Di era digital yang semakin berkembang pesat, akal imitasi (AI) telah menjadi katalis utama dalam transformasi industri perbankan. Salah satu implementasi paling menonjol adalah penggunaan asisten virtual berbasis AI yang mampu menggantikan layanan pelanggan konvensional. Sejumlah bank raksasa kini ikut berlomba-lomba menghadirkan fitur ini. Misalnya, Bank Mandiri (Mita), BRI (Sabrina) dan BCA (Vira).
Dengan dukungan teknologi pemrosesan bahasa alami (NLP) dan pembelajaran mesin (ML), asisten virtual mampu memberikan rekomendasi keuangan yang dipersonalisasi, membantu mengelola pengeluaran nasabah, dan mendeteksi potensi risiko finansial. Seiring algoritma yang terus berkembang, asisten virtual dapat memahami konteks pertanyaan nasabah dan menawarkan solusi yang lebih proaktif.
Secara historis industri keuangan memang sangat lekat dengan adopsi teknologi termutakhir. Dalam lima tahun terakhir, setidaknya terdapat tiga tren besar yang mewarnai sektor perbankan tanah air. Ketiganya ialah kedatangan pemain financial technology (fintech), lahirnya bank digital dengan aplikasi super, dan peluncuran layanan berbasis AI sebagai game changer berikutnya.
Argumen ini sejalan dengan tesis yang ditulis Brett King dalam bukunya “Bank 4.0: Banking Everywhere, Never at a Bank”. Dalam bukunya, King membagi perjalanan transformasi industri perbankan menjadi empat fase. Bank 1.0 yang merepresentasikan metode perbankan tradisional. Bank 2.0 dimana elemen layanan mandiri, seperti mesin ATM mulai diperkenalkan.
Bank 3.0 ditandai dengan layanan perbankan berbasis aplikasi di gawai cerdas. Terakhir, Bank 4.0 ketika AI mampu memproyeksi kondisi masa depan berdasarkan pola transaksi nasabah sehingga rekomendasi yang diberikan lebih relevan. Inilah makna dari kutipan terkenal Bill Gates, “banking is necessary, banks are not.”
Faktanya AI tentu bukan hanya tren semata. Kalkulasi untung rugi menjadi motivasi utamanya. Operasional 24/7, respon cepat, personalisasi layanan dan efisiensi biaya merupakan sebagian kecil manfaat yang dapat dipetik.
Argumen ini turut didukung oleh laporan Citi Global Perspectives & Solutions bertajuk “AI in Finance: Bot, Bank & Beyond”. Studi ini menemukan adopsi AI dapat mendongkrak laba perbankan global sebesar US$ 170 miliar atau tumbuh 9% pada 2028. Alhasil, total laba perbankan global diprediksi mencapai USD 2 triliun, dari perkiraan USD 1,8 triliun jika tidak menggunakan AI.
Hasil riset juga menunjukkan bahwa sebanyak 93% lembaga keuangan mengatakan AI meningkatkan keuntungan selama lima tahun ke depan. AI dapat meningkatkan produktivitas bank dengan mengotomatisasi tugas-tugas rutin, menyederhanakan operasi, dan memungkinkan karyawan untuk fokus pada aktivitas yang memberikan nilai tambah lebih tinggi.
Segendang sepenarian kajian McKinsey berjudul “Building the AI bank of the future” menyebut banyak lembaga keuangan, termasuk perbankan telah memanfaatkan AI untuk mempercepat proses persetujuan pinjaman, otentikasi biometrik, dan asisten virtual. Implikasinya semakin banyak transaksi yang dilakukan melalui saluran digital, nasabah juga semakin terbiasa dengan kemudahan, kecepatan, dan layanan yang dipersonalisasi.
Selain itu, AI juga digunakan untuk meningkatkan keamanan perbankan, terutama dalam mendeteksi aktivitas mencurigakan dan pencegahan kejahatan siber. Dengan semakin banyaknya transaksi digital, bank perlu memastikan bahwa sistem mereka dapat mengidentifikasi pola anomali dan mencegah potensi serangan fraud secara real-time.
Berkaca pada fenomena di atas, tidaklah mengejutkan jika perbankan rela merogoh koceknya cukup dalam untuk membangun teknologi AI. Contohnya, Bank Central Asia yang mengalokasikan pengeluaran modal hingga Rp 8 triliun pada 2023 untuk pengembangan AI.
Setali tiga uang Statista mencatat belanja investasi untuk AI oleh sektor keuangan global mengalami pertumbuhan signifikan. Angkanya mencapai USD 35 miliar pada 2023 dan diproyeksikan meningkat hingga USD 126,4 miliar pada 2028. Nilai ini mengindikasikan pertumbuhan tahunan sebesar 29%.
Kotak hitam
Walau kehadirannya menjanjikan banyak keunggulan, harus diakui AI masih menyimpan sejumlah risiko. Sejumlah pakar menyebut AI ibarat “kotak hitam” (black box). Sistem AI sering kali beroperasi dengan cara yang tidak mudah dipahami oleh manusia. Kurangnya transparansi ini membuat sulit untuk menilai keandalan sistem AI, yang bermuara pada kekhawatiran tentang keakuratan hasil.
Karena sifatnya demikian, AI berisiko menghasilkan keputusan menyimpang tanpa disadari. Jika model AI dilatih dengan data historis yang mengandung bias, maka model tersebut dapat memperkuat ketidakadilan yang sudah ada.
Dalam penilaian kredit, misalnya, jika data masa lalu menunjukkan bahwa kelompok tertentu memiliki rasio gagal bayar lebih tinggi, AI bisa secara otomatis menolak permohonan tanpa pertimbangan faktor lain yang bersifat individual. Salah satu kasusnya ialah kartu kredit Apple Card yang diterbitkan oleh Goldman Sachs pada 2019 yang dituduh memberikan batas kredit lebih rendah kepada istri dibandingkan suami dengan profil keuangan serupa.
Untuk memitigasinya, perbankan harus memastikan bahwa data yang digunakan dalam pelatihan AI mencerminkan populasi yang lebih beragam dan netral. Audit algoritma secara berkala, serta intervensi manusia dalam pengambilan keputusan juga diperlukan untuk mencegah diskriminasi yang tidak disengaja.
Memang dalam skenario sederhana seperti pengecekan saldo rekening, AI dapat memberikan jawaban instan tanpa keterlibatan manusia. Namun, ketika nasabah menghadapi masalah kompleks, seperti pengajuan restrukturisasi kredit atau sengketa transaksi, peran pegawai bank masih sangat diperlukan. Interaksi langsung dengan manusia menawarkan aspek empati dan pemahaman konteks yang tidak bisa sepenuhnya direplikasi oleh AI.
Kepercayaan nasabah terhadap layanan berbasis AI juga menjadi tantangan tersendiri. Sebagian masyarakat masih ragu terhadap keandalan AI dalam mengelola keuangan, terutama terkait keamanan data dan transparansi keputusan. AI mungkin tidak selalu memberikan solusi yang sesuai dengan preferensi individu, sehingga potensi ketidakpuasan nasabah tetap ada.
Oleh karena itu, AI seyogyanya diposisikan sebagai alat untuk memperkuat layanan keuangan dan bukan pengganti manusia sepenuhnya. Bank yang mampu menyeimbangkan inovasi dan mitigasi risiko niscaya akan menjadi pemenang di era digital. Sebab, pada akhirnya, perbankan bukan hanya soal teknologi, tetapi juga kepercayaan.
Artikel ini telah dimuat di KONTAN 3 Maret 2025