ERA BARU KEBANGKITAN TECHFIN

Jul 14, 2020 | Articles on Media

Mata seluruh pemain keuangan digital global kini sedang tertuju pada Facebook. Aplikasi besutan miliarder Mark Zuckerberg tersebut baru saja mengumumkan pencalonan eksekutif PayPal, Peggy Alford sebagai anggota dewan direksi.

Tak pelak perekrutan ini telah mencuatkan dugaan kuat keseriusan manajemen Facebook untuk berekspansi ke bidang teknologi finansial.

Hipotesa ini tentu tidak terlepas dari latar belakang dan pengalaman Peggy Alford selama di PayPal yang notabene merupakan salah satu perusahaan terbesar dan pionir bisnis dompet digital di Amerika Serikat.

Dari sudut pandang kacamata makro, aksi korporasi Facebook tersebut telah memantik kembali diskursus perihal persaingan fintech (financial technology) melawan techfin (technology finance).

Bagi orang awam, kedua terminologi tersebut tidak memiliki perbedaan signifikan. Bahkan di Indonesia keduanya sama-sama dikenal dengan frasa fintech.

Namun common practice ini tidak berlaku bagi pakar di bidang teknologi dan keuangan digital. Keduanya dibedakan berdasarkan bisnis inti (core business) korporasi yang menaunginya.

Pada hakikatnya fintech merupakan jasa keuangan yang disediakan oleh institusi keuangan (umumnya usaha rintisan) dengan perantaraan teknologi sebagai media utamanya. Contoh paling populer di Amerika Serikat ialah PayPal, sementara di Indonesia ialah Ovo dan Dana.

Di sisi lain, techfin merujuk pada korporasi teknologi yang menawarkan jasa keuangan sebagai bagian dari layanan yang lebih luas. Sebut saja Apple (Apple Pay), Samsung (Samsung Pay), Alibaba (Ant Financial), dan Google (Google Pay) yang menjadi bagian dari kelompok ini.

Secara teori, korporasi teknologi akan melewati tiga tahap sebelum menawarkan jasa keuangan kepada publik. Tahap pertama disebut data broker. Pada fase ini korporasi akan memanfaatkan basis datanya yang masif dengan melakukan uji coba serangkaian data dan menjual hasilnya kepada institusi keuangan.

Tahap selanjutnya disebut vertical integration. Alih-alih menjual hasil uji coba data ke pihak ketiga, korporasi justru menggunakan hasil tersebut untuk membantu meningkatkan kualitas pengambilan keputusan.

Misalnya manajemen risiko dalam penyaluran pinjaman bagi penjual kecil atau untuk mengoptimalkan mekanisme pembayaran.

Tahap terakhir dikenal dengan istilah horizontal diversification. Bermodalkan hasil simulasi pengambilan keputusan yang telah teruji, korporasi selanjutnya bertransformasi menjadi lembaga keuangan yang menawarkan produk jasa pembayaran atau kredit di luar bisnis intinya.

Pada titik inilah perbankan dan fintech yang bertindak sebagai incumbent patut mewaspadai kehadiran pesaing baru.

Dalam konteks agenda ekspansi, sudah menjadi rahasia umum bahwa Facebook telah mengincar lini bisnis techfin sejak lama. Facebook telah mengusung fitur pembayaran digital melalui Whatsapp Payment. Layanan ini baru diluncurkan awal tahun 2018 dalam versi beta dan sudah bisa dinikmati di India.

Tidak berhenti sampai di situ, Facebook terus menggencarkan proyek kerja sama dengan beberapa lembaga keuangan. Harian Wall Street Journal pada Agustus 2018 mengabarkan Facebook telah meminta data nasabah bank-bank besar di Amerika Serikat, seperti Chase, JPMorgan, Citibank, dan Wells Fargo.

Tujuannya untuk mengembangkan layanan baru di platform SMS Messeger jaringan sosial. Sinergi serupa sudah terjalin antara Facebook dengan perusahaan kartu kredit, seperti American Express dan Mastercard.

Tak heran sejumlah pihak lalu menafsirkan langkah Facebook tersebut sebagai upaya terselubung untuk menginvansi sektor keuangan konvensional.

Menariknya apabila prediksi agenda ekspansi tersebut benar terealisasi, serta integrasi dengan Instagram dan Whatsapp berjalan sesuai harapan, Facebook berpotensi menjadi pemain terbesar keuangan digital.

Mencermati sepak terjang Facebook sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, tidaklah berlebihan jika menyimpulkan predikat Facebook sebagai raksasa techfin global sepertinya hanya tinggal menunggu waktu saja.

Jika berkaca pada kisah sukses WeChat Pay di Tiongkok, rasa-rasanya manajemen Facebook patut menyematkan optimisme tinggi.

Argumen ini turut didukung oleh studi Visa (2017) bertajuk “Innovations for a Cashless World: Consumer Desire and the Future of Payments”. Visa menyebut terdapat lima tren pembayaran di masa depan. Salah satunya ialah pembayaran lewat platform pengirim pesan (paying in messaging platform).

Model bisnis

Lantas apakah aksi korporasi ini akan menjadi penanda kebangkitan era techfin? Bisa jadi demikian. Dalam satu dekade terakhir, harus diakui popularitas techfin di tingkat global nyaris tenggelam di tengah hiruk pikuk pemberitaan tentang fintech.

Berkaca pada pengalaman di sejumlah negara, salah satu dalih yang dapat mendeskripsikan akar masalah tersebut ialah model bisnis techfin yang tidak ubahnya dengan bisnis konvensional.

Tuntutan perolehan laba setinggi-tingginya oleh investor menjadi sebuah maklumat yang tidak bisa ditawar. Maklum sebagian besar korporasi tersebut tercatat sebagai emiten pasar modal. Praktis aktivitas akuisisi pelanggan baru melalui berbagai program promosi secara intensif seakan menjadi kata keramat yang tabu untuk dilakukan.

Bagaimana dengan di Indonesia? Apabila dikaitkan dengan keberadaan pemain asing, faktor keterlambatan penetrasi pasar menjadi hal yang tidak dapat dielakkan. Misalnya, Samsung Pay yang baru resmi beroperasi di Indonesia pada Maret 2019 dengan menggandeng pemain fintech lokal Dana.

Berbeda dengan pesaingnya, Apple Pay justru belum menunjukkan eksistensinya di Tanah Air, meskipun telah hadir di lebih dari 30 negara.

Situasi berbeda justru dapat kita jumpai ketika membahas pemain lokal. Persaingan sengit di pasar domestik antara GoPay dan Ovo menjadi studi kasus yang layak untuk ditelaah lebih lanjut.

Dengan dukungan pundi-pundi melimpah dari status GoJek sebagai decacorn (nilai valuasi di atas US$ 10 miliar), harus diakui GoPay yang merepresentasikan kelompok techfin masih lebih superior ketimbang Ovo.

Segendang sepenarian, survei DailySocial dalam Fintech Report 2018 menempatkan GoPay sebagai peringkat teratas dimana 79% responden menggunakan uang elektronik milik PT Dompet Anak Bangsa. Adapun Ovo (58%) menduduki peringkat kedua.

Namun terlepas dari pihak mana yang akan memenangkan kompetisi pada akhirnya, fenomena agresifitas techfin dan fintech menandaskan besarnya peluang keuangan digital yang masih belum digarap.

Riset McKinsey berjudul “Digital Finance for All: Powering Inclusive Growth in Emerging Economies” menyebut keuangan digital berpotensi membuka akses jasa keuangan kepada 1,6 miliar orang di negara berkembang.

Selain itu, keuangan digital juga dapat meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) negara berkembang sebesar 6% atau sekitar USD 3,7 triliun pada tahun 2025. Kenaikan PDB tersebut akan menciptakan 95 juta lapangan pekerjaan baru di semua sektor ekonomi. Indonesia wajib menangkap kesempatan ini seoptimal mungkin.

Artikel ini telah dimuat di Harian INVESTOR DAILY 30 April 2019

Remon Samora

Remon Samora

I am a digital economy enthusiast, especially financial technology. Writing article for media is my side activity besides working as central bankers. I believe everyone must be 1% Better every single day in order to become the best version of ourself.

Social Media

Remon Samora

@remon.samora