MEMPERSENJATAI PEMBERANTASAN PENCUCIAN UANG DENGAN AI

Jul 10, 2024 | Articles on Media

Menarik menyimak pernyataan Presiden Joko Widodo dalam Peringatan 22 tahun Gerakan Nasional Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme.

Kepala Negara menyoroti pentingnya mewaspadai pola baru Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) berbasis teknologi, khususnya melalui aset kripto. PPATK mengungkap telah memerangi TPPU berbalut aset kripto senilai lebih dari Rp800 miliar selama kurun 2022-2024.

Indonesia tentu tidak sendiri. Perhatian yang sama juga tengah mengemuka di tingkat global seiring pesatnya perkembangan ekonomi dan keuangan digital.

Buktinya data Crypto Crime Report menemukan adanya indikasi TPPU melalui aset kripto senilai USD8,6 miliar atau setara Rp139 triliun pada 2022.

Kegusaran hati Presiden di atas sangat wajar. Laporan Bank Dunia (2018) menyebut TPPU tidak hanya menyebabkan kerugian finansial, tetapi juga mengancam stabilitas ekonomi dan kepercayaan publik.

Dana ilegal seringkali dialihkan ke pembelian aset atau pendanaan bisnis secara berlebihan. Implikasinya terjadi fluktuasi harga aset tidak wajar yang pada akhirnya akan merusak kepercayaan investor dan menghambat pertumbuhan ekonomi.  

Secara teoritis praktik pencucian uang dilakukan dalam tiga tahap. Pertama, menempatkan (placement) dana hasil tindak pidana ke dalam sistem keuangan.

Kedua, memisahkan (layering) hasil tindak pidana dari sumbernya melalui serangkaian transaksi keuangan kompleks, misalnya melalui pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu ke tempat lain. Tujuannya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul dana.

Ketiga, menggabungkan (integration) harta kekayaan hasil tindak pidana yang telah ditempatkan dan dilapisi sehingga tampak sebagai harta kekayaan yang sah untuk operasional bisnis halal.

Pada tahap ini pelaku TPPU dapat leluasa menikmati aset kriminalnya tanpa menimbulkan kecurigaan aparat penegak hukum.

Dalam perjalanannya kanal utama dalam praktik TPPU terus mengalami evolusi. Berdasarkan data putusan pengadilan TPPU tahun 2015-2020, profil penyelenggara yang dominan dijadikan media pencucian uang adalah Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing (KUPVA) Bukan Bank. Dari total 24 kasus TPPU, sebanyak 22 kasus terjadi pada penyelenggara KUPVA Bukan Bank.

Saat ini praktik TPPU telah berkembang menjadi jaringan yang semakin terorganisir, terutama melalui penggunaan aset kripto yang membuatnya semakin sulit dideteksi. Ada dua faktor utama yang menyebabkan hal ini.

Pertama, pembayaran menggunakan aset kripto dapat dilakukan secara pseudonymous (menggunakan nama samaran) bahkan anonymous (tanpa identitas), sehingga peredarannya sulit dilacak dan dapat berpindah dengan cepat.

Hal ini tentu menyulitkan penerapan syarat pelaporan dan penelusuran jejak audit (audit trail).

Kedua, transfer aset kripto memungkinkan dilakukan tanpa campur tangan pihak ketiga seperti lembaga keuangan atau secara peer-to-peer.

Kecepatan dan kerahasiaan transfer ini membuat lembaga pengawas sulit melacak arus uang yang diperoleh secara ilegal. 

Penggunaan aset kripto sebagai alat pencucian uang telah menjadi tantangan besar bagi penegakan hukum. Para pelaku telah mengembangkan metode rumit untuk menutupi jejak transaksi sehingga sulit ditelusuri.

Awalnya uang tunai dari hasil TPPU diubah menjadi aset kripto melalui platfom perdagangan seperti bursa aset kripto. Aset kripto tersebut kemudian ditransfer ke dompet digital lain untuk menyembunyikan alamat asal.

Selanjutnya, aset kripto dikirim ke bursa atau pertukaran lainnya untuk menghilangkan jejak transaksi. Setelah itu, aset kripto dikonversi ke mata uang fiat seperti dolar AS, Euro, atau Poundsterling melalui bursa aset kripto.

Terakhir, uang fiat ditarik dari bursa dan disimpan di rekening bank. Alhasil dana hasil TPPU terlihat seperti uang yang berasal dari sumber yang sah dan legal.

Sudah banyak kejadian TPPU menggunakan aset kripto yang dapat dijadikan studi kasus. Misalnya, otoritas Amerika Serikat telah menutup layanan aset kripto Costa Rica yang disebut Liberty Reserve pada Mei 2013.

Penutupan ini dilakukan seiring maraknya penggunaan Liberty Reserve sebagai sarana TPPU. Caranya dengan mengkonversi Dolar AS atau Euro menjadi aset kripto bernama Dollar Liberty Reserve atau Euro Liberty Reserve.

Contoh lainnya adalah skandal korupsi di PT ASABRI. Kejaksaan Agung mengungkap para tersangka memanfaatkan aset kripto (bitcoin) untuk menyamarkan perbuatan korupsi pengelolaan dana investasi dan keuangan.

Kecerdasan buatan

Bank Indonesia sebagai regulator sistem pembayaran Tanah Air telah menempuh berbagai upaya untuk memerangi TPPU.

Dari sisi kebijakan, bank sentral telah  menerbitkan ketentuan yang melarang penyedia jasa pembayaran dan teknologi keuangan untuk melakukan kegiatan atau pemrosesan transaksi pembayaran menggunakan mata uang virtual atau aset kripto.

Selain itu, sebagai perwujudan dari visi Sistem Pembayaran Indonesia 2025, Bank Indonesia juga mendorong penggunaan teknologi mutakhir demi terciptanya inovasi dalam penerapan Know Your Customer dan anti pencucian uang.

Dalam konteks kekinian, kecerdasan buatan (AI) menjadi kata kunci dari jalan keluar atas problematika tersebut.

Hasil survei perusahaan perangkat lunak analitik global, FICO menunjukkan 95% bank di Indonesia menyatakan keyakinan mereka bahwa AI mampu menghentikan lebih banyak kasus pencucian uang.

Bank-bank domestik semakin menyadari urgensi teknologi canggih dalam melawan kejahatan keuangan.

Penggunaan AI diharapkan dapat mendeteksi dan mencegah transaksi mencurigakan dengan lebih akurat dan efektif. AI memainkan beberapa peran penting dalam memberantas pencucian uang.

Pertama, AI menggunakan analisis big data untuk melacak transaksi keuangan mencurigakan dan memeriksa pola pengeluaran tidak wajar. Dengan demikian, AI dapat mendeteksi anomali yang dapat mengindikasikan aktivitas pencucian uang.

Kedua, AI melalui machine learning dapat mempelajari dan mengenali pola terkait pencucian uang. Lewat analisis transaksi keuangan secara real-time, AI memberikan peringatan jika ada tanda-tanda aktivitas mencurigakan sehingga dapat mendeteksi dan mencegah TPPU sejak dini.

Di samping itu, analisis mendalam juga dapat dilakukan untuk mengidentifikasi teknik pencucian uang, seperti jalur pembayaran kompleks, transaksi peer-to-peer, dan pembelian aset berharga.

Ketiga, AutoML (Automated Machine Learning) memungkinkan pengembangan algoritma AI yang mampu mengidentifikasi transaksi mencurigakan secara otomatis.

Dengan cara ini, pendeteksian praktik pencucian uang dapat ditingkatkan secara signifikan, sementara kebutuhan waktu dan sumber daya manusia untuk analisis dapat diminimalkan.

Presiden Financial Action Task Force (FATF), Raja Kumar pernah berujar, “Transformasi digital bukan lagi sekadar pilihan, tetapi menjadi kebutuhan mendesak. Bukan hal yang baik untuk dimiliki, bukan hal yang menyenangkan untuk dimiliki, tetapi suatu keharusan jika Anda ingin bersaing dan menang melawan para penjahat”.

Oleh karena itu, dibutuhkan sinergi erat antara pemerintah, lembaga keuangan, dan pemangku kepentingan lainnya untuk terus mendukung pengembangan dan pemanfaatan AI di sektor keuangan. Hanya dengan cara demikian, praktik TPPU dapat diberantas secara efektif.

Artikel ini telah dimuat di INVESTOR DAILY 10 Juli 2024

Remon Samora

Remon Samora

I am a digital economy enthusiast, especially financial technology. Writing article for media is my side activity besides working as central bankers. I believe everyone must be 1% Better every single day in order to become the best version of ourself.

Social Media

Remon Samora

@remon.samora