Kita patut bersyukur inflasi nasional tahun ini diperkirakan masih dalam target sebesar 2,5% ± 1%. Namun, sebagai refleksi di penghujung tahun untuk evaluasi ke depan, mari kita renungkan sebuah pertanyaan krusial, “Mengapa ada Pemda yang mampu mengendalikan inflasi daerahnya relatif lebih mudah ketimbang Pemda lainnya?”
Jawabannya mungkin sama dengan teka-teki “Mengapa ada negara yang berhasil dan ada yang gagal?” Pertanyaan ini mendasari lahirnya buku “Why Nations Fail” pada 12 tahun silam. Pandangan baru dalam buku ini berhasil mengantarkan penulisnya meraih nobel ekonomi 2024.
Ide dasarnya ialah negara yang maju sejatinya bukan ditentukan karena memiliki sumber daya alam melimpah, melainkan karena kehadiran institusi yang inklusif dan kuat.
Dalam konteks upaya pengendalian inflasi di daerah, gagasan ‘institusi yang inklusif dan kuat’ sangat relevan. Kerangka 4K (keterjangkauan harga, ketersediaan pasokan, kelancaran distribusi dan komunikasi efektif) tidak dapat dijalankan Pemda seorang diri.
Apalagi jika kapasitas fiskal daerah terbatas, keberadaan Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) sebagai wadah sinergi lintas lembaga memainkan peran krusial dalam mengimplementasikan Kerangka 4K.
Penguatan kapabilitas institusi bernama TPID secara berkelanjutan sudah menjadi sebuah keharusan. Pasalnya walau tingkat inflasi nasional cenderung stabil dan rendah setiap tahunnya, kita tidak dapat menafikan posisi Indonesia dalam Global Food Security Index.
Saat ini Indonesia menduduki peringkat 63 dari 113 negara. Di tingkat ASEAN, Indonesia bahkan masih di bawah Singapura yang notabene tidak memiliki lahan pertanian luas.
Faktor-faktor seperti keterbatasan produksi pangan domestik, ketergantungan pada impor bahan pangan tertentu, dan distribusi yang kurang efisien menjadi penyebab utama. Di sinilah peran TPID menjadi semakin signifikan. TPID tidak hanya harus responsif terhadap gejolak harga, tetapi juga mampu mengantisipasi permasalahan sebelum menjadi krisis.
Argumen di atas kian didukung dengan semakin kompleksnya tantangan global dan ancaman krisis iklim di depan mata. Oleh karena itu, TPID perlu didukung dengan berbagai kemampuan baru. Institusi yang inklusif dan kuat, sebagaimana gagasan peraih nobel ekonomi tahun ini, harus diwujudkan dalam bentuk TPID yang tidak hanya menjalankan fungsi pemantauan harga, tetapi juga memiliki strategi yang mampu menjawab permasalahan secara struktural.
BUMD pangan
Kemampuan baru tersebut bernama Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) pangan. Eksistensi BUMD pangan memungkinkan TPID memiliki kontrol yang lebih besar terhadap stabilitas harga di daerah. BUMD pangan, sebagai entitas bisnis daerah, mampu berperan langsung dalam pengadaan, penyimpanan, dan distribusi untuk memastikan kelancaran pasokan.
BUMD pangan juga memiliki fleksibilitas untuk bermitra dengan berbagai pihak, seperti kelompok tani, koperasi, dan sektor swasta, sehingga distribusi dan produksi pangan di daerah dapat lebih terjaga.
Dalam kondisi tertentu, BUMD pangan dapat menjadi penyedia cadangan pangan yang siap didistribusikan untuk menstabilkan harga di pasar ketika terjadi lonjakan permintaan atau gangguan pasokan.
Pengalaman DKI Jakarta dapat menjadi studi kasus menarik. Dengan lahan pertanian yang terbatas, inflasi Jakarta terbukti masih terkendali dengan baik. Salah satu kunci suksesnya keberadaan tiga BUMD pangan yang dimilikinya. Food Station Tjipinang di bidang perdagangan beras, Perumda Dharma Jaya untuk komoditas daging dan Perumda Pasar Jaya untuk pengelolaan pasar tradisional dan modern.
Meskipun konsepnya cantik di atas kerja, namun kebijakan untuk membentuk BUMD pangan di banyak daerah masih perlu didorong. Buktinya data Statistik Keuangan BUMN dan BUMD menunjukkan terdapat 1.008 BUMD di Indonesia pada 2022.
Dari jumlah tersebut terdapat 124 BUMD yang masuk dalam kategori usaha yang berkaitan dengan pangan. Dengan rasio hanya sekitar 10%, tidaklah mengejutkan jika ketergantungan pasokan pada swasta masih cukup dominan di mayoritas daerah.
Kesadaran untuk mendirikan BUMD pangan sejatinya sudah ada sejak lama, namun ikhtiar menuju cita-cita tersebut memang tidaklah mudah. Tantangannya beragam dan kompleks. Salah satunya ialah keterbatasan modal dan sumber daya.Implikasinya, mereka sulit mengembangkan infrastruktur seperti gudang penyimpanan, jalur distribusi, dan sistem logistik yang memadai.
Idealnya ada dua langkah yang dapat ditempuh untuk menjawab tantangan tersebut. Pertama, penguatan modal dan akses pembiayaan. Bisa melalui penyertaan modal daerah, maupun pinjaman lunak oleh BPD khusus untuk BUMD pangan.
Alternatif lainnya adalah dengan membangun skema kemitraan dengan BUMD pangan daerah lain yang sudah lebih mapan secara finansial dan sistem manajemen.
Kedua, penguatan sinergi antar pemangku kepentingan. Pemda dapat membentuk forum kolaborasi yang mempertemukan BUMD, TPID, BUMN dan asosiasi pelaku usaha dari sektor swasta. Forum ini bisa menjadi wadah untuk menyatukan visi dan menyusun strategi bersama yang berfokus pada penguatan ketahanan pangan, baik dari sisi hulu hingga hilir.
Sementara bagi BUMD pangan yang telah terbentuk, terdapat tiga area kapabilitas yang dapat diperkuat. Pertama, optimalisasi operasional melalui teknologi. Penggunaan sistem manajemen rantai pasok berbasis digital, misalnya, memungkinkan BUMD pangan untuk memantau distribusi produk secara real-time dan mengurangi biaya operasional.
Kedua, investasi dalam infrastruktur bisnis. BUMD pangan dapat berinvestasi dalam fasilitas penyimpanan modern, seperti cold storage, yang dapat menjaga kualitas produk lebih lama. Selain itu, pembangunan pusat logistik di titik-titik strategis dapat mengurangi waktu dan biaya distribusi.
Ketiga, diversifikasi produk pangan. BUMD pangan juga bisa mengembangkan produk olahan sebagai langkah untuk meningkatkan nilai tambah produk dan mengurangi ketergantungan pada hasil panen mentah.
Pada akhirnya, nobel ekonomi 2024 mengingatkan kita bahwa institusi yang kuat adalah yang mampu menyesuaikan diri dengan kebutuhan masyarakatnya. Dengan sinergi antara TPID dan BUMD pangan, daerah akan memiliki ketahanan pangan yang lebih baik dan stabilitas harga yang lebih terjaga.
Pada saat bersamaan, TPID dapat menjadi institusi yang lebih inklusif dengan melibatkan berbagai elemen dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Artikel ini telah dimuat di KONTAN 22 November 2024