BUKALAPAK DAN KINERJA INDUSTRI E-COMMERCE

Jul 14, 2020 | Articles on Media

Publik baru-baru ini dikejutkan dengan polemik Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karyawan usaha rintisan (startup) Bukalapak. Dikabarkan jumlah karyawan yang terkena PHK sebanyak 100 orang dari total keseluruhan 2.600 orang. Meskipun relatif kecil, namun nyatanya kabar tersebut cukup intens menyita perhatian masyarakat.

Predikat Unicorn yang disandang Bukalapak dan isu permasalahan keuangan yang sedang mendera sejumlah korporasi besar nasional disinyalir sebagai pemicunya.

Manajemen Bukalapak menegaskan bahwa kebijakan tersebut diambil sebagai upaya restrukturisasi untuk menjamin visi bertumbuh sebagai e-commerce unicorn pertama yang meraup keuntungan.

Meskipun masih mengalami kerugian, namun manajemen mengungkap bahwa penjualan paruh pertama tahun ini mencapai US$ 5 miliar atau setara Rp71,2 triliun. Laba bruto per bulan tercatat dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan posisi Desember 2018.

Berangkat dari peristiwa dan data finansial tersebut, tak ayal diskusi hangat turut mengemuka di tengah kalangan analis dan ekonom. Apakah fenomena tersebut menjadi indikasi berakhirnya masa keemasan (sunset economy) usaha rintisan e-commerce? Terdapat empat poin penting yang harus dipahami untuk menjawab pertanyaan ini.

BACA JUGA: MEMBEDAH REKOR CADANGAN DEVISA

Pertama, kerugian yang diderita oleh usaha rintisan, bahkan sekaliber Unicorn merupakan hal yang biasa. Sudah menjadi rahasia umum bahwa praktik bakar uang menjadi penyebab utama mengapa sebagian besar usaha rintisan masih merugi.

Dalam implementasinya, manajemen usaha rintisan memiliki tendensi untuk selalu berfokus mengejar nilai penjualan (Gross Merchandise Value / GMV) setinggi-tingginya.

Pasalnya semakin besar GMV yang diperoleh, semakin besar pula valuasi usaha rintisan. Tidaklah mengherankan jika kemudian aliran pendanaan yang diterima usaha rintisan juga akan semakin deras mengikuti besarnya valuasi yang dicapai.

Konsekuensi logis dari pendekatan ini ialah lahirnya praktik bakar uang. Tatkala usaha rintisan masih dalam fase awal dan berkembang, biaya akuisisi pelanggan lewat subsidi harga maupun promosi secara masif menjadi hal yang lumrah dijumpai.

Bermodalkan dukungan pendanaan melimpah dari investor, perolehan laba pada fase ini tidak lagi menjadi nomor satu selama GMV terus meningkat. Sepanjang aktivitas fundraising masih berjalan lancar, praktik bakar uang masih akan terus berlangsung.

Kedua, implikasi dari poin pertama di atas ialah strategi efisiensi biaya oleh usaha rintisan boleh jadi mengindikasikan adanya potensi penurunan aliran pendanaan dalam jangka pendek menengah.

Apakah hal ini merupakan pertanda negatif? Belum tentu. Bisa menjadi negatif jika manajemen masih sangat bergantung pada suntikan dana investor, terutama ketika situasi global masih kurang bersahabat seperti saat ini.

Sebagai gambaran, Cento Ventures menyebut total pendanaan yang diraih perusahaan teknologi di Asia Tenggara untuk semester I-2019 mencapai US$ 5,99 miliar. Angka ini turun 28% dibanding semester I-2018 yang mencapai US$ 8,31 miliar.

Secara historis, indikasi perlambatan pertumbuhan pendanaan sebenarnya sudah mulai terlihat sejak semester II-2018. Perang dagang dan ancaman resesi dunia diduga sebagai latar belakangnya.

Namun di sisi lain, kondisi ini juga dapat bermakna netral apabila manajemen usaha rintisan sudah mengambil ancang-ancang skenario alternatif. Misalnya, pendanaan lewat penerbitan saham di pasar modal (Initial Public Offering). Dalam konteks Bukalapak, opsi ini tentu sangat relevan jika dikaitkan dengan ambisi manajemen untuk mulai mencetak laba.

Masih terlalu dini

Ketiga, strategi efisiensi biaya melalui kebijakan PHK karyawan oleh usaha rintisan sekelas Unicorn bukanlah hal yang tabu dan tidak selalu berkonotasi negatif. Berkaca pada pengalaman negara lain, sudah ada beberapa usaha rintisan raksasa yang mengambil langkah serupa dengan objektif yang sama dengan Bukalapak.

BACA JUGA: BABAK BARU SISTEM PEMBAYARAN GPN

Uber merumahkan 400 karyawannya setelah rilis laporan keuangan kuartal II-2019 yang mencatat kerugian US$ 5,2 miliar. Setali tiga uang, WeWork dan SpaceX juga dilaporkan telah melakukan PHK pada karyawannya, masing-masing 300 dan 600 orang pada awal tahun ini.

Apakah hal ini dapat menjustifikasi bahwa industri digital di Amerika sedang mengalami masa suram? Tentu tidak.

Keempat, pada tataran pragmatis opini tentang dimulainya periode sunset economy di industri e-commerce bisa saja valid. Syaratnya mayoritas pelaku e-commerce domestik mulai menempuh upaya yang seperti Bukalapak. Faktanya sinyalemen tersebut masih belum terlihat.

Selain itu, hasil riset iPrice terkait peta persaingan e-commerce di Indonesia kuartal II-2019 menunjukkan Bukalapak menempati peringkat ketiga e-commerce dengan jumlah pengunjung tertinggi sebanyak 89,77 juta. Posisi Bukalapak masih di bawah Tokopedia (140,41 juta) dan Shopee (90,71 juta).

Dengan asumsi jumlah pengunjung berbanding lurus dengan nilai dan volume transaksi, kejadian di Bukalapak masih belum dapat merefleksikan kondisi industri e-commerce secara keseluruhan.

Bertolak dari keempat argumen tersebut, sejatinya aksi korporasi Bukalapak hanyalah strategi internal perusahaan. Alih-alih hanya memotret data keuangan dan kebijakan tidak populis oleh satu usaha rintisan, dibutuhkan lebih banyak variabel lain sebagai leading indicator sebagai bahan analisis.

Misalnya, nilai dan volume transaksi industri e-commerce, serta jumlah pendanaan oleh investor asing dan domestik kepada pelaku usaha rintisan.

Dalih ini sekaligus menegasikan diskursus lain yang sedang berkembang. Fenomena PHK karyawan Bukalapak disebut sebagai representasi tekanan berat sektor e-commerce akibat lesunya konsumsi rumah tangga. Benarkah demikian?

BACA JUGA: MEMBACA ARAH UTANG INDONESIA 2018

Ditinjau dari perspektif makro ekonomi, sektor perdagangan elektronik diyakini tetap mampu melejit di tengah stagnasi konsumsi yang tumbuh di kisaran 5%. Bank Indonesia mencatat transaksi e-commerce di Indonesia sepanjang 2018 mencapai Rp77 triliun atau meningkat drastis 151% dibandingkan tahun sebelumnya.

Patut disadari bahwa penurunan daya beli konsumen yang seringkali dikaitkan dengan penutupan toko ritel konvensional terjadi pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah.

Di sisi lain, sebagian besar pengguna e-commerce justru berasal dari kaum urban kelas menengah berusia produktif. Bonus demografi, leisure economy dan perluasan jaringan internet hingga pelosok desa akan menjadi motor penggerak industri ini dalam jangka panjang.

Memang masih terlalu dini untuk langsung menyimpulkan baik buruknya kinerja industri e-commerce saat ini. Namun mencermati situasi global yang terjadi, pelaku usaha rintisan diharapkan lebih meningkatkan kewaspadaan terhadap berbagai potensi faktor risiko.

Praktik bakar uang secara masif seyogyanya dievaluasi kembali demi menumbuhkan kompetisi yang sehat dalam industri.

Artikel ini telah dimuat di Harian KONTAN 21 September 2019

Remon Samora

Remon Samora

I am a digital economy enthusiast, especially financial technology. Writing article for media is my side activity besides working as central bankers. I believe everyone must be 1% Better every single day in order to become the best version of ourself.

Social Media

Remon Samora

@remon.samora