Tema peringatan Hari Konsumen Nasional (Harkonas) tahun ini adalah “Konsumen Kritis Cerdas Bertransaksi”.
Tanggal 20 April setiap tahun sejatinya menjadi momentum tepat bagi seluruh pemangku kepentingan untuk berkontemplasi dan mengevaluasi satu hal penting, sejauh mana konsumen diberdayakan sehingga dapat melindungi dirinya sendiri?
Lebih baik mencegah daripada mengobati. Petuah bijak ini memang sangat relevan dalam segala aspek kehidupan.
Industri finansial dan pembayaran tak terkecuali didalamnya. Konsumen kritis merupakan lini pertahanan pertama dari praktik kejahatan keuangan digital.
Peribahasa lawas mengatakan “ada gula ada semut”. Legitnya pundi-pundi dari transaksi keuangan digital (gula) acap mengundang penjahat (semut) untuk mengeksploitasi kelalaian pengguna. Sejumlah data kian mempertegas premis ini.
Misalnya, transaksi digital banking tercatat Rp5.103,03 triliun per Februari 2024. Setali tiga uang jumlah pengguna QRIS mencapai 46,98 juta dan jumlah merchant sebanyak 31,27 juta.
Statistik di atas didukung pula oleh infrastruktur jaringan internet yang semakin inklusif. Hasil survei penetrasi internet Indonesia 2024 menyimpulkan tingkat penetrasi internet Indonesia menyentuh angka 79,5% atau menjangkau lebih dari 221 juta pengguna internet.
Melihat tren positif ini, tak heran lembaga keuangan berlomba-lomba mengeluarkan produk dan layanan berbasis digital.
Fenomena digitalisasi ini seyogianya diimbangi pula dengan literasi digital dan keuangan oleh pengguna. Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebut Indeks Literasi Digital 2023 sebesar 3,65 dari skala 5.
Otoritas Jasa Keuangan melaporkan tingkat inklusi dan literasi keuangan 2022 sebesar 85,10% dan 49,68%. Ada gap sekitar 35%, yang berarti masih ada cukup banyak masyarakat yang memiliki akses ke lembaga keuangan, tetapi belum memahami produk/jasa keuangan yang digunakan.
Data di atas menyiratkan besarnya pekerjaan rumah koletikf ke depan. Di balik kemudahan dan kenyamanan transaksi keuangan digital, tersimpan pula potensi risiko yang besar.
Sebut saja, risiko pencurian data nasabah, serangan siber, kegagalan transaksi dan sebagainya.
Oleh karena itu, peningkatan literasi konsumen dengan mengedepankan hak dan kewajiban adalah kata kuncinya. Falsafah inilah yang mendasari penggunaan diksi ‘pelindungan’ alih-alih ‘perlindungan’ dalam ketentuan terkini.
Perlindungan bermakna tempat berlindung yang menitikberatkan pada peran regulator. Sementara pelindungan berarti perbuatan melindungi di mana semua pihak, termasuk konsumen menjadi subjek aktif dari aturan ini.
Konsumen dan pelaku industri keuangan digital memiliki kedudukan yang setara. Tugas untuk melindungi konsumen bukan hanya menjadi kewajiban lembaga keuangan. Konsumen juga memikul beban tanggung jawab yang sama.
Pelindungan konsumen tidak bisa berjalan efektif tatkala konsumen tidak melakukan apa yang menjadi kewajibannya. Implikasinya pengaduan konsumen tak selamanya harus dipenuhi ketika konsumen terbukti lalai menunaikan kewajibannya.
Beragam modus kejahatan
Apa saja kewajiban konsumen? Salah satunya ialah menjaga kerahasiaan data, misalnya PIN, nama pengguna (user name) dan kata kunci (password).
Apalagi perilaku membagikan foto KTP di media sosial cukup marak terjadi. Maka tak heran banyak kejadian yang disebut sebagai pembobolan rekening nasabah justru berawal dari kecerobohan konsumen.
Maka dari itu, upaya edukasi konsumen sudah menjadi kebutuhan mutlak.
Namun demikian, harus diakui mengedukasi konsumen ihwal kewajibannya memang tidak mudah. Sama sulitnya dengan meyakinkan pemilik mobil untuk melengkapi kendaraannya dengan kantung udara pada awal kemunculannya.
Masyarakat pada umumnya baru sadar perlunya perlengkapan itu setelah mengalami kecelakaan. Demikian pula, kesadaran akan kewajiban konsumen biasanya baru timbul pasca aksi penipuan (fraud) terjadi.
Bank Indonesia mencatat terdapat 13 ribu pengaduan konsumen di bidang sistem pembayaran sepanjang 2023. Jumlah tersebut meningkat 170% dibandingkan tahun sebelumnya.
Sebagian besar pengaduan disebabkan karena fraud. Modus operandinya semakin beragam seiring perkembangan teknologi. Apabila ditilik lebih jauh, setidaknya terdapat lima jenis praktik kecurangan di area sistem pembayaran yang paling sering terjadi.
Pertama, phising atau pengelabuan melalui situs palsu yang sangat menyerupai aslinya. Seringkali praktik ini dilakukan dengan memberikan penawaran menarik melalui surat elektronik dan menyertakan tautan palsu.
Kedua, malware atau jenis perangkat lunak perusak yang menginfeksi perangkat korban dengan masuk melalui email atau unduhan internet.
Ketiga, skimming atau pencurian data kartu debit atau kartu kredit dengan memakai alat rekam yang dipasang pada mesin ATM atau mesin gesek EDC.
Keempat, sniffing atau penyadapan jaringan internet oleh peretas untuk mencuri data rahasia, seperti nama pengguna dan kata kunci. Penyebaran data palsu dengan format APK melalui aplikasi pengirim pesan merupakan modus yang paling banyak dilakukan.
Kelima, social engineering dengan memanipulasi status sosial pelaku untuk mendapatkan kepercayaan korban. Studi Universitas Oxford menemukan bahwa 88% kasus penipuan yang terjadi di tingkat global saat ini adalah penipuan bermodus social engineering.
Sebagai contoh, pelaku berpura-pura menjadi pegawai bank yang membutuhkan informasi akun korban untuk memverifikasi keamanan.
Berbagai trik penipuan tersebut seharusnya bisa dimitigasi lebih dini apabila masyarakat lebih waspada dan dibekali dengan pengetahuan memadai. Lagi-lagi sinergi regulator dan pelaku industri dalam menggiatkan edukasi konsumen memainkan peran vital.
Berbagai langkah sejatinya telah dilakukan otoritas. Terkini Bank Indonesia beserta sejumlah lembaga dan asosiasi pelaku industri telah meluncurkan Gerakan Bersama Pelindungan Konsumen pada akhir Maret 2024.
Aksi ini merepresentasikan komitmen seluruh pihak untuk menggencarkan program edukasi konsumen secara satu waktu, satu tema, dan multi kanal.
Targetnya ialah membawa konsumen sistem pembayaran Tanah Air yang saat ini masih kategori ‘kritis’ naik kelas menjadi ‘berdaya’.
Pada akhirnya, inti dari bisnis industri keuangan adalah kepercayaan. Komitmen terhadap pelindungan konsumen akan menciptakan keyakinan pasar yang pada gilirannya menentukan keberlangsungan industri keuangan.
Tatkala keyakinan itu ditopang oleh keberdayaan konsumen, niscaya sistem keuangan akan terjaga stabil dalam jangka panjang.
Artikel ini telah dimuat di KONTAN 24 April 2024