Mar 3, 2025 | Articles on Media
Di era digital yang semakin berkembang pesat, akal imitasi (AI) telah menjadi katalis utama dalam transformasi industri perbankan. Salah satu implementasi paling menonjol adalah penggunaan asisten virtual berbasis AI yang mampu menggantikan layanan pelanggan konvensional. Sejumlah bank raksasa kini ikut berlomba-lomba menghadirkan fitur ini. Misalnya, Bank Mandiri (Mita), BRI (Sabrina) dan BCA (Vira).
Dengan dukungan teknologi pemrosesan bahasa alami (NLP) dan pembelajaran mesin (ML), asisten virtual mampu memberikan rekomendasi keuangan yang dipersonalisasi, membantu mengelola pengeluaran nasabah, dan mendeteksi potensi risiko finansial. Seiring algoritma yang terus berkembang, asisten virtual dapat memahami konteks pertanyaan nasabah dan menawarkan solusi yang lebih proaktif.
Secara historis industri keuangan memang sangat lekat dengan adopsi teknologi termutakhir. Dalam lima tahun terakhir, setidaknya terdapat tiga tren besar yang mewarnai sektor perbankan tanah air. Ketiganya ialah kedatangan pemain financial technology (fintech), lahirnya bank digital dengan aplikasi super, dan peluncuran layanan berbasis AI sebagai game changer berikutnya.
Argumen ini sejalan dengan tesis yang ditulis Brett King dalam bukunya “Bank 4.0: Banking Everywhere, Never at a Bank”. Dalam bukunya, King membagi perjalanan transformasi industri perbankan menjadi empat fase. Bank 1.0 yang merepresentasikan metode perbankan tradisional. Bank 2.0 dimana elemen layanan mandiri, seperti mesin ATM mulai diperkenalkan.
Bank 3.0 ditandai dengan layanan perbankan berbasis aplikasi di gawai cerdas. Terakhir, Bank 4.0 ketika AI mampu memproyeksi kondisi masa depan berdasarkan pola transaksi nasabah sehingga rekomendasi yang diberikan lebih relevan. Inilah makna dari kutipan terkenal Bill Gates, “banking is necessary, banks are not.”
Faktanya AI tentu bukan hanya tren semata. Kalkulasi untung rugi menjadi motivasi utamanya. Operasional 24/7, respon cepat, personalisasi layanan dan efisiensi biaya merupakan sebagian kecil manfaat yang dapat dipetik.
Argumen ini turut didukung oleh laporan Citi Global Perspectives & Solutions bertajuk “AI in Finance: Bot, Bank & Beyond”. Studi ini menemukan adopsi AI dapat mendongkrak laba perbankan global sebesar US$ 170 miliar atau tumbuh 9% pada 2028. Alhasil, total laba perbankan global diprediksi mencapai USD 2 triliun, dari perkiraan USD 1,8 triliun jika tidak menggunakan AI.
Hasil riset juga menunjukkan bahwa sebanyak 93% lembaga keuangan mengatakan AI meningkatkan keuntungan selama lima tahun ke depan. AI dapat meningkatkan produktivitas bank dengan mengotomatisasi tugas-tugas rutin, menyederhanakan operasi, dan memungkinkan karyawan untuk fokus pada aktivitas yang memberikan nilai tambah lebih tinggi.
Segendang sepenarian kajian McKinsey berjudul “Building the AI bank of the future” menyebut banyak lembaga keuangan, termasuk perbankan telah memanfaatkan AI untuk mempercepat proses persetujuan pinjaman, otentikasi biometrik, dan asisten virtual. Implikasinya semakin banyak transaksi yang dilakukan melalui saluran digital, nasabah juga semakin terbiasa dengan kemudahan, kecepatan, dan layanan yang dipersonalisasi.
Selain itu, AI juga digunakan untuk meningkatkan keamanan perbankan, terutama dalam mendeteksi aktivitas mencurigakan dan pencegahan kejahatan siber. Dengan semakin banyaknya transaksi digital, bank perlu memastikan bahwa sistem mereka dapat mengidentifikasi pola anomali dan mencegah potensi serangan fraud secara real-time.
Berkaca pada fenomena di atas, tidaklah mengejutkan jika perbankan rela merogoh koceknya cukup dalam untuk membangun teknologi AI. Contohnya, Bank Central Asia yang mengalokasikan pengeluaran modal hingga Rp 8 triliun pada 2023 untuk pengembangan AI.
Setali tiga uang Statista mencatat belanja investasi untuk AI oleh sektor keuangan global mengalami pertumbuhan signifikan. Angkanya mencapai USD 35 miliar pada 2023 dan diproyeksikan meningkat hingga USD 126,4 miliar pada 2028. Nilai ini mengindikasikan pertumbuhan tahunan sebesar 29%.
Kotak hitam
Walau kehadirannya menjanjikan banyak keunggulan, harus diakui AI masih menyimpan sejumlah risiko. Sejumlah pakar menyebut AI ibarat “kotak hitam” (black box). Sistem AI sering kali beroperasi dengan cara yang tidak mudah dipahami oleh manusia. Kurangnya transparansi ini membuat sulit untuk menilai keandalan sistem AI, yang bermuara pada kekhawatiran tentang keakuratan hasil.
Karena sifatnya demikian, AI berisiko menghasilkan keputusan menyimpang tanpa disadari. Jika model AI dilatih dengan data historis yang mengandung bias, maka model tersebut dapat memperkuat ketidakadilan yang sudah ada.
Dalam penilaian kredit, misalnya, jika data masa lalu menunjukkan bahwa kelompok tertentu memiliki rasio gagal bayar lebih tinggi, AI bisa secara otomatis menolak permohonan tanpa pertimbangan faktor lain yang bersifat individual. Salah satu kasusnya ialah kartu kredit Apple Card yang diterbitkan oleh Goldman Sachs pada 2019 yang dituduh memberikan batas kredit lebih rendah kepada istri dibandingkan suami dengan profil keuangan serupa.
Untuk memitigasinya, perbankan harus memastikan bahwa data yang digunakan dalam pelatihan AI mencerminkan populasi yang lebih beragam dan netral. Audit algoritma secara berkala, serta intervensi manusia dalam pengambilan keputusan juga diperlukan untuk mencegah diskriminasi yang tidak disengaja.
Memang dalam skenario sederhana seperti pengecekan saldo rekening, AI dapat memberikan jawaban instan tanpa keterlibatan manusia. Namun, ketika nasabah menghadapi masalah kompleks, seperti pengajuan restrukturisasi kredit atau sengketa transaksi, peran pegawai bank masih sangat diperlukan. Interaksi langsung dengan manusia menawarkan aspek empati dan pemahaman konteks yang tidak bisa sepenuhnya direplikasi oleh AI.
Kepercayaan nasabah terhadap layanan berbasis AI juga menjadi tantangan tersendiri. Sebagian masyarakat masih ragu terhadap keandalan AI dalam mengelola keuangan, terutama terkait keamanan data dan transparansi keputusan. AI mungkin tidak selalu memberikan solusi yang sesuai dengan preferensi individu, sehingga potensi ketidakpuasan nasabah tetap ada.
Oleh karena itu, AI seyogyanya diposisikan sebagai alat untuk memperkuat layanan keuangan dan bukan pengganti manusia sepenuhnya. Bank yang mampu menyeimbangkan inovasi dan mitigasi risiko niscaya akan menjadi pemenang di era digital. Sebab, pada akhirnya, perbankan bukan hanya soal teknologi, tetapi juga kepercayaan.
Artikel ini telah dimuat di KONTAN 3 Maret 2025
Feb 19, 2025 | Articles on Media
Pemerintah telah mencanangkan Asta Cita sebagai peta jalan pembangunan menuju Indonesia Emas 2045. Digitalisasi menjadi salah satu faktor kunci demi mewujudkan visi luhur ini. Implementasinya di sektor pemerintahan tidak terkecuali. Asta Cita ketujuh mengamanatkan pemerintahan yang berbasis digitalisasi untuk menciptakan pemerintahan yang transparan, inklusif, dan efisien.
Diskursus digitalisasi di tubuh birokrasi semakin relevan saat ini. Di tengah beban fiskal yang membengkak, digitalisasi menjanjikan sebuah solusi untuk mendongkrak pendapatan pemerintah, khususnya di tingkat daerah.
Solusi itu bernama Elektronifikasi Transaksi Pemerintah Daerah (ETPD). Sederhananya, ETPD adalah upaya mengubah transaksi pendapatan dan belanja Pemda dari cara tunai menjadi nontunai berbasis digital.
Secara historis topik ETPD sejatinya bukanlah barang baru. Langkah ini termaktub dalam Keputusan Presiden Nomor 3 tahun 2021 pada awal Maret 2021. Bahkan pada tahun 2017 Kementerian Dalam Negeri telah meminta seluruh penerimaan dan pengeluaran Pemda wajib ditransaksikan secara non tunai.
Pembayaran transaksi nontunai dapat menggunakan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK), cek, bilyet, giro, uang elektronik atau sejenisnya.
Dengan beralih dari sistem manual ke pembayaran digital, Pemda tidak hanya dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, tetapi juga mengoptimalkan potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Digitalisasi ini juga meminimalisir kebocoran anggaran dan mempercepat aliran dana ke kas daerah.
ETPD tidak hanya bermanfaat bagi pemerintah, tetapi juga bagi masyarakat. Dengan transaksi elektronik, proses pembayaran pajak, retribusi, dan layanan publik lainnya menjadi lebih cepat dan mudah. Masyarakat tidak perlu lagi antre panjang atau berurusan dengan prosedur yang berliku.
Di samping itu, ETPD juga dapat mendorong inklusi keuangan. Dengan semakin banyaknya transaksi yang dilakukan secara elektronik, masyarakat akan semakin terbiasa menggunakan layanan keuangan digital. Hal ini sejalan dengan program Pemerintah untuk meningkatkan literasi dan inklusi keuangan di Indonesia.
Data implementasi ETPD terkini menunjukkan perkembangan signifikan. Hingga semester I 2024, sebanyak 480 Pemda telah masuk dalam kategori Digital, meningkat dari 449 Pemda pada Semester II 2023. Jumlah ini merepresentasikan 87,9% dari total 546 Pemda di Indonesia.
Kondisi ini seakan menegaskan dua pesan penting. Pertama, adopsi digitalisasi oleh Pemda sudah menjadi sebuah keniscayaan. Kedua, optimisme seluruh Pemda naik kelas menjadi Digital kian membuncah seiring tren digitalisasi yang semakin ekspansif.
Keyakinan tersebut turut diperkuat oleh upaya bank sentral untuk mendukung program Pemerintah dalam mewujudkan Asta Cita. Bank Indonesia selaku otoritas sistem pembayaran konsisten bersinergi dengan seluruh Pemda melalui wadah Tim Percepatan dan Perluasan Digitalisasi Daerah (TP2DD) untuk mempercepat implementasi ETPD.
Kartu Kredit Indonesia
Dalam Rapat Koordinasi Nasional P2DD tahun 2024 Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo menguraikan tiga strategi utama untuk memperkuat ekosistem transaksi digital di daerah. Pertama, inovasi dan akseptasi digital dengan fokus pada pengembangan pembayaran digital oleh Penyedia Jasa Pembayaran (PJP), penguatan pelindungan konsumen, dan peningkatan literasi digital.
Salah satu langkah konkrit yang sudah dan akan terus digalakkan ialah adopsi Kartu Kredit Indonesia Segmen Pemerintah (KKI Pemerintah).
Saat awal peluncurannya pada Agustus 2022 KKI Pemerintah dikembangkan menggunakan mekanisme QRIS berbasis sumber dana kredit sehingga seluruh transaksi diproses di dalam negeri. Dalam perkembangannya, bentuk fisik KKI Pemerintah mulai diperkenalkan Mei 2023.
Layanan KKI Pemerintah terus diperkaya lewat kehadiran fitur pembayaran daring QRIS Merchant Presented Mode (MPM) pada Oktober 2023 dan Virtual Card Tokenization pada Agustus 2024.
Dengan berbagai fitur kekinian tersebut, transaksi KKI Pemerintah terus mengalami pertumbuhan eksponensial. Pada triwulan III 2024 nilainya mencapai Rp117,99 miliar atau naik 10 kali lipat dibandingkan triwulan II 2023 sebesar Rp10,82 miliar.
Dengan besarnya nilai anggaran belanja Pemda yang mencapai ratusan triliun, pintu akselerasi transaksi pembayaran menggunakan KKI Pemerintah masih terbuka lebar.
Oleh karena itu, strategi jangka pendek yang dapat ditempuh Pemda diantaranya mendorong percepatan penerbitan Peraturan Kepala Daerah tentang tata cara penggunaan KKI Pemerintah, serta memperluas ketersediaan kanal pembayaran, terutama QRIS dan EDC.
Kedua, penguatan infrastruktur sistem pembayaran yang modern dan terintegrasi sesuai standar internasional. Sebagai contoh, Bank Indonesia memperkuat ekosistem sistem pembayaran guna mendukung penyaluran bantuan sosial atau juga dikenal sebagai G2P (Government to Person) 4.0.
Kebijakan yang ditempuh antara lain akselerasi penggunaan QRIS dan BI-FAST serta menghubungkan bank dengan fintech melalui standar Open Application Programming Interfaces (Open API) pembayaran.
Langkah di atas akan memastikan dana bansos dapat ditransfer dengan cepat ke rekening penerima manfaat. Tidak hanya itu, dana tersebut dapat digunakan pada lebih banyak pilihan kanal pembayaran, baik melalui bank, dompet digital, maupun lembaga keuangan lainnya, sesuai dengan preferensi penerima manfaat.
Peran BPD
Ketiga, konsolidasi industri untuk memperkuat perbankan daerah, terutama Bank Pembangunan Daerah (BPD) sebagai pengelola kas daerah. Saat ini mayoritas BPD memang telah memberikan layanan digital banking dan pembayaran menggunakan QRIS. Namun, ruang penyempurnaan masih terbuka lebar ke depan.
Misalnya, BPD dapat mengembangkan super apps yang mengintegrasikan berbagai layanan keuangan dalam satu platform, termasuk untuk pembayaran pajak dan retribusi daerah secara elektronik, manajemen anggaran dan belanja Pemda secara real-time, serta sistem pengawasan yang terhubung dengan regulator. Alhasil, dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas keuangan daerah.
Terobosan lain yang tidak boleh dilupakan ialah peran BPD dalam digitalisasi dana desa. Integrasi Sistem Keuangan Pemerintah Desa (Siskeudes) dengan API Cash Management System (CMS) BPD akan memainkan peran penting sehingga setiap transaksi dapat dilakukan secara digital dan mudah dipantau.
Inovasi ini memungkinkan desa untuk bertransaksi langsung tanpa melibatkan uang tunai, yang pada gilirannya mengurangi potensi penyalahgunaan dan meningkatkan efektivitas pengelolaan anggaran desa.
Meski menjanjikan banyak keunggulan, masih banyak tantangan yang perlu menjadi pekerjaan rumah. Infrastruktur teknologi yang belum merata, literasi digital masyarakat, serta isu keamanan siber merupakan aspek yang perlu mendapatkan perhatian serius.
Oleh karena itu, penguatan sistem keamanan digital, edukasi kepada masyarakat, serta peningkatan kapasitas SDM pemerintah dalam mengelola transaksi digital harus menjadi prioritas.
Pada akhirnya, digitalisasi dalam sektor pemerintahan bukan sekadar peningkatan layanan, tetapi juga kunci utama dalam mencapai Asta Cita dan membawa Indonesia ke era keemasan 2045.
Kata kuncinya ialah sinergi. Kolaborasi erat antara Pemerintah, Bank Indonesia dan Perbankan menjadi bukti nyata bahwa reformasi birokrasi berbasis teknologi mampu berkontribusi nyata terhadap pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.
Artikel ini telah dimuat di INVESTOR DAILY 19 Februari 2025
Nov 22, 2024 | Articles on Media
Kita patut bersyukur inflasi nasional tahun ini diperkirakan masih dalam target sebesar 2,5% ± 1%. Namun, sebagai refleksi di penghujung tahun untuk evaluasi ke depan, mari kita renungkan sebuah pertanyaan krusial, “Mengapa ada Pemda yang mampu mengendalikan inflasi daerahnya relatif lebih mudah ketimbang Pemda lainnya?”
Jawabannya mungkin sama dengan teka-teki “Mengapa ada negara yang berhasil dan ada yang gagal?” Pertanyaan ini mendasari lahirnya buku “Why Nations Fail” pada 12 tahun silam. Pandangan baru dalam buku ini berhasil mengantarkan penulisnya meraih nobel ekonomi 2024.
Ide dasarnya ialah negara yang maju sejatinya bukan ditentukan karena memiliki sumber daya alam melimpah, melainkan karena kehadiran institusi yang inklusif dan kuat.
Dalam konteks upaya pengendalian inflasi di daerah, gagasan ‘institusi yang inklusif dan kuat’ sangat relevan. Kerangka 4K (keterjangkauan harga, ketersediaan pasokan, kelancaran distribusi dan komunikasi efektif) tidak dapat dijalankan Pemda seorang diri.
Apalagi jika kapasitas fiskal daerah terbatas, keberadaan Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) sebagai wadah sinergi lintas lembaga memainkan peran krusial dalam mengimplementasikan Kerangka 4K.
Penguatan kapabilitas institusi bernama TPID secara berkelanjutan sudah menjadi sebuah keharusan. Pasalnya walau tingkat inflasi nasional cenderung stabil dan rendah setiap tahunnya, kita tidak dapat menafikan posisi Indonesia dalam Global Food Security Index.
Saat ini Indonesia menduduki peringkat 63 dari 113 negara. Di tingkat ASEAN, Indonesia bahkan masih di bawah Singapura yang notabene tidak memiliki lahan pertanian luas.
Faktor-faktor seperti keterbatasan produksi pangan domestik, ketergantungan pada impor bahan pangan tertentu, dan distribusi yang kurang efisien menjadi penyebab utama. Di sinilah peran TPID menjadi semakin signifikan. TPID tidak hanya harus responsif terhadap gejolak harga, tetapi juga mampu mengantisipasi permasalahan sebelum menjadi krisis.
Argumen di atas kian didukung dengan semakin kompleksnya tantangan global dan ancaman krisis iklim di depan mata. Oleh karena itu, TPID perlu didukung dengan berbagai kemampuan baru. Institusi yang inklusif dan kuat, sebagaimana gagasan peraih nobel ekonomi tahun ini, harus diwujudkan dalam bentuk TPID yang tidak hanya menjalankan fungsi pemantauan harga, tetapi juga memiliki strategi yang mampu menjawab permasalahan secara struktural.
BUMD pangan
Kemampuan baru tersebut bernama Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) pangan. Eksistensi BUMD pangan memungkinkan TPID memiliki kontrol yang lebih besar terhadap stabilitas harga di daerah. BUMD pangan, sebagai entitas bisnis daerah, mampu berperan langsung dalam pengadaan, penyimpanan, dan distribusi untuk memastikan kelancaran pasokan.
BUMD pangan juga memiliki fleksibilitas untuk bermitra dengan berbagai pihak, seperti kelompok tani, koperasi, dan sektor swasta, sehingga distribusi dan produksi pangan di daerah dapat lebih terjaga.
Dalam kondisi tertentu, BUMD pangan dapat menjadi penyedia cadangan pangan yang siap didistribusikan untuk menstabilkan harga di pasar ketika terjadi lonjakan permintaan atau gangguan pasokan.
Pengalaman DKI Jakarta dapat menjadi studi kasus menarik. Dengan lahan pertanian yang terbatas, inflasi Jakarta terbukti masih terkendali dengan baik. Salah satu kunci suksesnya keberadaan tiga BUMD pangan yang dimilikinya. Food Station Tjipinang di bidang perdagangan beras, Perumda Dharma Jaya untuk komoditas daging dan Perumda Pasar Jaya untuk pengelolaan pasar tradisional dan modern.
Meskipun konsepnya cantik di atas kerja, namun kebijakan untuk membentuk BUMD pangan di banyak daerah masih perlu didorong. Buktinya data Statistik Keuangan BUMN dan BUMD menunjukkan terdapat 1.008 BUMD di Indonesia pada 2022.
Dari jumlah tersebut terdapat 124 BUMD yang masuk dalam kategori usaha yang berkaitan dengan pangan. Dengan rasio hanya sekitar 10%, tidaklah mengejutkan jika ketergantungan pasokan pada swasta masih cukup dominan di mayoritas daerah.
Kesadaran untuk mendirikan BUMD pangan sejatinya sudah ada sejak lama, namun ikhtiar menuju cita-cita tersebut memang tidaklah mudah. Tantangannya beragam dan kompleks. Salah satunya ialah keterbatasan modal dan sumber daya.Implikasinya, mereka sulit mengembangkan infrastruktur seperti gudang penyimpanan, jalur distribusi, dan sistem logistik yang memadai.
Idealnya ada dua langkah yang dapat ditempuh untuk menjawab tantangan tersebut. Pertama, penguatan modal dan akses pembiayaan. Bisa melalui penyertaan modal daerah, maupun pinjaman lunak oleh BPD khusus untuk BUMD pangan.
Alternatif lainnya adalah dengan membangun skema kemitraan dengan BUMD pangan daerah lain yang sudah lebih mapan secara finansial dan sistem manajemen.
Kedua, penguatan sinergi antar pemangku kepentingan. Pemda dapat membentuk forum kolaborasi yang mempertemukan BUMD, TPID, BUMN dan asosiasi pelaku usaha dari sektor swasta. Forum ini bisa menjadi wadah untuk menyatukan visi dan menyusun strategi bersama yang berfokus pada penguatan ketahanan pangan, baik dari sisi hulu hingga hilir.
Sementara bagi BUMD pangan yang telah terbentuk, terdapat tiga area kapabilitas yang dapat diperkuat. Pertama, optimalisasi operasional melalui teknologi. Penggunaan sistem manajemen rantai pasok berbasis digital, misalnya, memungkinkan BUMD pangan untuk memantau distribusi produk secara real-time dan mengurangi biaya operasional.
Kedua, investasi dalam infrastruktur bisnis. BUMD pangan dapat berinvestasi dalam fasilitas penyimpanan modern, seperti cold storage, yang dapat menjaga kualitas produk lebih lama. Selain itu, pembangunan pusat logistik di titik-titik strategis dapat mengurangi waktu dan biaya distribusi.
Ketiga, diversifikasi produk pangan. BUMD pangan juga bisa mengembangkan produk olahan sebagai langkah untuk meningkatkan nilai tambah produk dan mengurangi ketergantungan pada hasil panen mentah.
Pada akhirnya, nobel ekonomi 2024 mengingatkan kita bahwa institusi yang kuat adalah yang mampu menyesuaikan diri dengan kebutuhan masyarakatnya. Dengan sinergi antara TPID dan BUMD pangan, daerah akan memiliki ketahanan pangan yang lebih baik dan stabilitas harga yang lebih terjaga.
Pada saat bersamaan, TPID dapat menjadi institusi yang lebih inklusif dengan melibatkan berbagai elemen dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Artikel ini telah dimuat di KONTAN 22 November 2024
Oct 31, 2024 | Articles on Media
Senyum pelaku usaha mikro kian merekah. Pasalnya Bank Indonesia akan membebaskan biaya atau Merchant Discount Rate (MDR) QRIS menjadi 0% untuk nominal transaksi maksimal Rp500 ribu bagi pelaku usaha mikro per 1 Desember 2024.
Kebijakan ini sejalan dengan semangat bank sentral untuk memperluas akseptasi digitalisasi sistem pembayaran, sekaligus menopang daya beli masyarakat kelas menengah bawah.
Secara historis kebijakan MDR QRIS 0% hanya berlaku untuk transaksi maksimal Rp100 ribu. Dengan peningkatan batasan ini, Bank Indonesia berharap dapat mendorong lebih banyak usaha mikro untuk beralih ke metode pembayaran digital.
Selain itu, langkah ini merupakan bagian dari koordinasi berkelanjutan dengan Pemerintah untuk menjaga stabilitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Bank Indonesia mencatat transaksi QRIS terus tumbuh pesat sebesar 209,61% (yoy) pada kuartal III 2024. Jumlah penggunanya telah mencapai 53,3 juta dan jumlah merchant 34,23 juta.
Penggunaan QRIS mayoritas dilakukan pada sektor UMKM sebesar 92,47% di mana usaha mikro menyumbang 55%. Alhasil, regulator melihat potensi sangat besar pada segmen ini sehingga memerlukan pendalaman dan perluasan QRIS melalui pemberian relaksasi MDR.
Tesis ini sejalan dengan lanskap UMKM tanah air. Kementerian Koperasi dan UKM menyebut terdapat 64,2 juta UMKM pada 2021. Jika dibedah lebih lanjut, usaha mikro mendominasi 99,62% atau sebanyak 63,95 juta unit.
Dengan kontribusinya yang sangat signifikan, langkah otoritas sistem pembayaran untuk menyasar lebih dalam segmen ini terbilang sangat tepat.
Kebijakan MDR QRIS 0% menjadi solusi atas hambatan yang selama ini dihadapi oleh usaha mikro dalam beradaptasi dengan teknologi pembayaran. Secara kalkulasi bisnis, pengenaan biaya MDR mengurangi margin keuntungan usaha.
Oleh karena itu, stimulus ini akan memberikan kesempatan kepada usaha mikro untuk meningkatkan skala bisnis melalui transaksi nontunai tanpa harus khawatir akan pengurangan keuntungan.
Segendang sepenarian argumen tersebut turut didukung survei yang dilakukan Visa (2024). Hasil studi ini menunjukkan UMKM yang menerima pembayaran digital mengalami peningkatan omzet signifikan.
Survei juga menemukan bahwa adopsi pembayaran digital membuat bisnis menjadi lebih mudah bagi 83% UMKM yang disurvei di Indonesia.
Dari perspektif makroekonomi, upaya mengakselerasi adopsi QRIS juga menjadi bagian dari strategi menciptakan ekosistem keuangan yang lebih inklusif.
Global Findex Database 2021 oleh Bank Dunia menunjukkan jumlah penduduk dewasa yang tidak memiliki rekening bank (unbanked) di Indonesia sebanyak hampir 98 juta orang. Menariknya, sekitar 55% dari penduduk unbanked ini justru memiliki akses ke telepon genggam.
Pada titik inilah layanan keuangan digital melalui QRIS akan memainkan peran krusial. Ketika transaksi usaha mikro tercatat dalam sistem digital, data ini menjadi alat yang sangat berguna bagi lembaga keuangan untuk menilai profil risiko usaha mikro tersebut.
Dengan pencatatan transaksi yang akurat, pelaku usaha mikro dapat menunjukkan performa keuangan yang lebih transparan dan dapat diandalkan.
Memperluas akses
Muaranya tentu ialah kemudahan akses pembiayaan oleh lembaga keuangan. Dengan adanya pencatatan transaksi secara digital melalui QRIS, pelaku usaha mikro dapat membangun rekam jejak keuangan yang kredibel sehingga bisa digunakan sebagai dasar penilaian kelayakan kredit.
Implikasinya, semakin banyak transaski usaha mikro menggunakan QRIS, semakin besar peluang untuk mendapatkan akses kredit yang selama ini sulit dijangkau.
Peningkatan transaksi QRIS juga dapat memperluas akses usaha mikro ke layanan keuangan lainnya, seperti tabungan digital, pinjaman fintech, atau layanan asuransi, yang semakin mudah diakses melalui aplikasi digital.
Dengan demikian, QRIS juga dapat menjadi katalisator bagi peningkatan inklusi keuangan yang lebih luas, terutama bagi segmen masyarakat yang selama ini belum terjangkau layanan perbankan tradisional.
Dalam praktiknya, QRIS yang pada awalnya dirancang sebagai alat pembayaran digital, kini berkembang menjadi pendorong terjadinya transformasi digital usaha mikro.
Adopsi QRIS seringkali menjadi jembatan untuk memperkenalkan pelaku usaha mikro pada peluang digital yang lebih luas. Seiring dengan peningkatan penggunaan QRIS, mereka akan semakin menyadari pentingnya memperluas jangkauan bisnis ke media sosial dan marketplace.
Sebagai media edukasi, QRIS merupakan titik awal ideal untuk mendorong pemahaman lebih lanjut bagi pelaku usaha mikro tentang teknologi. Mereka dapat melihat manfaat langsung dari digitalisasi tanpa harus menghadapi hambatan teknis yang kompleks.
Pada tahapan selanjutnya, QRIS secara tidak langsung memberi pelaku usaha kepercayaan diri untuk bersaing di pasar digital. Hal ini memberi sinyal bahwa beralih ke platform daring adalah langkah logis berikutnya dalam pertumbuhan bisnis mereka.
Optimisme ini semakin diperkuat oleh kehadiran fitur QRIS TTM (Tanpa Tatap Muka). Dengan QRIS TTM, pelaku usaha tidak perlu bertemu langsung dengan pembeli untuk menerima pembayaran.
Transaksi pembayaran dapat dilakukan dari jarak jauh dengan memindai kode QR yang disediakan secara digital.
Hal ini memungkinkan UMKM untuk memperluas jangkauan bisnis mereka ke platform daring, seperti media sosial atau lokapasar, tanpa khawatir keterbatasan dalam penerimaan pembayaran.
Mengutip data Kementerian Perdagangan, 22 juta UMKM telah bergabung dalam ekonomi digital atau sekitar 33,6% dari total UMKM pada 2023. Sementara itu, Pemerintah Indonesia menargetkan 30 juta UMKM Digital pada 2024.
Dengan begitu, ruang dan potensi usaha mikro untuk masuk dalam industri ekonomi digital ke depannya masih terbuka lebar ke depan.
Dalam jangka panjang, semakin banyak usaha mikro yang terintegrasi ke dalam ekosistem digital, semakin banyak pula data yang dapat diolah otoritas untuk melihat dinamika ekonomi di sektor usaha mikro.
Konsekuensi logisnya, perumusan kebijakan akan lebih tepat sasaran, baik dalam mendukung pertumbuhan ekonomi digital maupun dalam mendorong inklusi keuangan yang lebih luas.
Kuncinya, sinergi yang solid antar pemangku kepentingan menjadi fondasi penting dalam menciptakan ekosistem digital yang mendukung usaha mikro.
Melalui kolaborasi yang harmonis, digitalisasi UMKM niscaya menjadi kenyataan, bukan sekadar impian cantik di atas kertas.
Artikel ini telah dimuat di KONTAN 31 Oktober 2024
Oct 31, 2024 | Articles on Media
Sesuai hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 15-16 Oktober 2024, fokus kebijakan moneter jangka pendek oleh otoritas moneter ialah stabilitas nilai tukar Rupiah.
Di tengah ketidakpastian pasar keuangan global dan tensi geopolitik yang belum menemukan titik terang, ekonomi dunia menghadapi berbagai tantangan yang membuat volatilitas mata uang menjadi salah satu perhatian utama negara berkembang.
Walau masih dibayang-bayangi situasi yang serba kompleks, kinerja Rupiah terbilang cukup apik sepanjang tahun ini. Kurs mata uang Garuda terpantau masih terjaga relatif stabil dengan tingkat depresiasi sebesar 1,17% dibanding posisi akhir Desember 2023.
Nilai tukar Rupiah masih lebih baik dibandingkan Peso Filipina, Dollar Taiwan, dan Won Korea yang masing-masing terdepresiasi sebesar 4,25%, 4,58%, dan 5,62%.
Stabilitas nilai tukar Rupiah tidak terlepas dari konsistensi implementasi instrumen triple intervention oleh Bank Indonesia. Salah satu dari trio jurus bank sentral tersebut ialah Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF).
DNDF adalah transaksi derivatif valuta asing terhadap Rupiah berupa transaksi forward dengan mekanisme fixing yang dilakukan di pasar domestik, dimana penyelesaian transaksi dalam mata uang Rupiah.
Secara historis DNDF diperkenalkan oleh Bank Indonesia pada akhir 2018 sebagai bagian dari upaya memperkuat stabilitas nilai tukar Rupiah di tengah ketidakpastian global. Kala itu ekonomi global diwarnai oleh fluktuasi tajam akibat kebijakan moneter negara maju yang mulai menerapkan normalisasi suku bunga setelah periode panjang quantitative easing.
Implikasinya aliran modal keluar dari negara berkembang, termasuk Indonesia yang berujung pada pelemahan mata uang negara berkembang.
Selain faktor kebijakan moneter global, perdagangan internasional dan aspek geopolitik juga berkontribusi terhadap volatilitas pasar.
Alhasil, terjadi pergeseran sentimen risiko di kalangan investor global, yang cenderung menarik dana investasinya dari negara berkembang dan mengalokasinya ke aset yang dinilai lebih aman di negara maju.
Secara umum ada tiga keunggulan yang ditawarkan DNDF. Pertama, penyelesaian transaksi tanpa pergerakan dana valas pokok dengan cara menghitung selisih antara kurs transaksi forward dan kurs acuan atau pada tanggal tertentu yang telah ditetapkan di awal kontrak.
Sebelumnya, transaksi forward dilakukan melalui pemindahan dana pokok secara penuh. Dampaknya arus masuk keluar valas sangat cepat sehingga berisiko terhadap nilai tukar Rupiah.
Kedua, penyelesaian transaksi DNDF tersebut wajib dilakukan dalam Rupiah. Ketiga, DNDF wajib didukung underlying document untuk transaksi di atas nominal tertentu.
Dokumen transaksi yang dipersyaratkan tersebut bisa berupa dokumen perdagangan barang dan jasa, investasi, dan pemberian kredit bank dalam valas. Melalui mekanisme ini, pelaku pasar tidak dapat melakukan spekulasi terhadap valas.
Meski tujuan dan manfaat DNDF cantik di atas kertas, namun implementasinya di lapangan tentu bukanlah perkara mudah. Setidaknya ada dua tantangan utama yang dihadapi.
Pertama, literasi keuangan dan kesadaran pelaku pasar tentang pentingnya instrumen lindung nilai seperti DNDF.
Pada awal kemunculannya, tidak banyak pelaku pasar terjun ke pasar DNDF. Pasalnya biaya yang dikeluarkan untuk melindungi nilai tukar dianggap sebagai kerugian jika nilai tukar bergerak berlawanan dari yang diperkirakan.
Namun, patut disadari transaksi DNDF bukanlah spekulasi. Tujuan utamanya adalah untuk meminimalkan risiko, bukan untuk mencari keuntungan dari pergerakan mata uang tertentu.
Ketika pelaku pasar menggunakan transaksi DNDF, mereka sejatinya sedang membeli proteksi terhadap kemungkinan kerugian yang jauh lebih besar akibat fluktuasi nilai tukar.
Biaya yang dikeluarkan untuk transaksi hedging melalui DNDF seharusnya sebagai bentuk asuransi yang melindungi bisnis dari ketidakpastian nilai tukar. Dalam jangka panjang, perlindungan ini membantu pelaku pasar mengelola anggaran dengan lebih baik dan mencegah kerugian besar yang tidak terduga.
Kedua, likuiditas pasar DNDF masih tergolong dangkal dibandingkan dengan pasar valas konvensional. Peningkatan partisipasi dari bank-bank lokal dan asing diharapkan dapat memperkuat likuiditas dan memberikan harga yang lebih kompetitif bagi pelaku pasar.
Dengan berbagai upaya edukasi dan regulatory reform oleh Bank Indonesia untuk beradaptasi dengan perkembangan pasar, transaksi DNDF konsisten menunjukkan tren positif.
Rata-rata harian transaksi DNDF pada 2018 sekitar USD 21 juta, terus tumbuh signifikan hingga mencapai sekitar USD 124 juta tahun ini. Jumlah pemain yang terlibat juga turut mengalami peningkatan serupa, dari 37 menjadi 131 pelaku dalam kurun enam tahun.
Kehadiran CCP
Ruang pertumbuhan transaksi DNDF masih terbuka lebar dalam jangka menengah panjang. Bank Indonesia menargetkan transaksi DNDF akan naik pesat menjadi USD 1 miliar per hari pada 2030.
Kehadiran Central Counterparty (CCP) untuk transaksi pasar uang dan pasar valas yang telah beroperasi pada 30 September 2024 menjadi salah satu faktor pendorongnya.
Terdapat tiga argumen yang melatarbelakangi optimisme ini. Pertama, salah satu kekhawatiran utama bagi pelaku pasar dalam transaksi DNDF adalah risiko counterparty (atau risiko kredit) dari lawan transaksi.
CCP mengambil alih risiko ini dengan menjadi counterparty dari kedua pihak yang bertransaksi. Hal ini memberikan kepercayaan lebih besar bagi pelaku pasar untuk terlibat dalam transaksi DNDF karena risiko kredit berkurang secara signifikan.
Dengan risiko kredit yang lebih rendah, pelaku pasar akan lebih terdorong untuk meningkatkan volume transaksi. Mereka dapat fokus pada kebutuhan lindung nilai tanpa harus khawatir mengenai risiko yang terkait dengan counterparty.
Kedua, CCP membantu menciptakan pasar yang lebih terstruktur dan likuid dengan menyatukan berbagai peserta pasar dalam satu mekanisme sentral.
Likuiditas pasar DNDF akan meningkat karena pelaku pasar lebih bersedia untuk bertransaksi, mengingat mereka memiliki perlindungan terhadap risiko counterparty.
Likuiditas yang lebih besar menarik lebih banyak partisipan ke dalam pasar, termasuk pemain besar seperti investor institusional.
Dengan volume transaksi yang lebih tinggi, pasar DNDF akan menjadi lebih likuid dan spread antara harga beli dan harga jual akan semakin sempit sehingga mendorong lebih banyak transaksi.
Ketiga, keberadaan CCP juga memberikan transparansi lebih besar terhadap kondisi pasar. Dengan sistem sentralisasi yang diatur dan diawasi, pelaku pasar memiliki informasi yang lebih jelas mengenai harga pasar dan risiko yang terpapar.
Selain itu, CCP tunduk pada regulasi yang ketat, yang dapat meningkatkan kepercayaan pelaku pasar terhadap stabilitas pasar DNDF.
Meskipun CCP membawa angin segar bagi prospek transaksi DNDF ke depan, sejumlah tantangan lain masih harus dituntaskan.
Walau demikian, perjalanan instrumen DNDF di Indonesia selama enam tahun terakhir memberikan sebuah pelajaran penting, bahwa negara berkembang dapat menerapkan strategi kebijakan inovatif untuk mengelola stabilitas nilai tukar dari guncangan eksternal tanpa harus terlalu bergantung pada pasar global.
Artikel ini telah dimuat di INVESTOR DAILY 31 Oktober 2024
Sep 11, 2024 | Articles on Media
Standar pembayaran Indonesia menggunakan kode QR (QRIS) segera berwajah baru. Bank Indonesia telah memperkenalkan QRIS Tap pada awal Agustus 2024.
Kehadiran variasi QRIS baru ini merupakan hasil kolaborasi apik antara Bank Indonesia dan Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) pasca peluncurkan Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2030.
Inovasi merupakan satu dari lima kata kunci yang tersemat dalam BSPI 2030. Inovasi layanan pembayaran diarahkan berjalan di dalam koridor persaingan usaha yang sehat untuk menjamin integrasi ekonomi dan keuangan digital secara end-to-end.
QRIS Tap merupakan salah satu contoh buah manis inovasi bank sentral dan industri yang lahir untuk mencapai sasaran akhir ini.
Dalam konsepsinya, QRIS Tap menggunakan teknologi Near Field Communication (NFC) yang memungkinkan transfer data dalam jarak sangat dekat. Cara kerjanya berbeda dengan metode QRIS yang dikenal saat ini.
Pengguna maupun merchant tidak lagi perlu memindai (scan) kode QR. Pengguna dapat melakukan transaksi hanya dengan mendekatkan ponsel ke terminal pembayaran atau mesin pembaca (reader) melalui fitur baru tersebut.
QRIS Tap nantinya bisa dipakai untuk beragam transaksi, termasuk transportasi umum. Mekanismenya serupa dengan kartu uang elektronik (e-money). Cukup buka aplikasi, tempel ponsel cerdas dan selesai.
Keunggulan utama dari NFC adalah kecepatan, kemudahan, dan tingkat keamanan tinggi yang menjadikannya sebagai solusi ideal untuk pembayaran di era yang serba cepat.
Aneka fitur QRIS
Eksistensi QRIS Tap kelak akan melengkapi berbagai fitur QRIS yang telah ada saat ini. Sejak diluncurkan pada 2019, QRIS telah mengalami ragam pengembangan dalam lima tahun terakhir.
Sebut saja QRIS Statis, QRIS Dinamis, QRIS Merchant Presented Mode, QRIS Customer Presented Mode, QRIS TTM (Tanpa Tatap Muka), QRIS Antarnegara (cross border) dan QRIS TUNTAS (Transfer, Tarik dan Setor Tunai).
Sebagai game changer pembayaran ritel Tanah Air, QRIS konsisten mencatatkan pertumbuhan eksponensial setiap tahunnya.
Nominal transaksi QRIS sepanjang Januari-Juli 2024 sebesar Rp58,75 triliun atau tumbuh 220% dibanding periode sama tahun 2023. Sementara itu, jumlah pengguna QRIS per Juli 2024 sudah mencapai 51,43 juta dan jumlah merchant 33,21 juta.
Di era digital yang semakin canggih, potensi penggunaan NFC sebagai teknologi pendukung pembayaran terbilang sangat menjanjikan.
Studi yang dilakukan oleh Allied Market Research menunjukkan nilai pasar pembayaran menggunakan NFC di tingkat global mencapai USD 25,8 miliar pada 2022. Angka ini diproyeksikan terus meningkat 35,9% per tahun hingga menyentuh USD 507,1 miliar pada 2032.
Dalam publikasinya Allied Market Research menyebut NFC sebagai teknologi mutakhir yang merevolusi sistem pembayaran.
Dengan enkripsi canggih dan proteksi data berlapis, NFC dianggap lebih aman dibandingkan metode pembayaran tradisional seperti kartu kredit atau debit yang rentan terhadap pencurian data. Hal ini menjadikan pembayaran NFC sebagai metode yang nyaman dan terpercaya untuk transaksi keuangan modern.
Setali tiga uang aplikasi pembayaran Negeri Tirai Bambu, Alipay baru saja meluncurkan layanan pembayaran NFC bernama Alipay’s Tap! pada Juli 2024.
Media lokal menyebut kemunculan Alipay’s Tap! sebagai bukti raksasa teknologi itu tidak cepat berpuas diri, meski pembayaran menggunakan kode QR telah diadopsi secara luas di Tiongkok dengan tingkat peneterasi mencapai 86%.
Kebutuhan Gen Y & Z
Dari dalam negeri, peluang QRIS Tap berkembang sangat terbuka lebar. Laporan Visa Consumer Payment Attitude Study 2023 menemukan bahwa gelombang cashless terus berlanjut di Indonesia.
Perilaku nontunai ini didorong oleh segmen Gen Z (76%) dan Gen Y (69%) dimana hampir tiga dari lima orang telah mengadopsi gaya hidup cashless. Kelompok ini berhasil tidak menggunakan uang tunai selama sepuluh hari.
Temuan di atas sangat rasional. Generasi Y dan Z tumbuh di tengah revolusi digital. Mereka terbiasa dengan teknologi yang memungkinkan segala sesuatu terjadi dengan cepat dan efisien.
Tak ayal kehadiran QRIS Tap mampu memenuhi kebutuhan ini dengan proses pembayaran transaksi yang hanya memerlukan waktu beberapa detik. Kecepatan dan kemudahan ini selaras dengan gaya hidup generasi yang serba cepat dan multitasking.
Generasi Y dan Z juga dikenal sangat menghargai pengalaman yang dipersonalisasi. Dukungan teknologi NFC memungkinan layanan dan promosi dapat disesuaikan berdasarkan lokasi dan preferensi pengguna.
Misalnya, pengguna bisa mendapatkan penawaran khusus saat mendekati toko favorit mereka. Teknologi ini tidak hanya membuat pembayaran menjadi lebih praktis, tetapi juga meningkatkan pengalaman berbelanja secara keseluruhan.
Sektor transportasi publik diyakini akan berkontribusi signifikan terhadap transaksi QRIS Tap dalam jangka pendek menengah. Pasalnya QRIS Tap merupakan substitusi sempurna dari kartu uang elektronik yang notabene acap digunakan untuk aktivitas mobilitas.
Misalnya, pembayaran jalan tol, MRT, LRT, TransJakarta, dan parkir. Walau demikian, QRIS Tap juga dapat digunakan untuk aktivitas berbelanja, maupun donasi nontunai di tempat ibadah.
Dalil di atas turut didukung data lalu lintas orang dan kendaraan. Misalnya, Jasa Marga mencatatkan rata-rata lalu lintas harian di jalan tol Jasa Marga Group sebanyak 3,5 juta kendaraan per harinya sepanjang 2023.
Segendang sepenarian PT Transportasi Jakarta (TransJakarta) juga melayani total 280 juta pelanggan selama 2023. Tak pelak statistik tersebut kian memantik optimisme besarnya peluang pasar yang dapat digarap oleh QRIS Tap di masa depan.
Meski menjanjikan banyak kelebihan, namun QRIS Tap tidak ditujukan untuk menggantikan uang tunai dan kartu debit/kredit. Secara teknis tidak semua ponsel dilengkapi dengan teknologi NFC.
Artinya, masih terdapat lapisan masyarakat tertentu yang belum dapat menikmati layanan baru ini. QRIS Tap sejatinya diposisikan sebagai alternatif baru bagi sistem pembayaran yang sudah ada dan bersifat opsional.
Dengan lanskap sistem pembayaran Indonesia yang semakin mengarah ke digitalisasi, kehadiran QRIS Tap nantinya niscaya akan menandai langkah maju Bank Indonesia dan pelaku industri dalam menyambut masa depan yang sudah ada di depan mata.
Sebagai alat pembayaran yang mengutamakan kemudahan dan kecepatan, QRIS Tap menjadi solusi adaptif terhadap kebutuhan masyarakat modern. Dukungan kesiapan infrastruktur dan edukasi kepada masyarakat juga akan memainkan peran krusial agar adopsinya dapat berjalan lebih optimal.
Artikel ini telah dimuat di KONTAN 11 September 2024