JURUS MERAUP DEVISA PARIWISATA

Jul 14, 2020 | Articles on Media

Menarik menyimak pernyataan Menteri Pariwisata (Menpar), Arief Yahya di sela-sela Rakornas Kementerian Pariwisata (Kemenpar) akhir bulan lalu. Menpar menyebutkan pariwisata adalah industri yang paling mudah dan murah menghasilkan devisa.

Data statistik menunjukkan industri pariwisata saat ini menduduki peringkat kedua penyumbang devisa terbesar setelah CPO. Tak ayal sektor pariwisata membawa angin segar di tengah problematika defisit transaksi berjalan yang masih berlangsung.

Sepanjang Januari-Juli 2018, Kemenpar mengklaim total pundi-pundi devisa yang telah diraih mencapai USD 9 miliar. Nilai tersebut didukung realisasi kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) sebanyak 9,06 juta atau tumbuh 13% dibandingkan tahun lalu.

Dengan tren pertumbuhan yang konsisten dua digit, tak heran Pemerintah optimis mampu membidik kunjungan wisman sebanyak 17 juta pada 2018 dan 20 juta pada 2019.

Secara historis, kinerja industri pariwisata memang terbilang cukup memuaskan. Kemenpar mencatat kontribusi sektor ini terhadap PDB tahun 2015 mencapai 4,23%, kemudian terus meningkat hingga 5% tahun 2017.

Pencapaian ini diikuti pula oleh penyerapan tenaga kerja dari 11,4 juta orang tahun 2015 menjadi 12,2 juta orang dua tahun berselang. Kemenpar memproyeksikan industri pariwisata mampu menyumbang 5,25% dan 5,50% terhadap PDB tahun 2018 dan 2019.

Untuk mencapai target tersebut, Pemerintah telah menyusun strategi pengembangan di tiga aspek utama pariwisata yang dikenal dengan 3A, yaitu Akses, Atraksi dan Amenitas.

Konektivitas transportasi menuju destinasi wisata merupakan poin fundamental dari aspek Akses. Pasalnya isu konektivitas menjadi alasan utama mengapa biaya perjalanan wisata, terutama ke Kawasan Timur Indonesia jauh lebih mahal ketimbang ke negeri tetangga.

BACA JUGA: UPAYA MENGGAET CRAZY RICH TOURISM

Dari sisi Atraksi, Pemerintah dituntut kreatif meramu paket wisatai yang variatif untuk memperpanjang waktu tinggal (length of stay) wisman. Produk utama sebuah destinasi wisata, seperti keindahan alam dan budaya masyarakat lokal wajib dipadupadankan dengan berbagai event menarik.

Sementara itu, Amenitas merupakan fasilitas pendukung untuk memenuhi kebutuhan wisman. Aspek ini acap dikaitkan dengan fasilitas restoran dan akomodasi.

Di atas kertas, ketiga hal tersebut terbilang sudah dapat mengcover hampir seluruh permasalahan pariwisata tanah air. Namun ibarat perusahaan, strategi 3A hanya menjawab pertanyaan produk apa yang dijual. Setidaknya, masih ada dua persoalan lain yang harus diperhatikan.

Memacu investasi swasta

Pertama, berapa biaya mengolah bahan baku. Permasalahan ini terkait erat dengan jumlah modal yang diperlukan untuk mempersiapkan aspek 3A. Berdasarkan kalkulasi pemerintah, kebutuhan investasi di sektor pariwisata untuk lima periode mendatang sebesar Rp500 triliun.

Dana tersebut akan digunakan untuk membangun 120 ribu kamar hotel, 15 ribu restoran, 100 taman rekreasi berstandar internasional, 100 operator selam (diving), 100 marina, 100 Kawasan Ekonomi Khusus pariwisata, serta amenitas pariwisata lainnya.

Namun, derap langkah investasi Pemerintah di sektor pariwisata belum seirama dengan pelaku bisnis pariwisata. Kucuran anggaran ratusan triliun rupiah untuk membangun 10 Destinasi Pariwisata Prioritas (DPP) dan 88 Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) nyatanya belum diimbangi dengan laju investasi swasta.

BKPM merilis total investasi sektor pariwisata sejak 2015 hingga paroh pertama 2018 mencapai Rp 67 triliun. Nilai tersebut ekuivalen dengan 3% dari total investasi nasional. Khusus di lokasi 10 destinasi Bali Baru, total investasi yang telah masuk mencapai Rp 28,51 triliun atau 42,5% dari total investasi pariwisata.

Salah satu solusi guna mengakselerasi penanaman modal di sektor pariwisata sekaligus menjaring wisman dalam jumlah masif ialah mempercepat proses pengoperasian Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) pariwisata.

Hingga akhir 2017, Pemerintah telah menetapkan tiga KEK pariwisata, yaitu KEK Tanjung Lesung (Banten), KEK Morotai (Malut) dan KEK Mandalika (NTB).

BACA JUGA: INVESTASI LANGSUNG ASING MEREDUP, ADA APA?

Kisah sukses KEK Tanjung Lesung barangkali bisa memberikan inspirasi bagi Pemda yang lain. KEK Tanjung Lesung merupakan KEK pariwisata pertama yang diresmikan pada awal 2015. Hingga akhir 2017, komitmen aliran investasi pelaku usaha telah mencapai Rp1,4 triliun dan telah terealisasi Rp249 miliar.

Lokasi ini di tahun 2017 telah dikunjungi 727 ribu turis dimana 22 ribu orang diantaranya adalah wisman. Saat beroperasi penuh di tahun 2025, KEK tersebut diproyeksikan dapat menarik total investasi sebesar Rp92,4 triliun, serta memberikan kontribusi pada PDRB sebesar Rp26,4 triliun.

Kedua, bagaimana cara menjual produk. Berbicara tentang taktik promosi pariwisata, harus diakui Korea Selatan berada satu langkah di depan negara-negara lain. Berbekal kesuksesan drama Korea (K-Drama) yang mencuri perhatian penonton dewasa muda, Korea Selatan menjelma sebagai salah satu destinasi wisata terfavorit.

Efek publikasi pariwisata melalui film sudah tidak perlu diragukan lagi. Yang terkini, pariwisata Singapura sempat menikmati dampaknya pasca demam film Crazy Rich Asians melanda.

Konon generasi milenial berkantong tebal berbondong-bondong mengambil liburan pendek ke Negeri Singa hanya untuk mencitrakan diri mereka sebagai bagian dari kelompok Crazy Rich.

BACA JUGA: POTENSI FINTECH GO PUBLIC DI TAHUN BABI TANAH

Tentu masih terngiang di benak kita bagaimana rasa bangga muncul ketika film Hollywood “Eat, Pray, Love” (2010) mengambil lokasi syuting di Bali.

Promosi cuma-cuma oleh artis internasional dipercaya mampu mengangkat citra positif Pulau Dewata. Sayangnya, kita sudah jarang lagi mendengar hal serupa kembali terjadi di Indonesia.

Media promosi konvensional, seperti iklan di media, pameran dan promo paket perjalanan wisata tentu tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Cara tersebut harus tetap dipertahankan karena memiliki daya tarik tersendiri.

Namun dalam konteks kekinian, strategi promosi pariwisata seyogyanya juga diselaraskan dengan perubahan gaya hidup zaman now.

Gaya pemasaran pariwisata berbasis story telling wajib diimplementasikan. Karena itu, sinergitas dengan sineas-sineas kreatif tanah air akan memainkan peran penting.

Artikel ini telah dimuat di Harian SINDO 10 Oktober 2018

Remon Samora

Remon Samora

I am a digital economy enthusiast, especially financial technology. Writing article for media is my side activity besides working as central bankers. I believe everyone must be 1% Better every single day in order to become the best version of ourself.

Social Media

Remon Samora

@remon.samora