Ketika Google Maps pertama kali diluncurkan tahun 2005, kita hanya melihatnya sebagai peta digital. Tapi seiring waktu, ia menjadi lebih dari sekadar petunjuk arah. Ia mengajari kita membaca ritme kota, memprediksi kemacetan, bahkan merencanakan waktu berpindah dari satu titik ke titik lainnya.
Inovasi yang semula terlihat biasa, ternyata diam-diam mengubah cara manusia memaknai ruang dan waktu.
Kini, sejarah itu seperti berulang lewat implementasi QRIS. Ia telah hadir sejak lima tahun silam dengan wajah yang sangat sederhana: kode persegi dua dimensi di atas selembar kertas. Tidak ada layar sentuh, tidak ada tombol dan tidak ada suara. Tapi di balik kesederhanaannya, ia membawa misi besar bernama transformasi digital.
Pada mulanya QRIS dirancang untuk memudahkan transaksi. Pedagang tak perlu lagi menyiapkan beragam kode QR di meja kasir. Cukup satu kode QR untuk pembayaran semua bank dan dompet digital. Praktis, cepat, dan hemat.
Dan seiring berjalannya waktu, tidak ada yang menyangka kehadiran alat sederhana itu justru berkembang menjadi pintu pembuka bagi UMKM masuk ke dalam ekosistem digital.
Lompatan katak
Mereka mulai belajar mencatat transaksi, mengelola laporan keuangan, terkoneksi dengan aplikasi kasir digital, hingga memasarkan dagangannya di media sosial dan situs lokapasar.
Situasi ini lantas dikenal dengan istilah “lompatan katak” (leapfrog). Sebuah jargon kontemporer untuk menggambarkan kemampuan melompati tahapan pertumbuhan konvensional dengan bantuan teknologi.
Dulu, untuk bisa menjangkau pasar nasional, pelaku usaha harus membuka cabang, pasang iklan di media cetak, dan punya modal besar. Sekarang, cukup punya akun media sosial, ponsel pintar, dan QRIS.
UMKM yang tadinya hanya melayani tetangga sekitar, kini bisa melayani pembeli di luar kota, bahkan luar negeri dengan proses pembayaran yang mudah.
Tak ayal, UMKM dapat melompat langsung dari ekonomi informal ke ekosistem digital tanpa harus melewati fase menengah yang panjang. Inilah hakikat lompatan katak, yakni teknologi yang awalnya dirancang untuk efisiensi pembayaran menjadi pondasi transformasi struktural.
Pada skala makro, adopsi massal QRIS berkontribusi pada formalisasi usaha informal, perluasan basis pajak, dan percepatan inklusi keuangan.
Optimisme serupa kembali membuncah seiring peluncuran QRIS Tap pada Maret 2025. Dengan dukungan teknologi Near Field Communication (NFC), pengguna cukup menempelkan ponsel ke perangkat, dan transaksi terjadi dalam sekejap.
Meski usianya masih seumur jagung, nyatanya pengguna QRIS Tap tercatat mencapai 20,8 juta orang dengan volume transaksi mencapai 42,9 juta.
Sekilas, cara pembayaran kekinian ini terlihat hanya sebagai penyempurnaan teknis dari sistem QRIS yang sudah ada. Namun di balik itu, QRIS Tap sejatinya menyimpan potensi lebih dari sekadar memudahkan pembayaran.
Sektor transportasi publik dapat menjadi studi kasus menarik. Aspek kecepatan terbilang sangat krusial di area ini. Semakin deras laju transaksi, semakin lancar aliran penumpang.
Pengalaman banyak kota megapolitan di dunia mengajarkan bahwa kecepatan berpindah sama pentingnya dengan kecepatan internet. Ketika teknologi menyatu dengan alur hidup masyarakat urban, ia tak lagi sekadar alat bayar, tapi menjadi bagian dari infrastruktur kota modern.
Walau demikian, letak kekuatan QRIS Tap justu terletak pada sisi perolehan data. Setiap ketukan pada mesin pembaca menciptakan jejak digital sebagai indikator mobilitas harian warga.
Ia memberitahu jam berapa orang paling sering naik kendaraan umum. Ia mengungkap rute mana yang padat, mana yang sepi.
Implikasinya QRIS Tap memungkinkan sistem pengambilan kebijakan dapat bergerak dari berbasis asumsi menuju sistem berbasis bukti. Pemerintah bisa membaca pola mobilitas masyarakat secara langsung. Operator mampu menyesuaikan armada secara dinamis. Dan warga mendapat layanan yang lebih sesuai dengan kebutuhan nyatanya.
Enabling infrastructure
Ke depan, sangat mungkin data QRIS Tap akan terhubung dengan sistem perencanaan kota. Pemerintah bisa mengidentifikasi daerah yang kurang terlayani transportasi, mengatur tarif berdasarkan waktu, bahkan memberi subsidi yang lebih tepat sasaran.
Di titik inilah, QRIS Tap bukan cuma alat transaksi. Ia menjadi enabling infrastructure yang memampukan banyak hal lain tumbuh di atasnya.
Terminologi ini berarti infrastruktur yang tidak hanya menjalankan fungsi dasarnya, tetapi juga membuka ruang tumbuh bagi sistem lainnya.
Misalnya, jalan tol tidak hanya menghubungkan dua kota, tapi membentuk pusat ekonomi baru. Listrik bukan hanya menyalakan lampu, tapi memungkinkan munculnya industri.
QRIS Tap pun demikian. Ia membuka jalan, tak hanya bagi sistem transportasi yang lebih efisien, tapi juga bagi kota yang lebih cerdas.
Hari ini, tantangan transportasi publik bukan hanya pada soal tarif dan trayek, tetapi juga integrasi layanan. Pengguna ingin melihat posisi kendaraan umum, merencanakan rute, hingga memesan tiket transportasi secara daring.
QRIS Tap berpotensi menjadi simpul awal yang menghubungkan moda transportasi ke dalam ekosistem digital—dari pembayaran, data pengguna, hingga integrasi antarmoda.
Potensi QRIS Tap tentu tidak berhenti di halte atau stasiun. Ia bisa menjangkau lebih luas, menembus batas sektor transportasi menuju layanan publik lainnya. Bayangkan jika pembayaran retribusi parkir, tiket masuk kawasan wisata, hingga layanan administrasi di kantor pemerintah bisa dilakukan cukup dengan satu sentuhan.
Di sinilah kita melihat bagaimana QRIS Tap bisa menjadi tulang punggung kota cerdas yang tidak hanya efisien secara teknis, tapi juga inklusif secara sosial.
Pada akhirnya, Clayton Christensen, profesor di Harvard Business School mengatakan: “Inovasi yang berhasil bukan yang paling canggih, tapi yang paling banyak dipakai.” QRIS Tap memenuhi syarat ini.
Bukan karena ia dibangun dengan teknologi mutakhir, tapi karena ia menjawab kebutuhan paling dasar masyarakat: kemudahan, kecepatan, dan keterjangkauan dalam bertransaksi.
Maka dari itu, sangat tepat jika memosisikan QRIS Tap sebagai fondasi awal transformasi fasilitas publik yang lebih inklusif, efisien, dan terhubung.
Walau saat ini implementasinya masih terbatas, tapi seperti kata orang bijak: jangan meremehkan riak kecil, karena gelombang besar sering lahir dari riak kecil yang tak terlihat.
Artikel ini telah dimuat di KONTAN 17 Mei 2025

