Dalam sejarah moneter, kekuatan uang tak hanya ditentukan oleh angka pada selembar kertas. Nilai uang lahir dari kepercayaan. Bukan kebetulan jika uang disebut fiat yang berarti “jadilah” dalam bahasa Latin.
Nilainya ada karena masyarakat sepakat bahwa ia bernilai. Tapi dalam dunia yang berubah cepat, kepercayaan itu kini sedang diuji. Bukan karena krisis likuiditas atau inflasi global, tapi oleh uang digital bernama stablecoin.
Dalam beberapa tahun terakhir, stablecoin berkembang dari sekadar instrumen dalam ekosistem kripto menjadi aset yang mendekati fungsi uang konvensional.
Volume transfer stablecoin global dilaporkan mencapai USD 27,6 triliun pada 2024. Angka ini melampaui gabungan nilai transaksi Visa dan Mastercard pada tahun yang sama.
Sebagai bentuk aset digital yang dipatok pada nilai tetap, stablecoin menjanjikan kepastian nilai, berbeda dari mata uang kripto lain seperti Bitoin yang tidak dipatok pada nilai tetap.
Selain itu stablecoin juga memberikan efisiensi dan kecepatan transaksi tanpa melalui sistem perbankan.
Tapi, janji tersebut datang bersama risiko yang tidak mudah. Stabilitas nilai stablecoin sangat bergantung pada kualitas cadangan aset yang mendukungnya.
Kasus kejatuhan Terra USD pada 2022 menjadi peringatan bahwa tanpa cadangan riil yang kredibel, label stabil hanya ilusi.
Terra runtuh karena kepercayaan pasar yang menguap ketika masyarakat sadar bahwa jaminan stabilitasnya tak lebih dari algoritma dan asumsi pasar yang rapuh.
Di tengah dinamika ini, sejumlah negara mulai merespons dengan kebijakan yang lebih akomodatif. Salah satunya ialah Jepang yang mengakui stablecoin sebagai alat pembayaran melalui Payment Services Act pada 2022.
Regulasi ini juga mewajibkan penerbit stablecoin memiliki cadangan penuh dalam bentuk aset likuid dan pengawasan ketat atas aset pendukung stablecoin.
Langkah serupa juga ditempuh oleh Amerika Serikat melalui GENIUS (Guiding and Establishing National Innovation for U.S. Stablecoins) Act.
Ketentuan ini membuka jalan bagi lembaga non-bank untuk turut serta dalam proses penciptaan uang digital berbasis blockchain. Hanya entitas yang diawasi otoritas keuangan yang diizinkan menerbitkan stablecoin.
Bahkan sejumlah media internasional menyebut perusahaan ritel raksasa seperti Amazon dan Walmart diperkirakan akan meluncurkan stablecoin sendiri pasca implementasi UU ini.
Langkah ini akan menggantikan layanan kartu kredit yang umumnya mengenakan biaya transaksi 2–3%. Ini bisa mempercepat adopsi stablecoin sebagai alternatif uang tunai dalam aplikasi digital, remitansi, dan pembayaran ritel.
Dalam kacamata inovasi, langkah negara maju ini bisa dibilang pro-market. Secara sepintas, ini terlihat seperti langkah progresif bahwa melarang teknologi hanya akan membuat mereka tertinggal.
Namun demikian, kehadiran UU ini mungkin adalah awal dari medan yang belum sepenuhnya dipetakan.
Tantangan stablecoin
Walau telah diregulasi dengan baik, stablecoin tetap membawa potensi disrupsi terhadap sistem keuangan tradisional. Disintermediasi menjadi problematika nyata.
Ketika masyarakat lebih memilih menyimpan dana di dompet digital berbasis stablecoin daripada rekening bank, maka dana pihak ketiga di perbankan berpotensi turun. Implikasinya, kapasitas bank untuk menyalurkan kredit akan ikut melemah.
Dari perspektif makro, tantangan lebih besar muncul ketika stablecoin ditransaksikan secara lintas negara. Dana bergerak cepat melintasi yurisdiksi tanpa melalui sistem perbankan yang terpantau oleh otoritas domestik.
Perlindungan konsumen akan menjadi isu krusial. Tidak seperti rekening bank yang memiliki lembaga penjaminan, kejatuhan penerbit stablecoin di luar negeri bisa jadi akan berdampak pada hilangnya dana pengguna di dalam negeri secara permanen.
Selain itu, fenomena ini dapat melemahkan kontrol otoritas moneter terhadap peredaran uang. Implikasinya, regulator terjebak dalam dilema: membuka sistem demi efisiensi, atau mempertahankan kedaulatan dengan risiko terpinggirkan dari inovasi global.
Kondisi ini bisa dianalisis melalui teori impossible trinity atau trilema moneter. Dalam dunia dengan arus modal bebas dan stablecoin lintas batas, sulit bagi sebuah negara untuk mempertahankan kebijakan moneter yang independen dan stabilitas nilai tukar secara bersamaan.
Negara harus memilih dua dari tiga tujuan tersebut. Stablecoin berpotensi memaksa negara untuk melepaskan sebagian kedaulatannya demi keterbukaan sistem keuangan global.
Dalam konteks Indonesia, pendekatan kehati-hatian tetap menjadi prioritas. UU Mata Uang menegaskan bahwa rupiah adalah satu-satunya alat pembayaran yang sah di wilayah NKRI.
Kebijakan Bank Indonesia juga telah menutup ruang penggunaan kripto, termasuk stablecoin, sebagai alat pembayaran domestik. Kebijakan ini bukan soal chauvinisme rupiah atau anti-inovasi. Ini adalah langkah strategis.
Ada dua argumen utama yang mendasarinya. Pertama, mayoritas stablecoin saat ini belum diaudit secara menyeluruh, sehingga transparansi dan keamanan cadangannya masih diragukan.
Kedua, belum adanya mekanisme pengawasan lintas negara yang kuat. Otoritas sulit melakukan intervensi jika terjadi disrupsi di stablecoin yang dikeluarkan di luar negeri.
Di tingkat global, mayoritas bank sentral merespon disrupsi ini melalui pengembangan mata uang bank sentral atau Central Bank Digital Currency(CBDC).
Menurut Atlantic Council (2025), saat ini 72 negara termasuk G20 tengah terlibat dalam proyek ini, termasuk Indonesia melalui Proyek Garuda.
Upaya ini tidak hanya menjawab kebutuhan efisiensi, tetapi juga untuk menjaga kedaulatan moneter dan menjamin perlindungan konsumen.
Andrew Bailey, mantan gubernur bank sentral Inggris mengatakan, “Tugas kami adalah memastikan inovasi tidak mengorbankan keamanan sistem keuangan.”
Pendekatan yang diambil oleh bank sentral bukan untuk menghambat kemajuan teknologi, tetapi memastikan bahwa inovasi keuangan berjalan dalam ekosistem yang terkendali.
Menjaga keseimbangan antara stabilitas ekonomi dan inovasi agar tidak menciptakan kerentanan baru adalah kunci utamanya.
Pada akhirnya, kita juga harus belajar dari sejarah: banyak krisis keuangan bermula bukan dari adopsi teknologi yang lambat, melainkan dari kelengahan dalam pengawasan.
Oleh karena itu, kebijakan sistem pembayaran oleh bank sentral bukan soal menjadi yang tercepat, tetapi juga yang paling siap menghadapi risiko.
Artikel ini telah dimuat di KONTAN 2 Agustus 2025

