitigasi risiko. Tak pelak laju pertumbuhan ekonomi niscaya ikut melambat sebagai konsekuensi logisnya.
Makroprudensial hijau
Kehadiran bank sentral lewat kebijakan makroprudensial hijau tentu sangat dinantikan. Maklum, instrumen ini merupakan senjata ampuh otoritas untuk menjawab tantangan dari sisi pembiayaan. McKinsey (2022) memprakirakan kebutuhan investasi untuk memenuhi target bebas emisi karbon hingga 2050 mencapai US$9,2 triliun per tahun.
Secara konseptual, pencapaian target iklim global tidak hanya membutuhkan pendanaan untuk proyek hijau saja. Di sisi lain, bank dan industri jasa keuangan lainnya punya tanggung jawab untuk membatasi pembiayaan pada usaha padat karbon. Pada titik inilah makroprudensial hijau akan memainkan peran krusial.
Sifat kebijakan makroprudensial memang terbilang unik. Bank sentral dapat mempengaruhi keputusan investasi dan alokasi kredit sektor keuangan lewat instrumen ini.
Kewenangan pengawasan terhadap sistem keuangan menempatkan bank sentral pada posisi yang memungkinkan mereka untuk memberi insentif dan disinsentif, serta mengarahkan sumber daya menuju investasi hijau.
BACA JUGA: KETENAGAKERJAAN DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0
Dalam praktiknya, berbagai instrumen makroprudensial hijau telah dikembangkan di tingkat internasional. Pertama, rasio kredit hijau. Melalui instrumen ini, bank sentral mewajibkan sejumlah proporsi minimum dari kredit perbankan untuk disalurkan kepada sektor hijau.
Misalnya, Bangladesh Bank mengharuskan bank dan non bank untuk mengalokasikan lima persen dari portofolio kreditnya ke sektor hijau.
Kedua, uji stres iklim. Instrumen ini bertujuan untuk mengukur ketahanan lembaga keuangan dalam menghadapi skenario ekonomi yang tidak menguntungkan, khususnya akibat perubahan iklim. OECD mencatat beberapa bank sentral, seperti Inggris, Jepang, Eropa, Australia dan Tiongkok telah memulai inisiatif ini pada 2020-2021.
Ketiga, rasio pinjaman terhadap nilai aset hijau (Loan to Value/LTV hijau). Per definisi, LTV hijau merupakan nilai kredit yang dapat diberikan bank kepada nasabah untuk pembelian aset hijau.
Bank Indonesia telah mengadopsi instrumen ini sejak 2019 lewat pengaturan rasio LTV untuk properti berwawasan lingkungan dan uang muka pemberian kredit kendaraan bermotor berwawasan lingkungan.
Bak gayung bersambut, ruang penyempurnaan instrumen makroprudensial hijau masih terbuka lebar. Argumen ini sejalan dengan peluncuran taksonomi hijau Indonesia. Taksonomi hijau dapat diartikan sebagai klasifikasi sektor berdasarkan kegiatan usaha yang mendukung upaya perlindungan lingkungan hidup, serta mitigasi perubahan iklim.
BACA JUGA: EKSPANSI AKSES KEUANGAN PENJALA
Kehadiran taksonomi hijau setidaknya memiliki dua arti penting. Pertama, mendukung inovasi perumusan berbagai instrumen kebijakan bank sentral. Bank Indonesia akan mengembangkan instrumen rasio intermediasi makroprudensial hijau, penyangga likuiditas makrroprudensial hijau, serta rasio kredit/pembiayaan UMKM hijau.
Kedua, sebagai prasyarat utama harmonisasi bauran kebijakan keuangan hijau antar otoritas. Dengan bahasa yang sama, derap langkah kebijakan makroekonomi, makroprudensial dan mikroprudensial akan semakin sinergis.
Dengan semangat inovasi dan sinergitas di atas, kita patut optimis fungsi intermediasi perbankan Tanah Air akan mampu berkontribusi nyata dalam upaya penanganan perubahan iklim.
Di bawah komando Bank Indonesia dan anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) lainnya, masyarakat menyelipkan sebuah harapan tunggal. Ketahanan sistem keuangan domestik dapat tetap terjaga sehingga mampu menghalau datangnya ‘angsa hijau’ di Indonesia.
Artikel ini telah dimuat di Harian BISNIS INDONESIA 8 Juli 2022
Dec 29, 2021 | Articles on Media
“If this recovery is to be sustainable—if our world is to become more resilient—we must do everything in our power to promote a green recovery”. Demikian pernyataan Kristalina Georgieva, Direktur Pelaksana IMF. Setali tiga uang Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo menyebut ekonomi hijau telah menjadi salah satu elemen penting peradaban baru pasca pandemi Covid-19.
United Nations Environment Programme mendefinisikan ekonomi hijau sebagai sistem ekonomi yang rendah karbon, menggunakan sumber daya dengan efisien, serta inklusif secara sosial.
Dalam konsepsinya, pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja didorong oleh investasi ke aktivitas, infrastruktur dan aset yang memungkinkan pengurangan emisi karbon, peningkatan efisiensi sumber daya, serta pencegahan hilangnya keanekaragaman hayati dan ekosistem.
Para ahli setuju bahwa sistem ekonomi yang saat ini berlaku berkontribusi terhadap munculnya problematika perubahan iklim. Harus diakui daya dukung bumi mulai mencapai batasnya.
Penyebabnya tidak hanya karena emisi gas rumah kaca dan pemanasan global, tetapi juga akibat eksploitasi sumber daya alam seperti air, tanah, hutan, dan lainnya.
BACA JUGA: PRESIDENSI G20 DAN RESTORASI EKONOMI GLOBAL
Penanganan isu perubahan iklim semakin krusial mengingat Indonesia mengalami penurunan peringkat Climate Change Performance Index.
Akselerasi pembangunan ekosistem ekonomi hijau memiliki urgensi yang tinggi di mana konsep ini akan mengantarkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif menjadi tujuan realistis, bukan sekedar retorika.
Jargon ‘Build Back Better’ (IMF, 2020) yang kemudian diadopsi oleh Bappenas menjadi ‘Build Forward Better’ (2021) menggambarkan kuatnya komitmen di tataran global dan nasional untuk menata perekonomian pasca krisis pandemi Covid-19 melalui ekonomi berwawasan lingkungan.
Komitmen ini kembali ditegaskan dalam KTT G20 tahun 2022 yang dikomandani oleh Indonesia, dengan fokus pembahasan pada transisi ekonomi hijau.
Peran bank sentral
Pembangunan ekosistem ekonomi hijau sesungguhnya merupakan tanggung jawab semua pihak. Bank sentral juga termasuk di dalamnya.
Isu perubahan iklim dan bank sentral memiliki sebuah keterkaitan. Perubahan iklim berkorelasi positif terhadap tingkat inflasi yang menjadi tujuan dari bank sentral.
Argumen logis yang melatarbelakanginya ialah perubahan iklim membawa dua risiko besar. Pertama, risiko fisik yang berasal dari adanya kerusakan lingkungan akibat pengaruh cuaca dan penurunan produktifitas lahan pertanian.
Implikasinya, jumlah penawaran komoditas pangan berkurang sehingga terjadi lonjakan harga pangan. Situasi ini sering dikenal sebagai inflasi volatile food.
Kedua, risiko transisi akibat perubahan struktural yang signifikan terhadap perekonomian. Misalnya, penutupan industri pertambangan seiring dengan pergeseran dari penggunaan energi fosil ke energi terbarukan.
Tanpa perencanaan yang terukur, kebijakan ini akan berdampak pada melambungnya harga energi yang pada akhirnya akan dibebankan ke harga jual produk. Kondisi ini lantas menimbulkan inflasi cost push (dorongan biaya).
Pada tataran lebih luas, konfigurasi risiko ini berpotensi mengguncang stabilitas sistem keuangan. Penurunan harga aset dan ketidakpastian pasokan yang berujung pada gagal bayar alias kredit macet sebagai taruhannya.
Bank for International Settlements (BIS) menyebut fenomena ini sebagai The Green Swan (angsa hijau), yaitu peristiwa yang berpotensi sangat mengganggu secara finansial yang mungkin menjadi cikal bakal krisis keuangan sistemik berikutnya.
BACA JUGA: MENGHALAU ANGSA HIJAU
Tak pelak kehadiran bank sentral sangat dinantikan. Alur berpikir inilah yang mendasari lahirnya Network for Greening the Financial System (NGFS) pada 2017.
NGFS adalah jaringan bank sentral dan pengawas keuangan yang bertujuan untuk mempercepat perluasan keuangan hijau yang ramah lingkungan, serta mengembangkan rekomendasi peran bank sentral untuk perubahan iklim.
BIS menekankan peran tambahan bank sentral dalam membantu mengoordinasikan langkah-langkah untuk memerangi perubahan iklim.
Upaya ini mencakup kebijakan penetapan harga karbon, integrasi konsep keberlanjutan ke dalam praktik keuangan dan kerangka kerja akuntansi, perumusan bauran kebijakan yang tepat, dan pengembangan mekanisme keuangan baru di tingkat internasional.
Pembiayaan hijau
Presiden Joko Widodo pernah berujar “Ibarat komputer, perekonomian semua negara saat ini sedang macet. Semua negara harus menjalani proses mati komputer sesaat. Semua negara mempunyai kesempatan mengatur ulang sistemnya”. Analogi ini sangat tepat.
Pandemi Covid-19 telah memaksa banyak negara untuk memikirkan ulang tatanan sistem perekonomian ke depan. Tak heran jika kemudian banyak bank sentral di negara maju maupun negara berkembang kini memformulasikan kembali instrumen kebijakannya.
Regulator sepakat untuk mulai bersama-sama memperkenalkan konsep pembiayaan hijau (green financing). Fokus utamanya ialah mengarahkan seluruh produk dan layanan keuangan ke arah investasi ramah lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.
Misalnya, Bank of England mengeluarkan regulasi Corporate Bonds Purchase Scheme (CBPS) di mana bank sentral memprioritaskan pembelian obligasi hijau korporasi di sektor ramah lingkungan atau yang memiliki komitmen kuat terhadap isu perubahan iklim.
Sementara itu, bank sentral Tiongkok, People’s Bank of China berkolaborasi dengan Kementerian Perlindungan Lingkungan Cina menyusun basis data nasional untuk pengungkapan informasi kepatuhan korporasi non keuangan terhadap regulasi lingkungan.
Lembaga perbankan diwajibkan untuk membatasi pemberian pinjaman kepada perusahaan yang melanggar ketentuan ini.
Di negara berkembang, Bangladesh Bank mewajibkan bank dan nonbank untuk mengalokasikan 5% dari portofolio kreditnya bagi sektor hijau. Selain itu, pelaku industri jasa keuangan diharuskan menyalurkan 10% dari anggaran CSR bagi dana perubahan iklim.
Segendang sepenarian, Bank Indonesia (BI) telah mengeluarkan inisiatif keuangan hijau sejak tahun 2010. Pada 2012, BI juga tercatat sebagai pendiri Sustainable Banking Network dan menerbitkan Green Lending Model.
BACA JUGA: E-COMMERCE DALAM PERSPEKTIF PENGENDALIAN INFLASI
Saat ini BI juga tengah mengembangkan kerangka Kebijakan Keuangan Hijau dengan pilar Penguatan Kebijakan Makroprudensial Hijau, Pendalaman Pasar Keuangan Hijau dan Pasar Karbon, serta Pengembangan UMKM Hijau yang memiliki tujuan untuk mencapai pertumbuhan berkelanjutan.
Khusus pilar Makroprudensial Hijau, implementasinya terlihat dari pengaturan rasio Loan/Financing to Value untuk properti berwawasan lingkungan (KPR hijau) dan uang muka pemberian kredit/pembiayaan kendaraan bermotor berwawasan lingkungan (KKB hijau).
Per September 2021, kedua jenis kredit menunjukkan pertumbuhan yang cukup tinggi, masing-masing sebesar 28,93% dan 29,39%.
Tidak hanya itu, BI juga melakukan transformasi kelembagaan BI Hijau yang memastikan semua aktivitas operasionalnya ramah lingkungan. Ke depan, masih terdapat pekerjaan besar untuk menyusun konsensus taksonomi ekonomi hijau yang dapat menjadi jembatan antara sektor riil dan sektor keuangan.
Dari perspektif makroekonomi, sistem keuangan sejatinya memiliki peranan yang sangat penting dalam transisi menuju ekonomi hijau. Oleh karena itu, kebijakan pembiayaan hijau oleh Bank Indonesia akan diarahkan untuk mendorong transisi aset perbankan ke portofolio yang lebih hijau.
Tidak hanya itu, penyesuaian suku bunga kredit juga didorong agar lebih terjangkau bagi perusahaan atau proyek hijau.
Artikel ini telah dimuat di Harian INVESTOR DAILY 29 Desember 2021