Di balik kemudahan yang ditawarkan oleh digitalisasi, tersimpan tantangan besar bernama kejahatan siber. Baru-baru ini publik dikejutkan dengan sebuah modus penipuan berupa penggunaan perangkat Base Transceiver Station (BTS) palsu.
Bareskrim Polri menyebut nominal kerugian akibat aksi ini mencapai ratusan juta rupiah Kejahatan ini menjadi ancaman serius dan memperlihatkan betapa pentingnya literasi digital.
Berbeda dengan kebanyakan kejahatan siber yang hanya berbasis perangkat lunak atau media sosial, BTS palsu tergolong kejahatan yang menggunakan perangkat keras berteknologi tinggi.
Pelaku menggunakan sistem IMSI Catcher yang mampu “menjebak” ponsel agar menganggapnya sebagai pemancar resmi dan menyisipkan pesan penipuan tanpa melewati jaringan operator.
Dengan sinyal kuat dan terarah, BTS palsu dapat menjangkau puluhan hingga ratusan ponsel di radius tertentu. Ketika korban menerima SMS seperti “Bank Anda akan memblokir akun ini, klik tautan untuk verifikasi,” mereka tidak menyadari bahwa pesan tersebut tidak pernah dikirim oleh operator atau bank yang sah.
Dampak kejahatan ini sangat nyata: masyarakat kehilangan dana, kepercayaan pada layanan digital menurun, dan reputasi lembaga finansial ikut terdampak. Penipuan ini tidak hanya menipu dompet, tetapi juga mengoyak rasa aman pengguna digital.
Modus operandi kejahatan siber sangat beragam. Setidaknya terdapat lima jenis praktik kecurangan yang paling sering terjadi.
Pertama, phishing atau upaya memperoleh informasi pribadi dengan menyamar sebagai pihak terpercaya. Modus BTS palsu memanfaatkan smishing (phising dalam versi berbasis SMS) secara langsung dengan membuat SMS seolah-olah berasal dari bank atau institusi resmi.
Kedua, malware dan ransomware. Malware (perangkat lunak berbahaya) dapat menginfeksi perangkat dan mencuri data tanpa sepengetahuan pengguna.
Di sisi lain, Ransomware, salah satu variannya, mengunci data korban dan meminta tebusan dalam bentuk uang kripto. Serangan ini banyak menyasar sektor pemerintahan dan layanan publik.
Ketiga, social engineering atau rekayasa sosial. Teknik manipulatif ini mengeksploitasi psikologis korban untuk mengungkapkan informasi penting, misalnya dengan berpura-pura menjadi customer service atau petugas bank.
Pelaku sering menggabungkan teknik ini dengan pesan yang menimbulkan kepanikan seperti “rekening Anda diblokir”.
Keempat, skimming atau pencurian data kartu debit atau kartu kredit dengan memakai alat rekam yang dipasang pada mesin ATM atau mesin gesek EDC. Seiring perkembangan teknologi, teknik ini berkembang juga ke ranah digital melalui pencurian data lewat situs tidak aman.
Kelima, penipuan investasi digital dan kripto. Meningkatnya popularitas kripto juga dimanfaatkan oleh pelaku penipuan yang menjanjikan imbal hasil tinggi tanpa risiko. Korbannya tidak hanya masyarakat awam, tetapi juga generasi muda yang aktif digital namun kurang memahami risiko.
Kejahatan-kejahatan di atas kian membingkai fakta bahwa kejahatan digital bukan hanya masalah teknis, melainkan persoalan sistemik yang menyentuh aspek pelindungan konsumen dan literasi digital publik.
Pertahanan pertama
Kejahatan siber seperti BTS palsu menunjukkan bahwa ruang digital bukanlah tempat yang netral. Ia bisa menjadi arena produktivitas atau medan berbahaya tergantung pada kesiapan kita. Masyarakat yang tidak dilindungi dan tidak dibekali dengan literasi digital akan terus menjadi korban.
Literasi digital adalah benteng pertahanan pertama terhadap kejahatan digital. Semakin tinggi literasi digital masyarakat, semakin kecil kemungkinan mereka jadi korban penipuan.
Literasi digital bukan cuma soal teknologi, tapi soal bertahan hidup di era digital. Maka dari itu, penguatan literasi digital bukan lagi pilihan, melainkan sebuah kewajiban.
Secara substansi literasi digital mencakup empat dimensi penting. Pertama, kecakapan informasi dengan memahami dan menilai validitas informasi digital.
Kedua, kesadaran keamanan digital, yaitu mengetahui risiko dari berbagi data pribadi, mengenali sinyal bahaya seperti tautan mencurigakan atau permintaan OTP.
Ketiga, etika digital dengan menjaga privasi, menghormati hak orang lain, dan tidak menyebar berita bohong.
Keempat, kemampuan memecahkan masalah digital. Mereka mengetahui langkah jika terkena penipuan, menghubungi pihak berwenang, dan menggunakan saluran pengaduan resmi.
Seseorang yang melek digital akan lebih berhati-hati dalam mengklik tautan yang mencurigakan, paham pentingnya autentikasi dua faktor (2FA), tidak mudah tergiur iming-iming hadiah dari nomor tidak dikenal, serta mengenali pola pesan yang mencurigakan.
Tanpa literasi digital yang memadai, masyarakat niscaya menjadi sasaran empuk para pelaku kejahatan digital.
Kementerian Kominfo menyebut indeks literasi Indonesia pada 2022 berada di angka 3,54 (dari skala 5). Hal ini menunjukkan bahwa masih tersisa banyak ruang bagi para pemangku kebijakan untuk meningkatkan literasi digital masyarakat.
Pelindungan Konsumen
Beragam upaya sejatinya telah dilakukan otoritas. Misalnya, Bank Indonesia telah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 3 Tahun 2023 tentang Pelindungan Konsumen Bank Indonesia.
Salah satu poin utamanya ialah literasi digital bukan hanya menjadi tanggung jawab regulator, melainkan juga tanggung jawab industri sistem pembayaran.
Dalam kerangka ketentuan ini, pelaku industri diwajibkan untuk aktif memberikan edukasi kepada konsumen mengenai keamanan bertransaksi, perlindungan data pribadi, serta potensi risiko di dunia digital.
Dengan memperluas pemahaman konsumen, industri tidak hanya memenuhi kewajiban regulasi, tetapi juga membangun kepercayaan publik yang menjadi fondasi keberlanjutan ekosistem pembayaran digital.
Seiring makin banyaknya produk dan layanan pembayaran berbasis teknologi, pemahaman masyarakat tentang konsep keamanan transaksi digital menjadi sangat mendasar.
Berbagai program edukasi, kampanye publik, hingga kolaborasi dengan komunitas lokal digalakkan untuk memperkenalkan risiko siber, serta memahami hak dan kewajiban sebagai pengguna sistem pembayaran.
Langkah ini menjadi kunci dalam mewujudkan tujuan yang lebih besar, yaitu menciptakan ekosistem pembayaran yang inklusif dan berkelanjutan.
Dengan masyarakat yang melek digital, penggunaan layanan pembayaran digital dapat tumbuh sehat, memperluas akses keuangan, dan mempercepat transformasi ekonomi nasional.
Sinergi antara regulator dan industri ini mencerminkan komitmen bersama untuk tidak hanya membangun teknologi, tetapi juga kepercayaan dan kesiapan masyarakat dalam memasuki era ekonomi digital.
Sebab pada akhirnya tidak ada teknologi yang benar-benar aman tanpa manusia yang benar-benar paham cara menggunakannya.
Oleh karena itu, sangatlah tepat jika mengibaratkan literasi digital layaknya vaksin sosial terhadap kejahatan siber.
Seperti halnya vaksin yang melatih tubuh melawan virus, literasi digital melatih nalar dan kewaspadaan kita terhadap ancaman di dunia maya.
Artikel ini telah dimuat di INVESTOR DAILY 7 Mei 2025