Bank Dunia memprediksi resesi global mungkin dapat terjadi pada 2023 mendatang. Penyebab utamanya ialah tren kenaikan suku bunga bank sentral di seluruh dunia untuk memerangi inflasi. Para pemangku kebijakan ramai-ramai ikut memperingatkan tentang potensi datangnya ‘Perfect Storm’ ini.
Mungkinkah Indonesia akan mengalami nasib yang sama? Tidak ada yang tahu jawaban pastinya.
Dalam laporan Global CEO Outlook 2022, survei KPMG terhadap 1.300 CEO perusahaan terbesar di dunia menemukan 86% responden memperkirakan resesi tejadi di tahun depan. Temuan lainnya ialah CEO global mempertimbangkan PHK pegawai (46%) dan penangguhan rencana perekrutan karyawan (39%) sebagai tanggapan terhadap ekspektasi resesi.
Walau demikian, mayoritas ekonom percaya ekonomi Indonesia masih mampu bertahan, alih-alih ikut terjatuh ke jurang resesi. Survei Continuum Data Indonesia menunjukkan 96% responden merasa optimis Indonesia mampu melalui badai resesi global tahun depan.
Setali tiga uang, survei konsumen Bank Indonesia menunjukkan Indeks Keyakinan Konsumen yang masih berada di zona optimis.
Menariknya ramalan Bank Dunia dan respon para pesohor dalam negeri justru mengingatkan kita pada sebuah metafora ‘Butterfly Effect’. Adalah Edward Norton Lorenz, seorang peneliti asal Amerika yang memperkenalkan istilah efek kupu-kupu dalam sebuah ceramah ilmiah pada 1972. Lorenz menyebut kepakan sayap kupu-kupu di hutan belantara Brazil dapat menghasilkan angin tornado di Texas.
Teori ini memang terdengar hiperbola. Walau demikian, ada sebuah kebenaran dibaliknya. Perubahan kecil, bahkan nyaris tak terlihat, yang digambarkan sebagai satu kepakan sayap kupu-kupu dapat mengubah sebuah sistem yang lebih besar. Meskipun berawal dari bidang meteorologi, teori ini kemudian diadopsi ke dalam ilmu ekonomi untuk menjelaskan berbagai peristiwa yang terjadi.
Salah satu poin dari efek kupu-kupu yang relevan dengan kondisi saat ini adalah strategi untuk mengomunikasikan prediksi resesi global 2023 kepada publik. Pendekatan komunikasi harus diformulasikan dengan tepat untuk membentuk perilaku dan mengarahkan ekspektasi masyarakat. Tanpa taktik yang jitu, risiko ‘self-fulfilling prophecy’ (ramalan swawujud) dalam arti negatif bisa saja terjadi.
Krisis moneter 25 tahun silam memberikan sebuah pelajaran berharga tentang teori ini. Kala itu berita antrian panjang nasabah di segelintir bank menyebar luas di media massa. Situasi ini lantas memicu kepanikan masyarakat yang berujung pada penarikan dana secara besar-besaran (bank runs) oleh nasabah bank lainnya, termasuk bank yang memiliki fundamental keuangan kuat.
Implikasinya, bank sehat justru ikut terseret dalam gelombang likuidasi akibat masalah likuiditas dan solvabilitas. Pangkal persoalannya terbilang sederhana dan bisa diantisipasi sebelumnya. Komunikasi di ruang publik kurang terkontrol sehingga menciptakan ketakutan dan ekspektasi masyarakat yang keliru.
Konfigurasi problematika serupa, tapi tak sama juga berlaku dalam konteks kekinian. Tatkala berita ramalan resesi terus diamplifikasi, sangat mungkin perilaku konsumen berubah drastis, lalu mengerem pengeluaran secara ekstrim. Apalagi kabar badai PHK kayarwan oleh sejumlah perusahaan papan atas baru-baru ini seolah-olah ikut menegaskan proyeksi Bank Dunia.
Apabila fenomena ketakutan berbelanja ini terus terjadi dalam skala masif, tak ayal omzet para pelaku usaha akan menurun signifikan. Muara akhirnya tentu keputusan PHK dan risiko gagal bayar kredit tak bisa dielakkan. Inilah titik awal dimulainya sebuah krisis ekonomi.
Perekonomian yang seharusnya masih baik-baik saja, justru berpotensi terjerembab seiring sense of crisis yang berlebihan. Lagi-lagi, wujud kepakan sayap kupu-kupu itu bermula dari berita di media tanpa pandangan pakar yang objektif.
Oleh karena itu, strategi komunikasi yang cermat akan memainkan peran sangat krusial untuk menjaga stabilitas makroekonomi.
Elemen mendasar yang tidak boleh dilupakan ialah komunikasi bukan segala-galanya, namun segalanya perlu dikomunikasikan. Komunikasi memegang peran sentral untuk mengubah perilaku masyarakat. Praktik komunikasi yang baik akan menghasilkan respon yang baik pula.
Keseimbangan adalah kata kuncinya. Ancaman resesi tetap harus disampaikan, tapi wajib diimbangi dengan solusi atau rencana kebijakan ke depan. Waspada terhadap datangnya resesi tentu saja boleh, tapi jangan biarkan kepanikan merajalela.
Filosofi krisis
Dalam bahasa Mandarin, kata krisis terdiri dari dua kata, yaitu “Wei” (bahaya) dan “Ji” (peluang). Memang benar krisis tidak hanya membawa bahaya semata. Pada saat yang sama krisis juga harus dimaknai sebagai momen yang melahirkan sebuah peluang baru.
Krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19 seakan mengafirmasi filosofi ini. Ketika mayoritas industri memasuki musim dingin imbas kebijakan lockdown, sektor ekonomi digital justru sedang menikmati musim semi. Sebut saja perdagangan elektronik, transportasi dan pembelajaran daring, dompet elektronik, penyedia jasa internet dan video conference, serta perbankan digital.
Hikmah lain yang tidak bisa dilupakan adalah pandemi Covid-19 telah mengakselerasi terjadinya transformasi digital di Tanah Air. Sebagian ahli bahkan menyebut proses transformasi digital berlangsung lebih cepat lima tahun ketimbang dalam kondisi normal.
Pelaku usaha dituntut untuk go digital sebagai satu-satunya opsi agar tetap beroperasi di tengah turbulensi akibat wabah.
Poin inilah yang perlu menjadi titik berat dari komunikasi resesi kepada publik. Pesan bahwa selalu ada peluang di tengah krisis harus dikedepankan. Ekspektasi masyarakat perlu diarahkan untuk menjaga tingkat optimisme dan keyakinan dalam berbelanja.
Sektor pangan dan energi terbarukan beserta turunannya merupakan contoh industri yang diyakini masih berpeluang untuk bertumbuh tahun depan. Pasalnya perang Rusia-Ukraina berdampak pada melambungnya harga pangan dunia dan isu keterbatasan pasokan.
Di sisi lain diskursus ekonomi hijau tengah menjadi pusat perhatian banyak negara sebagai solusi atas ancaman perubahan iklim.Tak pelak kedua sektor ini akan tetap bertahan dalam jangka panjang.
Meski ekonomi Indonesia tampak masih baik-baik saja, kita tidak boleh terlena. Strategi komunikasi harus diperhatikan demi memitigasi efek kupu-kupu yang tidak terduga.
Hanya ketika masyarakat dapat melihat adanya kesempatan baru dan yakin dalam membelanjakan uangnya di dalam negeri, roda perekonomian domestik tetap akan berputar kencang. Alhasil, Indonesia niscaya akan terluput dari jurang resesi 2023.
Artikel ini telah dimuat di harian KONTAN 8 Desember 2022