Sinergi otoritas moneter Indonesia dan India memasuki babak baru. Bank Indonesia dan Reserve Bank of India telah menandatangani Nota Kesepahaman kerja sama penggunaan mata uang lokal atau Local Currency Transaction (LCT).
Kolaborasi tersebut memungkinkan perdagangan kedua negara ditransaksikan dalam Rupiah dan Rupee di masa depan. Terobosan ini sekaligus menjadi jurus bank sentral dalam menjaga stabilitas nilai tukar.
LCT diposisikan sebagai upaya mendiversifikasi penggunaan major currency menjadi mata uang lokal dalam transaksi bilateral. Dolar AS yang digunakan pada kebanyakan transaksi di seluruh dunia acapkali menjadi bumerang.
Gejolak dolar AS berpotensi berimbas terhadap risiko kerentanan perekonomian global termasuk negara berkembang. Sejarah mencatat krisis keuangan Asia memberikan pelajaran mengenai pentingnya mitigasi risiko currency mismatch mata uang lokal terhadap dolar AS.
Kondisi ini lantas mendorong banyak bank sentral menginisiasi kerja sama LCT. Stabilitas nilai tukar dan penguatan resiliensi pasar keuangan domestik menjadi kata kunci penting dari tujuan utama LCT.
Pada akhirnya hal tersebut akan memberikan kontribusi positif bagi investasi dan perdagangan sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang.
Kehadiran kerja sama LCT juga tidak terlepas dari lanskap perdagangan internasional Indonesia saat ini. Mayoritas ekspor-impor dilakukan dengan negara regional, namun porsi mata uang regional sebagai instrumen pembayaran masih sangat rendah.
Data statistik menunjukkan lebih dari 90% transaksi ekspor-impor pada 2020 menggunakan dolar AS. Di sisi lain, pangsa perdagangan Indonesia dengan Amerika hanya sebesar 9%.
Berangkat dari alur logika tersebut, pemilihan India sebagai mitra kerja sama LCT dengan Indonesia dinilai sudah tepat. Badan Pusat Statistik mencatat ekspor nonmigas Indonesia ke India pada 2023 sebesar USD 20,28 miliar.
Ini menempatkan ekspor ke India masuk jajaran lima besar mitra dagang utama Indonesia. Implikasinya potensi implementasi LCT dengan India terbuka sangat lebar.
Secara historis semangat Indonesia dalam menggencarkan inisiatif LCT sudah berlangsung sejak beberapa tahun silam. Pada awal kemunculannya publik lebih mengenal terminologi Local Currency Settlement (LCS) ketimbang LCT.
Ada perbedaan mendasar di antara keduanya. LCS terbatas hanya untuk penyelesaian transaksi perdagangan dan investasi.
Sementara itu, penggunaan LCT lebih luas untuk tiga tujuan transaksi. Pertama, penyelesaian transaksi perdagangan dan investasi layaknya LCS. Kedua, transaksi pembayaran antarnegara (cross-border payment). Ketiga, transaksi di pasar keuangan.
Indonesia tercatat sudah menjalin kerja sama LCT dengan enam negara lain sebelum India. Enam negara itu adalah Malaysia, Thailand, Jepang, China, Singapura, dan Korea Selatan.
Tidak hanya itu, LCT merupakan salah satu dari tiga Priority Economy Deliverables (PED) yang diusung Indonesia saat menjabat Keketuaan ASEAN 2023.
Pemerintah juga telah membentuk Satuan Tugas (Satgas) Nasional LCT pada September 2023 sebagai wujud komitmennya dalam mengakselerasi implementasi kerangka kerja sama ini.
Dalam perkembangannya transaksi LCT terus mengalami pertumbuhan positif. Sepanjang tahun 2023 nilai transaksi LCT telah mencapai USD 6,3 miliar atau naik 53% dibandingkan transaksi tahun 2022 yang mencapai USD 4,1 miliar.
Terkini nilai transaksi LCT per Januari 2024 sebesar USD 444 juta dengan jumlah pelaku meningkat menjadi 3.530 pelaku.
Pencapaian tersebut tentu tidak terlepas dari kelebihan yang ditawarkan LCT. Dari kacamata industri, LCT memudahkan pelaku usaha sehingga tidak perlu bersusah payah menukar mata uang lokal ke dolar AS. Alhasil potensi kerugian akibat risiko nilai tukar dapat dimitigasi.
Selain itu, LCT juga menjanjikan efisiensi biaya transaksi valas seiring adanya mekanisme direct quotation.
Dalam hal transaksi disepakati menggunakan mata uang negara mitra, importir domestik dapat langsung mengonversi Rupiah ke valas yang dituju melalui bank Appointed Cross Currency Dealer (ACCD).
Opsi ini dinilai lebih efisien jika dibandingkan praktik pada umumnya yang menggunakan dolar AS. Alasannya, korporasi tidak perlu melakukan dua kali konversi mata uang.
Konversi pertama dilakukan importir dari Rupiah ke dolar AS dan konversi kedua dilakukan eksportir dari dolar AS ke mata uang domestiknya. Pengembangan direct quotation yang lebih murah dengan spread yang lebih tipis dibandingkan cross-rate akan menarik minat pengusaha untuk menggunakan skema ini.
Nilai transaksi LCT yang terus meningkat dari tahun ke tahun memang patut disyukuri, namun kita jangan terlalu cepat berpuas diri. Walau menjanjikan banyak keunggulan, harus diakui implementasi LCT tidaklah mudah. Sejumlah tantangan perlu dicarikan jalan keluarnya.
Misalnya, bagi pelaku usaha yang bergantung pada bahan baku impor yang dibeli dalam dolar AS, menjual produk ekspor dalam dolar AS menjadi preferensi utama untuk menghindari risiko kalah kurs.
Sebaliknya, LCT sangat berpotensi untuk diterapkan pada sektor-sektor usaha dengan sumber bahan baku dari dalam negeri. Sebut saja industri agraris dan ekstraktif seperti kelapa sawit, batu bara, nikel dan sebagainya.
Di samping itu, implementasi penggunaan mata uang lokal sebagai pengganti dolar AS masih bersifat opsional alias tidak wajib.
Pemanfaatan kerja sama LCT tak ubahnya sistem barter yang membutuhkan ‘double coincidence of wants’ atau kehendak ganda yang selaras. Tanpa kesepakatan kedua belah pihak, transaksi tidak akan terjadi. Lagi-lagi kalkulasi untung rugi sangat memengaruhi keputusan pelaku bisnis.
Untuk menjawab tantangan tersebut, Bank Indonesia bersinergi dengan sembilan Kementerian dan Lembaga yang tergabung dalam Satgas Nasional LCT terus melakukan sosialisasi.
Sebagai pemanis bagi dunia usaha, Satgas merumuskan pemberian kemudahan, insentif, dan percepatan pelayanan ekspor-impor bagi korporasi yang menggunakan mata uang lokal dalam transaksinya dengan negara mitra.
QRIS antarnegara
LCT nyatanya tidak semata-mata hanya terkait stabilitas nilai tukar. Kabar baiknya ialah LCT menjadi jalan pembuka bagi terwujudnya pembayaran lintas batas, khususnya menggunakan kode respon cepat (QR code) atau lebih dikenal dengan QRIS antarnegara.
Saat ini QRIS antarnegara sudah diimplementasikan di tiga negara, yaitu Malaysia, Thailand dan Singapura.
Seperti halnya transaksi ekspor-impor yang menggunakan mata uang lokal, pembayaran dengan QRIS antarnegara juga menerapkan skema serupa. Wisatawan Malaysia dapat membeli oleh-oleh di Bali dengan memindai QR code pedagang.
Transaksi dalam denominasi Rupiah akan langsung dikonversi ke Ringgit. Hal sebaliknya juga berlaku bagi turis Indonesia yang ingin membeli cinderamata di Kuala Lumpur.
Dengan adanya payung kerja sama LCT, tidak menutup kemungkinan QRIS antarnegara juga akan menyasar Jepang, China, Korea Selatan dan juga India di masa mendatang.
Tidak hanya sekedar menawarkan kemudahan dan kenyamanan berbelanja bagi wisatawan, QRIS antarnegara juga dapat dimaknai sebagai upaya mendukung perluasan jaringan bisnis UMKM ke pasar global.
Oleh karena itu, tiga pekerjaan rumah bersama ke depan ialah memperluas kerja sama dengan negara mitra, menambah jumlah pelaku usaha yang terlibat dan meningkatkan nilai transaksi LCT.
Dengan sinergi yang kuat dari semua pihak, kita patut optimis berkah LCT akan semakin dapat dirasakan masyarakat dan dunia usaha.
Artikel ini telah dimuat di INVESTOR DAILY 1 April 2024