Ruang ekspansi perbankan domestik di kancah ASEAN semakin terbuka lebar. Optimisme tersebut mengemuka pasca pengesahan UU terkait protokol keenam ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) pada akhir April 2018. Sebagian kalangan menyebut beleid ini sebagai UU liberasilasi keuangan ASEAN.
Salah satu poin penting yang tercantum dalam regulasi ini ialah komitmen kerja sama ASEAN Banking Integration Framework (ABIF). Dengan hadirnya perjanjian kerja sama ini, Indonesia dan Malaysia sepakat untuk mengizinkan tiga Qualified ASEAN Bank (QAB) beroperasi di masing-masing negara.
Saat ini dua QAB Malaysia telah beroperasi di Indonesia, yaitu Maybank dan CIMB. Apabila Malaysia ingin menambah satu QAB di Indonesia, maka Indonesia harus terlebih dahulu membuka tiga QAB di Malaysia.
Dengan prinsip kesetaraan atau asas resiprokal, QAB Indonesia akan diperlakukan sama dengan bank domestik Malaysia dalam kegiatan operasionalnya. Hal sama juga akan diperlakukan kepada QAB Malaysia di Indonesia.
Selain itu, QAB Indonesia mendapatkan kelonggaran untuk memenuhi persyaratan modal minimum perbankan di Malaysia secara bertahap.
Jika ditengok ke belakang, perjanjian serupa sebenarnya telah dilakukan dengan otoritas perbankan Indonesia dengan negara lain secara bilateral. OJK telah menandatangani Letter of Intent (LoI) dengan Bank of Thailand pada Maret 2016 dan Bangko Sentral Ng Pilipinas pada Juni 2016.
Dilihat dari perspektif lebih luas, perlu disadari keberadaan ABIF sangat erat kaitannya dengan rencana pasar bebas industri keuangan dan perbankan ASEAN tahun 2020.
BACA JUGA: BABAK BARU SISTEM PEMBAYARAN GPN
Secara konsepsi, ABIF bertujuan untuk menyediakan akses pasar (market access) dan keleluasaan beroperasi (operational flexibility) bagi QAB di ASEAN. Sederhananya, QAB sebuah negara bebas berekspansi untuk menambah jumlah kantor cabang ke negara lain dengan mendapat perlakuan sama dengan bank lokal.
Per definisi, QAB adalah bank-bank terbaik dari negara-negara Asean yang mendapat konsesi-konsesi dalam hal akses pasar dan perijinan cakupan operasional. Menurut OJK, terdapat sejumlah kriteria agar sebuah bank dapat dikategorikan sebagai QAB.
Beberapa diantaranya ialah kepemilikan saham bank dikuasai oleh entitas di Indonesia, memiliki likuiditas dan permodalan yang kuat, serta menerapkan tata kelola yang baik atau Good Corporate Governance. Praktis pada titik ini, hanya empat bank BUKU IV yang memenuhi kriteria tersebut, yaitu BRI, Mandiri, BCA dan BNI.
Sayangnya harus diakui saat ini masih sedikit perbankan tanah air yang beroperasi di luar negeri, terutama di ASEAN. Mengutip laman OJK, tercatat hanya Bank Mandiri, BRI dan BNI yang membuka kantor cabang di Singapura.
Sementara itu, Bank Pan Indonesia dan BCA memiliki kantor perwakilan di negeri singa tersebut. Untuk bank syariah, Bank Mualamat telah mengoperasikan kantor cabang di Kuala Lumpur. Oleh karena itu, implementasi ABIF memiliki nilai strategis bagi perbankan Indonesia.
Urgensi ekspansi
Dalam konteks kekinian, momentum ekspansi perbankan domestik ke pasar ASEAN sudah tidak bisa ditawar lagi. Setidaknya terdapat dua argumen yang melatarbelakanginya.
Pertama, industri perbankan Indonesia merupakan pasar paling atraktif di kawasan Asia Tenggara. Kondisi ini tercermin dari rasio Net Interest Margin (NIM) perbankan Indonesia yang di atas rata-rata perbankan Asia. NIM perbankan Indonesia berkisar 5,5%, lebih tinggi dibandingkan Malaysia (2%), Singapura (1,5%) dan Filipina (4%).
Selain itu, penetrasi kredit perbankan Indonesia masih belum cukup dalam. Bank Dunia menyebutkan rasio kredit bank terhadap PDB Indonesia tahun 2016 sebesar 39%.
BACA JUGA: APA KABAR PENERAPAN QRIS?
Angka tersebut masih jauh lebih rendah ketimbang negara tetangga, Malaysia dan Thailand yang mencapai 124% dan 147%. Tak ayal celah pasar yang belum terlayani jasa keuangan di Indonesia masih sangat prospektif.
Berkaca dari situasi tersebut, sudah bisa ditebak betapa menariknya peluang pasar Indonesia di mata perbankan asing. Imbasnya invasi oleh QAB luar negeri merupakan sebuah keniscayaan dan isu tersebut hanyalah masalah menunggu waktu.
Dalam jangka menengah panjang, tidak menutup kemungkinan perbankan lokal harus berbagi kue pembiayaan di pasar domestik. Kondisi ini akan berimplikasi pada potensi pertumbuhan aset dan keuntungan di masa depan yang semakin tergerus jika perbankan lokal tidak segera berbenah diri.
Kedua, tantangan perbankan domestik juga datang dari kemunculan pemain teknologi finansial (tekfin) yang kian marak. Dalam laporan “Indonesia Banking Survey 2018”, Pricewaterhouse Coopers menyebut sebanyak 41% responden dari bank besar menilai tekfin bakal menjadi ancaman signifikan dalam lima tahun ke depan.
Nilai pinjaman usaha rintisan ini pada tahun 2017 mencapai Rp2,56 triliun atau tumbuh 800% dibandingkan tahun sebelumnya. Pada saat yang sama, sudah menjadi rahasia umum bahwa pertumbuhan kredit perbankan masih bertahan di level single digit dan sulit untuk terakselerasi lebih jauh.
Mencermati kedua argumen di atas, sudah saatnya bagi QAB Indonesia untuk mereorientasikan kembali strategi bisnisnya dari defensif alias nyaman bermain di pasar dalam negeri menjadi ofensif dengan menyasar pasar baru di luar negeri.
Ibarat permainan sepakbola, QAB Indonesia diharapkan tidak hanya jago kandang, namun juga jago tandang.
Tidak hanya sekedar bermotif finansial semata, ekspansi QAB Indonesia juga harus dimaknai sebagai upaya menciptakan perbankan kelas dunia yang menjadi kebanggaan tanah air.
BACA JUGA: ERA OPEN BANKING SISTEM PEMBAYARAN
Merujuk pada studi Majalah Forbes bertajuk “The World Biggest Public Companies 2017”, BRI menempati peringkat 386, sedangkan Bank Mandiri, BCA dan BNI masing-masing berada di posisi 494, 564 dan 924.
Dibandingkan setahun silam, hanya tiga bank yang menunjukkan pencapaian memuaskan. BRI, BCA dan BNI mencatatkan kinerja positif dengan kenaikan peringkat berturut-turut sebanyak 43, 56 dan 139. Sementara itu, posisi Bank Mandiri justru melorot 32 peringkat.
Di tingkat ASEAN, rata-rata posisi perbankan Indonesia memang lebih tinggi dibandingkan Malaysia dan Thailand. Namun demikian, perbankan Singapura masih menduduki peringkat jauh lebih baik, yaitu DBS Bank (245), OCBC (301) dan UOB (332).
Meskipun telah masuk dalam jajaran 2.000 perusahaan terbesar dunia, kita tidak selayaknya cepat berpuas diri. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dalam 2 tahun ke depan sebelum era pasar bebas perbankan ASEAN dimulai.
Salah satu permasalahan prioritas yang patut segera dituntaskan ialah tingginya tingkat suku bunga kredit. Dengan suku bunga yang tinggi, praktis daya saing perbankan kita di tingkat regional masih perlu dipertanyakan.
Artikel ini telah dimuat di Harian KONTAN 17 Mei 2018