Ada satu kesamaan prinsip antara mengemudi kendaraan dan mengelola kebijakan sistem keuangan. Inovasi ibarat pedal gas yang mempercepat laju keuangan digital. Tapi secepat apa pun kendaraan, tanpa rem yang berfungsi, perjalanan justru berbahaya.
Maka, pedal rem berupa regulasi dalam sistem keuangan menjadi syarat agar perjalanan ekonomi digital bisa berlanjut tanpa risiko benturan di tengah jalan.
Analogi pedal gas dan rem semakin relevan dalam konteks hari ini. Dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan perubahan dramatis dalam wajah dunia keuangan.
Awalnya, kripto hanya dianggap sebagai alat spekulasi. Namun, perlahan tapi pasti, aset kripto mulai merambah sebagai sumber dana dalam aplikasi pembayaran global. Tantangannya, apakah sistem keuangan dan regulator siap mengendalikan lajunya agar tetap presisi?
Di banyak negara, kripto mulai digunakan secara aktif dalam transaksi. Layanan dompet digital, seperti PayPal telah membuka akses bagi pengguna untuk mengonversi kripto menjadi mata uang lokal dan langsung menggunakannya untuk pembayaran.
Bahkan kartu debit yang terhubung dengan saldo kripto kini mulai marak diterbitkan oleh perusahaan seperti Coinbase dan Binance.
Mekanismenya relatif sederhana: pengguna memiliki dompet kripto, aplikasi menghitung konversi nilai, lalu menyalurkan dana ke merchant dalam bentuk uang fiat. Cepat, efisien, dan bagi sebagian orang lebih murah dibanding sistem perbankan konvensional, terutama untuk remitansi antarnegara.
Di Singapura, integrasi kripto dalam sistem pembayaran ritel bukan lagi wacana. Grab, sebagai super app, telah menjalin kemitraan dengan Triple-A sebagai penyedia layanan pembayaran yang sudah berlisensi resmi di negara itu.
Lewat kolaborasi ini, pengguna bisa mengisi ulang saldo GrabPay mereka menggunakan aset kripto seperti Bitcoin atau Ethereum. Nilainya langsung dikonversi ke dolar Singapura secara instan.
Kripto tak lagi berdiri di luar sistem pembayaran formal. Ia mulai menempel, menyusup, dan menyatu. Ketika sumber dana dalam sistem pembayaran berasal dari aset yang volatil, lintas yurisdiksi, dan tidak dijamin negara, maka stabilitas sistem keuangan bisa goyah.
Apalagi jika kripto digunakan oleh jutaan orang untuk aktivitas ekonomi sehari-hari. Efektivitas kebijakan moneter oleh bank sental mulai luntur seperti rem mobil yang longgar di jalan menurun.
Munculnya layanan yang menghubungkan kripto dengan dompet digital mengindikasikan satu hal: ekonomi digital mulai membentuk cabang-cabang baru yang tidak seluruhnya ditanam di dalam sistem keuangan formal.
Kalau dulu kita bicara soal “shadow banking,” maka sekarang kita mungkin sedang melihat munculnya “shadow liquidity” — dana yang mengalir dari aset digital ke konsumsi, tanpa selalu melewati saluran yang diawasi regulator.
Dua kutub
Pembahasan tentang mata uang kripto kerap membawa kita pada dua kutub ekstrem. Di satu sisi, mayoritas regulator melihatnya sebagai potensi ancaman terhadap stabilitas sistem keuangan, efektivitas kebijakan moneter, bahkan kedaulatan negara.
Di sisi lain, ada pandangan bahwa kripto sebagai masa depan sistem keuangan yang lebih inklusif, terdesentralisasi, dan efisien.
Menurut laporan World Economic Forum (2025), meskipun sebagian besar bank sentral masih berhati-hati terhadap penggunaan aset kripto dalam sistem keuangan, banyak dari mereka tengah mengembangkan kebijakan yang lebih adaptif terhadap inovasi di sektor digital.
Beberapa bank sentral, seperti yang tercatat oleh BIS (Bank for International Settlements), menganggap bahwa kripto berpotensi menimbulkan ancaman terhadap stabilitas keuangan global, terutama karena volatilitas yang tinggi dan kurangnya regulasi yang jelas.
Namun, Amerika Serikat seperti memberi panggung pada industri kripto. Terpilihnya Donald Trump yang dikenal sebagai figur pro-kripto memperkuat ekspektasi pasar terhadap regulasi yang lebih longgar.
Trump sudah menyatakan secara terbuka bahwa ia tidak akan membiarkan AS kalah dalam revolusi aset digital. Beberapa analis bahkan memperkirakan bahwa masa kepemimpinan Trump bisa menjadi titik balik adopsi institusional kripto di Amerika.
Misalnya, UU Inovasi Stablecoin Amerika (GENIUS ACT) yang diusulkan pada Juni 2025 mengatur bahwa stablecoin harus didukung sepenuhnya 1:1 oleh aset-aset likud berkualitas tinggi seperti surat utang pemerintah AS.
Perlindungan hukum seperti ini tentu mempercepat adopsi pasar, sekaligus memperbesar tantangan dalam pengendalian risiko.
Tapi, mari kita lihat pengalaman negara lain yang sudah lebih dulu melangkah. El Salvador contohnya.
Negara ini sempat menarik perhatian dunia karena menjadikan Bitcoin sebagai legal tender dan bagian dari cadangan negara sejak 2021. Artinya, semua pihak di negara itu harus menerima Bitcoin sebagai alat pembayaran.
Kebijakan itu terlihat progresif, tapi realitas berbicara lain. Dalam waktu singkat, negara di Amerika Tengah ini sempat berada di ambang kebangkrutan ekonomi karena terjerat lebih banyak hutang pada tahun yang sama karena penurunan nilai Bitcoin.
Bahkan, hasil survei terbaru menunjukkan hanya 7,5% penduduk El Salvador yang menggunakan Bitcoin untuk transaksi.
Pengalaman ini mengajarkan satu hal sederhana: terlalu cepat melangkah tanpa kesiapan bisa membawa risiko besar. Yang sering terlewat dari euforia kripto adalah kenyataan bahwa aset ini masih merupakan “kotak hitam”.
Kita tidak benar-benar tahu siapa pihak dominan yang menggerakkan harga dan bagaimana struktur pasarnya terbentuk. Bahkan stablecoin yang tampak stabil di permukaan, menyimpan risiko besar dalam hal transparansi cadangan.
Apalagi aset kripto umumnya tidak memiliki nilai yang stabil. Pergerakannya bisa sangat tajam dalam waktu singkat, dipengaruhi oleh sentimen pasar global, spekulasi, dan bahkan cuitan tokoh tertentu.
Ketika nilai alat tukar tidak bisa diprediksi, maka stabilitas transaksi menjadi taruhan yang bermuara pada kerugian bagi konsumen maupun pelaku usaha.
Kehadiran kripto sebagai sumber dana pembayaran menciptakan ilusi efisiensi, serta berpotensi menyembunyikan risiko sistemik yang sulit dideteksi dengan perangkat pengawasan konvensional.
Maka kehati-hatian bukanlah bentuk ketertinggalan, tapi strategi bertahan dalam dunia yang tidak pasti.
Dengan berbagai konsideran risiko di atas, tidaklah mengherankan apabila mayoritas bank sentral mengambil posisi wait and seet sebelum mengadopsi kripto dalam lingkup sistem pembayaran.
Apalagi, dalam konteks dalam negeri, UU Mata Uang telah mengamanatkan rupiah sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah di Indonesia.
Namun, sikap konservatif tersebut tidak berarti menolak inovasi teknologi di balik kripto. Banyak bank sentral memiliki pandangan lebih positif dengan fokus pada pengembangan mata uang bank sentral atau Central Bank Digital Currency (CBDC) sebagai alternatif untuk mengimbangi perkembangan teknologi kripto.
Menurut Atlantic Council (2025), saat ini 72 negara termasuk G20 tengah terlibat dalam proyek ini, termasuk Indonesia melalui Proyek Garuda.
Pada akhirnya, membuka pintu bagi kripto sebagai sumber dana pembayaran tidak bisa dilakukan dengan gegabah. Teknologi mungkin menjanjikan efisiensi, tapi kebijakan publik bukan hanya soal tren atau adu cepat adopsi teknologi baru. Ini juga tentang menjaga stabilitas sistem keuangan nasional.
Tantangan terbesar saat ini ialah menjaga keseimbangan pedal gas inovasi dan pedal rem regulasi agar manfaat inovasi digital benar-benar bisa dinikmati tanpa menciptakan risiko sistemik.
Mengutip kata Joseph Stiglitz, peraih nobel ekonomi tahun 2001, “Inovasi keuangan tanpa regulasi adalah resep menuju instabilitas.”
Artikel ini telah dimuat di INVESTOR DAILY 15 Juli 2025

