Ada satu kutipan yang kerap didengungkan ekonom ketika mencermati dinamika global terkini: “Don’t waste a good crisis.” Hari ini kita memang tidak mengalami krisis.
Namun, pergeseran besar dalam struktur ekonomi sedang terjadi. Dan transisi semacam ini merupakan momentum yang tepat untuk melakukan perubahan mendasar yang sulit dilakukan dalam situasi normal.
Selama bertahun-tahun, Indonesia menggantungkan ekspor pada komoditas batu bara, CPO, nikel. Para ekonom klasik percaya bahwa keunggulan suatu negara ditentukan oleh faktor alam. Tapi, dunia sudah berubah. Teori itu pelan-pelan ditinggalkan.
Mesin pertumbuhan global tidak lagi semata di ladang atau tambang. Justru komoditas virtual, seperti kode program, algoritma, dan konten digital telah menjadi primadona baru.
Ekonomi digital memang telah membuka banyak jendela peluang baru. Negara yang mampu menghasilkan talenta unggul akan menikmati arus devisa lewat ekspor jasa digital. Richard Baldwin menamakan situasi ini sebagai “third unbundling.”
Pekerjaan bisa dilakukan di mana saja dan kehadiran fisik tak lagi jadi syarat untuk berpartisipasi dalam ekonomi global. Inilah wajah baru globalisasi dari perdagangan komoditas ke persaingan kreativitas.
Secara sederhana, ekspor jasa digital adalah penjualan jasa ke luar negeri yang penyampaian dan transaksinya dilakukan secara digital.
WTO menyebut ekspor jasa digital sebagai salah satu jenis ekspor dengan kenaikan paling cepat secara global. Dalam satu dekade terakhir, rata-rata pertumbuhan tahunannya lebih dari 8% atau lebih tinggi dari ekspor barang.
Jenisnya pun makin beragam. Mulai pengembangan perangkat lunak, animasi, layanan data analytics, cloud computing, digital marketing, hingga jasa edukasi berbasis daring.
Dan yang menarik, sektor ini lebih tahan terhadap disrupsi logistik, lebih inklusif untuk pelaku kecil, dan lebih rendah hambatan tarifnya.
Data statistik menunjukkan nominal ekspor jasa digital global telah menyentuh USD 4,64 triliun pada 2024. India, yang dulu dikenal sebagai negara pertanian dan industri padat karya, kini menjadi raksasa layanan TI dunia dengan nilai ekspor jasa digital USD 269 miliar.
Irlandia, negara kecil dengan populasi 5 juta jiwa, menjadi pusat ekspor perangkat lunak, SaaS, dan layanan back-end dari raksasa teknologi global senilai USD 417 miliar.
Sementara itu, Indonesia dengan populasi lebih dari 270 juta jiwa dan penetrasi internet yang mencapai 79% mencatatkan nilai ekspor jasa digital hanya USD 11 miliar. Disinilah letak tantangan, sekaligus juga potensi bagi bangsa kita. Setidaknya ada tiga peluang yang dapat dimanfaatkan.
Pertama, bonus demografi adalah bahan baku utama. Indonesia memiliki lebih dari 70 juta penduduk usia produktif yang melek digital. Angka ini akan terus meningkat hingga 2030.
Jika diarahkan dan dilatih dengan baik, angkatan muda kita bisa menjadi digital labor force yang sangat mumpuni dalam mendulang devisa.
Kedua, daya saing biaya yang cukup kompetitif. Upah rata-rata seorang pengembang aplikasi di Jakarta jauh lebih rendah daripada di San Francisco atau Tokyo, tetapi dengan kualitas yang semakin bisa disetarakan.
Kombinasi value for money tersebut adalah daya tarik kunci bagi klien global. Lanskap ini memberi ruang bagi negara berkembang seperti Indonesia untuk menjadi hub jasa digital.
Ketiga, akses ke pasar internasional yang semakin mudah. Kehadiran platform digital, seperti Upwork dan Fiverr memungkinkan para talenta digital kita untuk bersaing di panggung global tanpa perlu bermigrasi ke Silicon Valley.
Teknologi telah membuat jarak menjadi tidak relevan di era digital. Inilah demokratisasi ekspor yang belum disadari banyak orang.
Pusat Inovasi Digital
Tak pelak inovasi menjadi sebuah kebutuhan mendesak untuk menangkap peluang besar ini. Sayangnya, inovasi tidak muncul dari ruang hampa. Ia lahir dari interaksi empat pihak, yaitu institusi pendidikan, industri, pemerintah, dan masyarakat.
Pada titik inilah Pusat Inovasi Digital (PID) hadir sebagai aktor sistemik untuk menyatukan keempatnya dalam satu ruang kolaborasi.
Konsep PID berakar pada teori pertumbuhan endogen oleh Paul Romer, seorang ekonom dan peraih nobel ekonomi tahun 2018.
Dalam model ini, pertumbuhan ekonomi tidak hanya didorong oleh modal dan tenaga kerja, tetapi juga oleh akumulasi pengetahuan yang terus tumbuh karena adanya insentif inovasi.
Sebagai contoh, kita bisa belajar dari Block 71 di Singapura, yang awalnya merupakan bekas pabrik industri tua. Hari ini, ia menjadi pusat gravitasi bagi ratusan usaha rintisan, investor, universitas, hingga lembaga pemerintah.
Di sana, ide bisa diujicobakan tanpa takut ditertibkan. Peneliti bisa berkolaborasi dengan pengembang produk. Pemerintah hadir untuk menciptakan ruang aman bagi inovasi.
Alhasil, Block 71 berhasil mendorong ekspor jasa digital Singapura ke pasar global. Dari ruang kecil ini, lahir berbagai usaha rintisan teknologi dengan predikat unicorn, seperti PatSnap dan Carousel.
Studi kasus ini menunjukkan bahwa ekosistem yang kondusif dapat menjadikan ide sebagai komoditas ekspor unggulan.
Dari perspektif makro, PID memainkan peran vital. PID menjadi simpul penting yang menjembatani talenta digital lokal dengan kebutuhan pasar global.
Fungsinya tidak semata-mata mengembangkan keterampilan teknis, seperti pemrograman atau desain, tetapi juga memperluas pemahaman tentang standar internasional, etika bisnis lintas yurisdiksi, serta perlindungan kekayaan intelektual.
Lebih dari sekadar pusat pelatihan, PID juga merupakan ruang eksperimentasi. Disanalah ide-ide tentang AI generatif, blockchain, hingga big data diuji dan dikembangkan.
Proyek-proyek tersebut tidak hanya ditujukan bagi pasar domestik dan global, tetapi juga menjadi etalase kemampuan digital Indonesia di mata dunia.
Misalnya, ketika usaha rintisan di Jakarta berhasil mengembangkan solusi chatbot AI yang diadopsi oleh klien di Asia Tenggara, hal ini bukan hanya soal ekspor teknologi. Ini juga tentang tumbuhnya kepercayaan terhadap kapabilitas digital anak negeri.
Pada akhirnya, ekspor jasa digital adalah masa depan yang sedang mengetuk pintu. Kita tidak bisa berharap mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi jika terus bergantung pada ekspor berbasis sumber daya alam. PID harus menjadi episentrum dari transformasi.
Lebih dari itu, PID harus menumbuhkan cara pandang baru bahwa ekspor tidak melulu soal barang fisik, tapi juga tentang ide, keahlian, dan kreativitas yang berasal dari karya anak bangsa.
Artikel ini telah dimuat di KONTAN 24 Juni 2025