Dalam sejarah ekonomi, teknologi pembayaran selalu menjadi motor integrasi. Dahulu emas menjadi standar kepercayaan, lalu digantikan oleh uang kertas yang diterima lintas batas. Kemudian hadir kartu kredit yang membuka jalan bagi transaksi global.
Kini, QRIS Antarnegara melanjutkan tradisi itu. Momentum 17 Agustus 2025 menjadi tonggak sejarah penting yang menandai penggunaan QRIS di Negeri Sakura.
Jepang tentu bukan sekadar destinasi wisata utama bagi turis Indonesia. Ia adalah salah satu negara perekonomian terbesar di dunia.
Fakta bahwa peluncuran implementasi QRIS di Jepang merupakan ekspansi pertama di luar ASEAN memperlihatkan dua hal sekaligus, yaitu naiknya kredibilitas standar pembayaran kode QR tanah air, dan bertambahnya soft power Indonesia di arsitektur pembayaran Asia.
Bagi Jepang, kerja sama ini sejalan dengan upaya bank sentral Jepang yang tengah fokus memperluas adopsi pembayaran digital. Jepang telah lama dikenal sebagai negeri yang begitu setia pada uang tunai.
Namun, perlahan arah itu mulai berubah. Data terbaru menunjukkan transaksi nontunai sudah melampaui 42% atau lebih cepat dari target pemerintah. Fenomena ini menarik karena Jepang pernah dianggap terlambat dibanding Korea Selatan atau Tiongkok.
Kehadiran QRIS di Jepang tidak hanya merepresentasikan sebuah inovasi digital, tetapi juga cara baru diplomasi ekonomi. Selama ini kita terbiasa melihat kerja sama ekonomi antarnegara lewat perjanjian dagang yang rumit.
QRIS menawarkan sesuatu yang berbeda. Ia membuka ruang integrasi yang lebih nyata dan langsung dirasakan masyarakat. Diplomasi ekonomi kini bisa terjadi di meja kasir sebuah toko di Tokyo, ketika turis Indonesia menyelesaikan transaksi hanya dengan satu sentuhan.
Untuk memahami signifikansinya, kita perlu menoleh ke pengalaman ASEAN. Sejak memulai konektivitas dengan Thailand (Agustus 2022), Malaysia (Mei 2023), dan Singapura (November 2023), implementasi QRIS Antarnegara telah menunjukkan hasil yang membanggakan. Hingga Juni 2025, transaksi lintas batas melalui QRIS ke tiga negara itu telah mencapai Rp1,66 triliun.
Dari jumlah tersebut, Malaysia mencatat lebih dari 4,3 juta transaksi senilai Rp1,15 triliun, Thailand hampir satu juta transaksi bernilai Rp437,54 miliar, dan Singapura sekitar 238 ribu transaksi senilai Rp77,06 miliar.
Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan bukti nyata bagaimana sebuah infrastruktur pembayaran mampu menjadi katalis integrasi ekonomi kawasan.
Jepang kini menambahkan simpul penting dalam jaringan ini. Pada 2024, jumlah wisatawan Indonesia ke Jepang mencapai 517 ribu orang, dengan total belanja sebesar USD 698 juta atau setara Rp11 triliun.
Angka ini naik signifikan dari tahun sebelumnya dan diproyeksikan akan terus meningkat. Dengan adanya QRIS Antarnegara, sebagian besar transaksi ini berpotensi berpindah ke jalur digital yang lebih efisien.
Dengan alur berpikir di atas, manfaat QRIS Antarnegara terlihat jelas dari tiga sisi. Pertama, transaksi turis domestik di Jepang menjadi lebih mudah karena menggunakan aplikasi pembayaran dalam negeri.
Kedua, bagi Jepang, langkah ini sejalan dengan agenda mereka membangun cashless society sekaligus memperkuat daya tarik wisata. Ketiga, kerja sama ini meningkatkan posisi Indonesia dalam peta diplomasi ekonomi digital regional.
Tidak hanya itu, diplomasi QRIS Antarnegara menunjukkan bahwa peran bank sentral tidak lagi sebatas pengelola moneter. Ia juga berperan sebagai arsitek ekosistem keuangan digital. Di tengah persaingan global yang makin ketat, faktor kecepatan dan skala jadi kunci.
Negara yang mampu membangun infrastruktur pembayaran lintas batas akan memiliki keunggulan dalam menarik wisatawan, memperkuat perdagangan jasa, dan bahkan meningkatkan daya tarik investasinya. Dan, Indonesia sedang menapaki jalan itu.
Dari sisi makro, keberhasilan QRIS Antarnegara juga mendukung strategi diversifikasi mata uang dalam transaksi internasional. Ketika wisatawan Indonesia dapat bertransaksi dengan konversi langsung Rupiah–Yen, ketergantungan terhadap mata uang asing tertentu sebagai perantara dapat diminimalkan.
Pada gilirannya, langkah ini akan menjadikan arus transaksi menjadi lebih efisien dan mengurangi risiko nilai tukar.
Efisiensi biaya
Secara teoritis, implementasi QRIS Antarnegara bisa dibaca melalui lensa transaction cost economics yang dikemukakan Oliver Williamson. Salah satu fungsi institusi adalah menurunkan biaya transaksi dengan menciptakan kepastian.
QRIS Antarnegara menjalankan fungsi ini dengan sangat baik. Wisatawan Indonesia tidak perlu lagi menanggung biaya kurs yang berlapis atau kerepotan membawa uang tunai dalam jumlah besar.
Merchant di Jepang pun lebih mudah menerima pembayaran dari wisatawan Indonesia tanpa harus terikat kontrak dengan jaringan internasional yang mahal. Alhasil, biaya transaksi bisa dipangkas secara signifikan, serta menciptakan efisiensi yang menguntungkan kedua belah pihak.
Kita juga bisa meminjam perspektif network economics. Nilai sebuah jaringan tidak tumbuh linier, melainkan eksponensial seiring bertambahnya simpul. Konektivitas QR lintas negara di ASEAN—antara Indonesia, Thailand, Malaysia, dan Singapura—sudah membuktikan hal ini.
Wisatawan antarnegara dapat melakukan transaksi lintas batas dengan mudah, sektor pariwisata meningkat, dan UMKM mendapatkan akses ke konsumen baru.
Jepang, sebagai anggota negara G7, menjadi simpul strategis yang memperluas jaringan manfaat tersebut.
Setiap wisatawan baru yang bertransaksi dan setiap merchant yang menerima pembayaran menambah bobot sistem, memperkuat kredibilitasnya, dan menciptakan lingkaran kepercayaan yang semakin luas.
Dengan langkah ini, kehadiran QRIS di Negeri Sakura merupakan batu loncatan strategis untuk menembus pasar baru.
Kisah sukses di Tokyo akan membuka pintu ekspansi ke negara lain seperti Tiongkok, Korea Selatan dan Arab Saudi. Implikasinya, Indonesia semakin menegaskan posisinya sebagai inovator pembayaran digital regional.
Dan yang terpenting, keberhasilan QRIS Antarnegara ke Jepang juga memberi pesan pada dunia. Indonesia mulai tampil sebagai rule-setter yang mampu menawarkan model baru bagi tata kelola pembayaran lintas batas.
Langkah ini memperkuat posisi Indonesia dalam percaturan forum global, termasuk G20 dan Bank for International Settlements (BIS), di mana isu pembayaran lintas batas menjadi agenda strategis.
Artikel ini telah dimuat di KONTAN 6 September 2025

