Perjalanan menuju Indonesia Emas 2045 ibarat pelayaran panjang menuju samudra baru. Kita berlayar dengan arah, kecepatan, dan tujuan. Namun hal yang paling menentukan bukan seberapa cepat kapal itu berjalan, melainkan ke mana ia mengarah.
Karena tanpa arah jelas, samudra yang luas hanya membuat kapal berputar di tempat. Selama kita punya kompas yang tepat, maka arah itu akan tetap jelas.
Dalam dua dekade terakhir, kapal ekonomi Indonesia telah berhasil menempuh lautan globalisasi. Konsumsi rumah tangga, ekspor komoditas, dan pembangunan infrastruktur menjadi mesin penggerak utamanya. Kapal itu sukses berlayar dengan yang baik walau badai global datang silih berganti.
Namun, arah angin kini telah bergeser. Harga komoditas tak lagi stabil, ruang fiskal semakin terbatas, dan produktivitas nasional belum optimal.
Dunia yang kita hadapi hari ini tidak lagi sama dengan dunia yang kita kenal dua dekade lalu. Teknologi digital mengubah lanskap bisnis dan cara manusia bekerja. Akal imitasi, internet of things, dan big data menjadi bahan bakar baru yang menentukan kecepatan ekonomi.
Sementara itu, ketergantungan pada komoditas tidak lagi menjanjikan ketahanan jangka panjang di tengah perubahan iklim global.
Di titik ini, kita dihadapkan pada pertanyaan penting: apakah kompas lama masih cukup akurat untuk menunjukkan arah ke masa depan?
Jawabannya mungkin tidak. Dunia kini tidak bergerak secara linier. Ia berubah secara eksponensial. Kompas lama yang hanya mengandalkan konsumsi dan komoditas tidak lagi mampu membaca medan yang baru. Untuk itu, kita perlu kompas baru bernama ekonomi digital yang mampu merespons perubahan arah angin.
Di masa lalu, nilai ekonomi diciptakan oleh sumber daya fisik. Kini, nilainya muncul dari inovasi dan jaringan. Produk domestik bruto bukan lagi ditentukan oleh berapa luas lahan yang diolah, tapi oleh seberapa cepat data diproses menjadi keputusan.
Ekonomi digital membuat produktivitas tidak lagi bergantung pada jarak dan waktu. Ia memberi ruang bagi semua orang untuk ikut berperan, bahkan dari pelosok yang jauh dari pusat kota.
Transformasi ini sudah tampak di depan mata. Bank Indonesia, misalnya, menavigasi sistem pembayaran digital sebagai fondasi kepercayaan. QRIS bukan sekadar inovasi teknis, melainkan wujud nyata dari visi mendigitalkan Indonesia. Ia tak hanya memudahkan, tapi juga menumbuhkan inklusi.
Setali tiga uang Pemerintah Daerah juga menerapkan sistem pembayaran digital untuk memperkuat transparansi dan akuntabilitas keuangan publik. Di sisi lain, UMKM yang dulu terjebak dalam skala kecil kini bisa menjual produk ke pasar nasional bahkan internasional lewat platform daring.
Ekonomi digital memberi kita kesempatan untuk menulis ulang peta pembangunan. Ia memungkinkan pertumbuhan tanpa harus merusak lingkungan, membuka lapangan kerja tanpa harus menambah beban fiskal, dan memperkuat inklusi tanpa harus menunggu redistribusi.
Nilai ekonomi digital Indonesia mencapai USD90 miliar dan diproyeksikan melonjak hingga USD360 miliar pada 2030.
Mendigitalkan Indonesia bukan sekadar tentang memperluas jaringan 5G atau ledakan jumlah startup. Keduanya penting, tapi esensinya lebih dalam dari itu. Ini tentang bagaimana teknologi menjadi arah baru pembangunan. Tujuan akhirnya adalah menjadi bangsa yang high tech, high touch dan right tech.
High tech berarti kita berani menatap masa depan dengan teknologi mutakhir untuk memacu produktivitas. High touch menempatkan manusia di pusat perubahan.
Sementara right tech mengingatkan bahwa teknologi yang tepat tidak selalu yang paling mahal, tapi justru yang sederhana dan dimengerti oleh rakyat. Sebab itu, digitalisasi adalah tentang seberapa besar manfaat sosial yang bisa kita hasilkan dari teknologi.
Namun kompas tidak pernah bekerja sendiri. Ia memberi arah, tapi sang nahkoda yang menavigasi kapal. Pada titik inilah sinergi kebijakan publik harus menjadi kapten kapal.
Pemerintah perlu memastikan infrastruktur digital menjangkau hingga pelosok, otoritas moneter dan keuangan harus menyeimbangkan inovasi dengan stabilitas, serta dunia usaha perlu menanam investasi bukan hanya pada teknologi, tetapi juga pada manusianya.
Tantangan
Setiap revolusi teknologi selalu membawa paradoks. Di satu sisi, ia membuka peluang baru dan di saat bersamaan ia menciptakan ketimpangan baru. Tantangan terbesar dalam perjalanan menuju Indonesia digital adalah digital divide, yakni kesenjangan antara mereka yang mampu memanfaatkan teknologi dan mereka yang tertinggal.
Yuval Noah Harari, penulis buku Nexus mengatakan “Teknologi hanyalah alat, dan nilai-nilai manusia akan menentukan ke mana alat itu diarahkan.” Pernyataan ini mengingatkan kita bahwa kemajuan digital tidak otomatis membawa kesejahteraan. Tanpa arah yang jelas, teknologi bisa memperlebar jurang, bukan menutupnya.
Data BPS menunjukkan sekitar 27% penduduk Indonesia belum mengakses internet pada 2024. Kesenjangan ini terlihat lebih besar di kawasan timur Indonesia. Di sinilah tantangan terbesar agar digitalisasi tak hanya berhenti di kota besar, tapi juga harus menembus desa, daerah pesisir, dan pegunungan.
Kita perlu memastikan ekonomi digital tidak menjadi ruang eksklusif bagi mereka yang sudah terhubung, tetapi jembatan bagi mereka yang masih tertinggal. Teknologi seharusnya menjadi alat pemerataan kesempatan, bukan penentu siapa yang beruntung.
Pada akhirnya, kita akan menghadapi masa depan yang tak selalu pasti. Ada badai ketimpangan, arus disrupsi, dan kabut ketidakpastian global. Tapi dengan kompas yang jelas, kita bisa menavigasi semua ketidakpastian itu dengan tenang.
Indonesia niscaya mampu menyongsong era keemasan dengan digitalisasi asal kita tahu cara membaca kompasnya.
Artikel ini telah dimuat di BISNIS INDONESIA 7 November 2025

