Era pembayaran digital di tubuh pemerintahan terus digelorakan. Terkini, Pemerintah telah meluncurkan Kartu Kredit Pemerintah (KKP) Domestik yang berlaku efektif mulai 1 September 2022. Per definisi, KKP Domestik adalah skema pembayaran berbasis kredit untuk memfasilitasi transaksi pemerintah pusat dan daerah dalam bentuk kartu kredit pemerintah yang diproses secara domestik.
Pada tahap awal KKP Domestik diimplementasikan dengan menggandeng tiga bank BUMN (BNI, BRI, dan Bank Mandiri). Metode pembayaran menggunakan QR Code Indonesian Standard (QRIS) pada mobile banking ketiga bank tersebut. Lewat mekanisme ini, KKP Domestik menawarkan keunggulan berupa pemrosesan transaksi yang dilakukan di dalam negeri.
Di samping itu, KKP Domestik dapat memfasilitasi belanja pengadaan Pemerintah melalui platform yang disediakan secara terpusat oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Di sisi lain, KKP Domestik juga meningkatkan keamanan dalam bertransaksi, meminimalisasi uang tunai, mengurangi fraud dari transaksi tunai serta mengurangi idle cash.
Dari perspektif makro, kemunculan KKP Domestik memiliki dua arti penting. Pertama, KKP Domestik menandai sebuah milestone penting dari Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia 2025. KKP Domestik turut mendukung upaya mengakselerasi digitalisasi sistem pembayaran Indonesia melalui QRIS. Kedua, KKP Domestik juga merepresentasikan komitmen pemerintah untuk memperbesar porsi belanja produk domestik dan UMKM.
Eksistensi KKP Domestik sejatinya sejalan dengan semangat Gerakan Bangga Buatan Indonesia. Pengeluaran pemerintah diarahkan untuk pembelian barang buatan dalam negeri dengan prioritas produk UMKM. Nominal yang dipatok juga tidak tanggung-tanggung, yakni sebesar minimal Rp400 triliun. Tak ayal aliran dana masif pemerintah niscaya akan mengalir ke kantong sektor riil.
Tidak hanya itu, kehadiran QRIS dalam mekanisme KKP Domestik secara tidak langsung memaksa UMKM untuk masuk dalam ekosistem digital. Dari total UMKM yang ada di Indonesia sebanyak 62,9 juta, baru 20,5 juta UMKM yang telah menjadi merchant QRIS. Melihat besarnya kesempatan ada, UMKM wajib mengadopsi metode pembayaran kekinian ini untuk meraup pundi-pundi dari pemerintah.
Muara akhir dari upaya digitalisasi ini tentu ialah isu inklusifitas. Hasil Survei Nasional Keuangan Inklusif 2021 menunjukkan 65,4% penduduk dewasa tercatat memiliki akun pada lembaga keuangan formal. Angka ini mengalami pertumbuhan sebesar 3,7% dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara dari sisi penggunaan produk dan layanan keuangan formal, tercatat 83,6% masyarakat telah mengakses produk dan layanan keuangan formal.
Hal ini bermakna bahwa semakin banyak UMKM yang didorong menjadi merchant QRIS, berarti kita telah ikut berkontribusi dalam pencapaian target inklusi keuangan sebesar 90% pada 2024. Apabila ditelaah lebih lanjut, fitur QRIS menjanjikan sejumlah manfaat bagi UMKM.
Pertama, efisiensi biaya transaksi. Bank Indonesia menetapkan Merchant Discount Rate (MDR) bagi pelaku usaha skala mikro sebesar 0%. Jauh lebih rendah dibandingkan kartu debit yang masih berkisar 1% (off us) maupun kartu kredit sebesar 2-3%.
Kedua, kepraktisan pembayaran. Alih-alih menggunakan mesin Electronic Data Capture (EDC) yang lebih kompleks, pelaku usaha nyatanya cukup menyediakan satu QR Code untuk semua aplikasi pembayaran. Pindai, bayar dan selesai. Semudah itu pembayaran menggunakan QRIS.
Ketiga, kecepatan perputaran modal kerja. Penyelesaian transaksi menggunakan QRIS memakan waktu selama 0-1 hari. Dana masuk dari hasil penjualan dapat diterima UMKM dengan cepat dalam hitungan hari. Implikasinya, modal kerja dapat berputar semakin cepat sehingga nominal yang dibutuhkan untuk kebutuhan operasional juga akan semakin minimal.
Keempat, kemudahan pencatatan hasil usaha. QRIS membantu pelaku usaha dalam menyusun pembukuan sederhana. Kelebihan ini pada akhirnya akan memudahkan pelaku usaha ketika akan mengajukan pinjaman perbankan. Analisis kredit dapat diproses lebih cepat karena adanya dokumentasi arus uang masuk dan keluar di rekening secara otomatis sehingga mendukung profil kredit calon debitur.
Dengan berbagai keunggulan yang ditawarkan oleh fitur QRIS dan kebijakan KKP Domestik, maka daya tarik UMKM untuk go digital niscaya akan semakin meningkat. Pada gilirannya, harapan agar produk UMKM menjadi tuan rumah di negeri sendiri juga ikut teramplifikasi.
Elektronifikasi Pemda
Satu catatan penting dari implementasi KKP Domestik ialah dibukanya peluang bagi Bank Pembangunan Daerah (BPD) untuk berperan serta. Hal ini krusial mengingat rekening kas Pemerintah Daerah (Pemda) ditempatkan di BPD. Terkait dengan hal itu, Kementerian Dalam Negeri juga telah mengeluarkan Permendagri Nomor 79 tahun 2022 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Kartu Kredit Pemerintah Daerah dalam Pelaksanaan APBD.
Terbitnya Permendagri tersebut dinilai menjadi tantangan baru bagi industri BPD. Pasalnya, Pemda dalam hal ini Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD) selaku Bendahara Umum Daerah (BUD), harus menunjuk satu bank penerbit kartu kredit Pemda. Padahal, selama ini transaksi nontunai di lingkungan Pemda sudah dilayani BPD melalui berbagai kanal, seperti Cash Management System (CMS), kartu debit, mobile banking dan berbagai layanan lainnya.
Saat ini belum ada BPD yang menerbitkan kartu kredit secara mandiri. Mereka masih berkolaborasi (co-branding) dengan bank umum penerbit kartu kredit, diantaranya bank BUMN. Di sisi lain, Bank Indonesia mencatat terdapat 17 dari 27 BPD yang telah mengantongi izin QRIS. Statistik ini menandakan bahwa belum semua BPD memiliki infrastruktur yang diperlukan untuk menunjang implementasi KKP Domestik.
Sinergi Bank BUMN dan BPD merupakan kunci dalam merealisasikan perluasan implementasi KKP Domestik. Salah satu studi kasus menarik ialah Bank Sumut dan BNI. Dalam praktiknya, BNI mengembangkan sistem untuk memudahkan proses rekonsiliasi pembayaran KKP Domestik. Langkah ini mempermudah Pemda dan BPD dalam melakukan monitoring dan kontrol terhadap penggunaan uang persediaan untuk kebutuhan belanja operasional dan perjalanan dinas.
Tak pelak model kolaborasi tersebut kian memperkuat optimisne terhadap program Elektronifikasi Transaksi Pemerintah Daerah (ETPD), terutama dari sisi belanja daerah. Sederhananya, semakin banyak kanal pembayaran digital yang terhubung dengan pos pendapatan dan belanja daerah, semakin tinggi pula indeks ETPD.
Hasil asesmen Bank Indonesia pada 2021 mencatat terdapat 199 dari 542 Pemda yang memiliki indeks ETPD di tahap digital atau sebesar 36,7% dari total Pemda di Indonesia. Sementara indeks ETPD oleh Pemda lainnya masih menduduki predikat maju (237), berkembang (96) dan inisiasi (10).
Berkaca dari kondisi tersebut, masih ada pekerjaan rumah urgen ke depan yaitu mendorong program ETPD di masing-masing daerah dapat naik kelas ke tingkat yang lebih tinggi. Salah satu caranya dengan melakukan perluasan KKP Domestik.
Berangkat dari argumentasi di atas, kita patut optimis bahwa peluncuran KKP Domestik akan melanjutkan cita-cita menciptakan ekosistem cashless society di birokrasi pemerintahan. Upaya ini juga sejalan dengan semangat Gerakan Nasional Non Tunai yang diusung Bank Indonesia. Terobosan ini akan melahirkan sistem pembayaran yang aman, efisien dan lancar yang pada akhirnya mendorong sistem keuangan nasional bekerja secara efektif dan efisien.
Artikel ini telah dimuat di Harian INVESTOR DAILY 25 OKTOBER 2022