Sesuai hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 15-16 Oktober 2024, fokus kebijakan moneter jangka pendek oleh otoritas moneter ialah stabilitas nilai tukar Rupiah.
Di tengah ketidakpastian pasar keuangan global dan tensi geopolitik yang belum menemukan titik terang, ekonomi dunia menghadapi berbagai tantangan yang membuat volatilitas mata uang menjadi salah satu perhatian utama negara berkembang.
Walau masih dibayang-bayangi situasi yang serba kompleks, kinerja Rupiah terbilang cukup apik sepanjang tahun ini. Kurs mata uang Garuda terpantau masih terjaga relatif stabil dengan tingkat depresiasi sebesar 1,17% dibanding posisi akhir Desember 2023.
Nilai tukar Rupiah masih lebih baik dibandingkan Peso Filipina, Dollar Taiwan, dan Won Korea yang masing-masing terdepresiasi sebesar 4,25%, 4,58%, dan 5,62%.
Stabilitas nilai tukar Rupiah tidak terlepas dari konsistensi implementasi instrumen triple intervention oleh Bank Indonesia. Salah satu dari trio jurus bank sentral tersebut ialah Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF).
DNDF adalah transaksi derivatif valuta asing terhadap Rupiah berupa transaksi forward dengan mekanisme fixing yang dilakukan di pasar domestik, dimana penyelesaian transaksi dalam mata uang Rupiah.
Secara historis DNDF diperkenalkan oleh Bank Indonesia pada akhir 2018 sebagai bagian dari upaya memperkuat stabilitas nilai tukar Rupiah di tengah ketidakpastian global. Kala itu ekonomi global diwarnai oleh fluktuasi tajam akibat kebijakan moneter negara maju yang mulai menerapkan normalisasi suku bunga setelah periode panjang quantitative easing.
Implikasinya aliran modal keluar dari negara berkembang, termasuk Indonesia yang berujung pada pelemahan mata uang negara berkembang.
Selain faktor kebijakan moneter global, perdagangan internasional dan aspek geopolitik juga berkontribusi terhadap volatilitas pasar.
Alhasil, terjadi pergeseran sentimen risiko di kalangan investor global, yang cenderung menarik dana investasinya dari negara berkembang dan mengalokasinya ke aset yang dinilai lebih aman di negara maju.
Secara umum ada tiga keunggulan yang ditawarkan DNDF. Pertama, penyelesaian transaksi tanpa pergerakan dana valas pokok dengan cara menghitung selisih antara kurs transaksi forward dan kurs acuan atau pada tanggal tertentu yang telah ditetapkan di awal kontrak.
Sebelumnya, transaksi forward dilakukan melalui pemindahan dana pokok secara penuh. Dampaknya arus masuk keluar valas sangat cepat sehingga berisiko terhadap nilai tukar Rupiah.
Kedua, penyelesaian transaksi DNDF tersebut wajib dilakukan dalam Rupiah. Ketiga, DNDF wajib didukung underlying document untuk transaksi di atas nominal tertentu.
Dokumen transaksi yang dipersyaratkan tersebut bisa berupa dokumen perdagangan barang dan jasa, investasi, dan pemberian kredit bank dalam valas. Melalui mekanisme ini, pelaku pasar tidak dapat melakukan spekulasi terhadap valas.
Meski tujuan dan manfaat DNDF cantik di atas kertas, namun implementasinya di lapangan tentu bukanlah perkara mudah. Setidaknya ada dua tantangan utama yang dihadapi.
Pertama, literasi keuangan dan kesadaran pelaku pasar tentang pentingnya instrumen lindung nilai seperti DNDF.
Pada awal kemunculannya, tidak banyak pelaku pasar terjun ke pasar DNDF. Pasalnya biaya yang dikeluarkan untuk melindungi nilai tukar dianggap sebagai kerugian jika nilai tukar bergerak berlawanan dari yang diperkirakan.
Namun, patut disadari transaksi DNDF bukanlah spekulasi. Tujuan utamanya adalah untuk meminimalkan risiko, bukan untuk mencari keuntungan dari pergerakan mata uang tertentu.
Ketika pelaku pasar menggunakan transaksi DNDF, mereka sejatinya sedang membeli proteksi terhadap kemungkinan kerugian yang jauh lebih besar akibat fluktuasi nilai tukar.
Biaya yang dikeluarkan untuk transaksi hedging melalui DNDF seharusnya sebagai bentuk asuransi yang melindungi bisnis dari ketidakpastian nilai tukar. Dalam jangka panjang, perlindungan ini membantu pelaku pasar mengelola anggaran dengan lebih baik dan mencegah kerugian besar yang tidak terduga.
Kedua, likuiditas pasar DNDF masih tergolong dangkal dibandingkan dengan pasar valas konvensional. Peningkatan partisipasi dari bank-bank lokal dan asing diharapkan dapat memperkuat likuiditas dan memberikan harga yang lebih kompetitif bagi pelaku pasar.
Dengan berbagai upaya edukasi dan regulatory reform oleh Bank Indonesia untuk beradaptasi dengan perkembangan pasar, transaksi DNDF konsisten menunjukkan tren positif.
Rata-rata harian transaksi DNDF pada 2018 sekitar USD 21 juta, terus tumbuh signifikan hingga mencapai sekitar USD 124 juta tahun ini. Jumlah pemain yang terlibat juga turut mengalami peningkatan serupa, dari 37 menjadi 131 pelaku dalam kurun enam tahun.
Kehadiran CCP
Ruang pertumbuhan transaksi DNDF masih terbuka lebar dalam jangka menengah panjang. Bank Indonesia menargetkan transaksi DNDF akan naik pesat menjadi USD 1 miliar per hari pada 2030.
Kehadiran Central Counterparty (CCP) untuk transaksi pasar uang dan pasar valas yang telah beroperasi pada 30 September 2024 menjadi salah satu faktor pendorongnya.
Terdapat tiga argumen yang melatarbelakangi optimisme ini. Pertama, salah satu kekhawatiran utama bagi pelaku pasar dalam transaksi DNDF adalah risiko counterparty (atau risiko kredit) dari lawan transaksi.
CCP mengambil alih risiko ini dengan menjadi counterparty dari kedua pihak yang bertransaksi. Hal ini memberikan kepercayaan lebih besar bagi pelaku pasar untuk terlibat dalam transaksi DNDF karena risiko kredit berkurang secara signifikan.
Dengan risiko kredit yang lebih rendah, pelaku pasar akan lebih terdorong untuk meningkatkan volume transaksi. Mereka dapat fokus pada kebutuhan lindung nilai tanpa harus khawatir mengenai risiko yang terkait dengan counterparty.
Kedua, CCP membantu menciptakan pasar yang lebih terstruktur dan likuid dengan menyatukan berbagai peserta pasar dalam satu mekanisme sentral.
Likuiditas pasar DNDF akan meningkat karena pelaku pasar lebih bersedia untuk bertransaksi, mengingat mereka memiliki perlindungan terhadap risiko counterparty.
Likuiditas yang lebih besar menarik lebih banyak partisipan ke dalam pasar, termasuk pemain besar seperti investor institusional.
Dengan volume transaksi yang lebih tinggi, pasar DNDF akan menjadi lebih likuid dan spread antara harga beli dan harga jual akan semakin sempit sehingga mendorong lebih banyak transaksi.
Ketiga, keberadaan CCP juga memberikan transparansi lebih besar terhadap kondisi pasar. Dengan sistem sentralisasi yang diatur dan diawasi, pelaku pasar memiliki informasi yang lebih jelas mengenai harga pasar dan risiko yang terpapar.
Selain itu, CCP tunduk pada regulasi yang ketat, yang dapat meningkatkan kepercayaan pelaku pasar terhadap stabilitas pasar DNDF.
Meskipun CCP membawa angin segar bagi prospek transaksi DNDF ke depan, sejumlah tantangan lain masih harus dituntaskan.
Walau demikian, perjalanan instrumen DNDF di Indonesia selama enam tahun terakhir memberikan sebuah pelajaran penting, bahwa negara berkembang dapat menerapkan strategi kebijakan inovatif untuk mengelola stabilitas nilai tukar dari guncangan eksternal tanpa harus terlalu bergantung pada pasar global.
Artikel ini telah dimuat di INVESTOR DAILY 31 Oktober 2024