Apakah kamu pernah merasa sudah bekerja keras, tetapi hasilnya belum sebanding dengan usaha yang kamu keluarkan? Kamu lembur, ikut semua rapat, ambil semua proyek, tapi kariermu seperti jalan di tempat. Jika iya, kamu tidak sendiri. Banyak profesional muda yang terjebak dalam jebakan “sibuk yang semu”.
Morten T. Hansen, profesor manajemen dari University of California, melakukan studi mendalam terhadap lebih dari 5.000 profesional lintas industri. Hasil risetnya terangkum dalam buku Great at Work: How Top Performers Work Less and Achieve More. Intinya sederhana, tapi menggugah: bekerja lebih cerdas jauh lebih penting daripada bekerja lebih keras. Dan bekerja cerdas punya polanya.
Dalam artikel ini, kita akan membedah 7 prinsip utama dari buku Great at Work yang bisa kamu terapkan langsung untuk melesatkan karir tanpa harus mengorbankan waktu dan kesehatan mental.
1. Do Less, Then Obsess
Alih-alih mengejar banyak hal sekaligus, para top performer justru memilih sedikit hal penting, lalu mengerjakannya secara obsesif. Mereka tidak multitasking membabi buta. Mereka fokus.
Mengapa ini penting? Dalam riset Hansen, mereka yang bekerja dengan fokus tinggi pada sedikit prioritas bisa meningkatkan kinerja mereka hingga 25% lebih baik dibanding yang tersebar di banyak hal. Prinsip ini menantang budaya “selalu sibuk” yang justru membuat hasil jadi rata-rata.
Misalnya, jika kamu manajer proyek, alih-alih mengejar 5 inisiatif sekaligus, fokuslah pada 1-2 proyek yang paling strategis, lalu berikan perhatian 100% — dari kualitas tim, timeline, sampai ke detail eksekusi.
Prinsip ini juga menuntut keberanian untuk berkata “tidak”. Banyak dari kita takut melewatkan peluang, padahal terlalu banyak proyek justru membuat kita gagal total. Kuncinya adalah menyusun prioritas berbasis dampak.
Untuk bisa melakukan ini, kamu perlu pemahaman mendalam atas apa yang paling penting bagi organisasi dan peranmu. Tanya: Apa hal utama yang hanya kamu yang bisa kerjakan dan berdampak besar?
Hansen menyarankan agar kita tidak hanya menyaring, tapi juga menggali dalam. Ketika sudah memilih satu prioritas, kita perlu memperdalam pengetahuan, meningkatkan standar kualitas, dan mengeliminasi gangguan agar hasilnya benar-benar unggul.
2. Redesign Your Work
Top performer tidak hanya menerima pekerjaan apa adanya. Mereka mendesain ulang pekerjaannya agar lebih efektif dan bermakna.
Bayangkan kamu seorang Sales Executive. Daripada sekadar mengejar kuantitas klien baru, kamu bisa merancang ulang pendekatanmu: fokus pada segmen dengan potensi tertinggi, buat sistem follow-up yang efisien, dan bangun relasi jangka panjang.
Dengan mendesain ulang pekerjaan, kamu menghilangkan kegiatan yang tidak bernilai dan menggantinya dengan aktivitas yang berdampak besar. Ini bukan soal bekerja lebih lama, tapi bekerja lebih cerdas.
Sering kali kita terjebak dalam rutinitas tanpa pernah mempertanyakan: apakah cara kerja kita saat ini benar-benar optimal? Top performer bertanya: “Bagaimana saya bisa menghasilkan output 2x lipat dengan cara yang berbeda?”
Ini bisa berarti mengatur ulang jadwal kerja, mengadopsi tools digital, atau bahkan mendistribusikan ulang tanggung jawab tim. Perubahan ini tidak harus besar, tapi harus tepat sasaran. Prinsipnya adalah kerja harus mendatangkan nilai. Jika tidak, ubah caranya.
3. Don’t Just Learn, Loop
Belajar tidak berhenti saat kamu selesai kuliah. Namun belajar yang efektif bukan hanya soal membaca buku atau ikut pelatihan, melainkan menciptakan learning loop — siklus belajar, praktik, refleksi, dan perbaikan.
Top performer tidak puas hanya “tahu”. Mereka menguji, gagal, mengevaluasi, lalu mencoba lagi dengan cara lebih baik. Mereka belajar sambil jalan, bukan hanya dari teori.
Contohnya, saat kamu mencoba teknik presentasi baru di depan klien. Setelah presentasi, kamu luangkan waktu untuk mengevaluasi: bagian mana yang membuat klien tertarik? Di mana audiens mulai kehilangan fokus? Apa yang bisa diperbaiki minggu depan?
Proses refleksi ini adalah kunci peningkatan berkelanjutan. Hansen menemukan bahwa orang yang rutin melakukan refleksi setelah bekerja punya peningkatan kinerja hingga 22% dibanding yang tidak.
Buat jadwal refleksi mingguan. Tanyakan ke diri sendiri: “Apa yang saya pelajari minggu ini? Apa yang akan saya ubah minggu depan?”
Dengan membangun learning loop, kamu menjadikan pekerjaan sebagai ruang eksperimen yang mempercepat kemajuanmu.
4. P-Squared (Passion and Purpose)
Banyak orang bicara soal passion. Tapi Hansen menunjukkan bahwa passion saja tidak cukup. Kamu juga butuh purpose — alasan mengapa kamu melakukan pekerjaanmu.
Passion membuat kamu bersemangat. Tapi purpose memberikan makna. Ketika keduanya bersatu, kamu punya energi jangka panjang.
Top performer dalam studi Hansen adalah mereka yang tidak hanya mencintai pekerjaannya, tapi juga merasa pekerjaan mereka punya dampak positif pada orang lain.
Misalnya, kamu seorang Product Manager. Passion-mu mungkin soal teknologi. Tapi purpose-mu adalah membantu pengguna menyelesaikan masalah hidup mereka dengan solusi digital yang sederhana.
Gabungan passion dan purpose membuat kamu tahan banting saat pekerjaan jadi berat. Kamu tidak mudah menyerah karena kamu tahu apa yang kamu lakukan penting.
Jika kamu belum menemukan keduanya, tanyakan ini: Apa bagian dari pekerjaanmu yang paling membuatmu hidup? Dan siapa yang kamu bantu dengan hasil kerjamu?
5. Forceful Champions
Ide cemerlang tidak akan berdampak jika kamu tidak bisa meyakinkan orang lain. Top performer adalah forceful champions — mereka mendorong ide penting dengan cara yang persuasif.
Hansen menunjukkan bahwa performa tinggi bukan hanya soal kerja individu, tapi juga bagaimana kamu membawa ide melintasi organisasi.
Kamu butuh strategi pengaruh. Bukan berarti manipulatif, tapi mampu membangun aliansi, bicara dalam bahasa yang dimengerti pemangku kepentingan, dan berani menyuarakan ide meski belum populer.
Contohnya, saat kamu punya ide efisiensi biaya, jangan langsung pitching ke atasan. Bangun dulu dukungan dari rekan kerja, cari data pendukung, lalu ajukan dengan kerangka dampak bisnis.
Forceful champions juga tahu kapan bersikap fleksibel dan kapan harus berdiri teguh. Mereka membaca kontek s dan menyesuaikan pendekatan. Dengan keterampilan ini, kamu bukan hanya menjadi eksekutor, tapi juga agen perubahan.
6. Fight and Unite
Kolaborasi tidak selalu mulus. Top performer tahu bahwa konflik sehat adalah bagian penting dari tim hebat. Mereka berani menyuarakan pendapat, tapi juga tahu kapan harus menyatukan suara. Hansen menyebutnya Fight and Unite: bertarung untuk ide, lalu bersatu untuk eksekusi.
Dalam tim, sering terjadi ketidaksepakatan. Yang membedakan top performer adalah cara mereka mengelola ketegangan itu menjadi diskusi produktif, bukan drama.
Mereka menciptakan ruang aman untuk debat ide, saling menghargai perbedaan, dan tetap fokus pada tujuan bersama.
Setelah diskusi selesai, mereka menyatukan barisan dan menjalankan keputusan dengan komitmen penuh, meskipun bukan ide mereka yang dipilih.
7. The Two Sins of Collaboration
Kolaborasi sering dianggap sebagai kunci keberhasilan dalam dunia kerja modern. Namun, Morten Hansen memperingatkan bahwa kolaborasi yang tidak tepat justru dapat menjadi jebakan. Ia menyebut ada dua dosa utama dalam kolaborasi: under-collaboration dan over-collaboration.
Under-collaboration terjadi saat seseorang bekerja terlalu terisolasi. Mereka enggan meminta bantuan, tidak berbagi informasi, dan jarang melibatkan pihak lain, bahkan ketika kolaborasi akan mempercepat atau memperkaya hasil kerja. Ini bisa membuat pekerjaan menjadi lambat, tidak relevan, atau kehilangan dukungan dari rekan kerja.
Di sisi lain, over-collaboration juga berbahaya. Ini terjadi ketika terlalu banyak orang dilibatkan dalam sebuah proyek, terlalu banyak rapat, terlalu sering diskusi tanpa keputusan, dan energi tim terpecah karena koordinasi yang berlebihan. Hasilnya? Pekerjaan jadi lambat, membingungkan, dan melelahkan secara emosional.
Profesional hebat tahu bahwa kolaborasi bukan soal banyaknya orang yang terlibat, melainkan soal relevansi dan nilai tambah. Mereka mampu mengidentifikasi kapan kolaborasi dibutuhkan, dengan siapa, dan dalam porsi yang tepat.
Contohnya, seorang manajer proyek yang cerdas tidak mengundang seluruh divisi untuk ikut serta dalam setiap rapat. Ia hanya melibatkan stakeholder yang relevan, menetapkan tujuan yang jelas, dan membatasi waktu rapat agar tetap produktif.
Hansen menyimpulkan bahwa kolaborasi yang efektif ditandai dengan adanya batas yang sehat: cukup terbuka untuk ide dan sinergi, namun cukup selektif agar tetap fokus dan efisien.
Saatnya Bekerja Lebih Cerdas, Bukan Lebih Lama
Riset Morten Hansen mematahkan banyak mitos tentang kerja keras. Ternyata, kerja hebat bukan soal lembur, multitasking, atau hadir di semua rapat. Justru mereka yang memilih dengan cermat, menyederhanakan cara kerja, terus belajar secara reflektif, dan mampu berkolaborasi dengan tepatlah yang melesat jauh dalam kariernya.
Buku Great at Work bukan hanya panduan untuk menjadi lebih produktif, tapi juga ajakan untuk bekerja dengan makna. Dalam dunia kerja yang makin kompleks dan kompetitif, kamu tidak harus bekerja lebih lama. Kamu hanya perlu bekerja dengan lebih bijak.
Mulailah dari satu prinsip. Pilih satu dari tujuh yang paling relevan dengan tantanganmu saat ini. Terapkan selama sebulan, lalu evaluasi. Karier hebat dibangun dari perubahan kecil yang dilakukan dengan konsisten.
“Top performers work smarter and with greater focus. They obsess over the few things that matter and execute them flawlessly.” — Morten T. Hansen