MENAKAR KELAYAKAN BANK DIGITAL
Diskursus bank digital kian menyita perhatian pelaku industri perbankan. Sejumlah bank kecil tercatat menempuh langkah tersebut untuk bertahan di tengah kompetisi yang semakin ketat.
Transformasi Bank Jago, Bank Neo Commerce dan Bank Digital BCA seolah menegaskan fenomena ini. Harus diakui bank digital adalah sebuah keniscayaan di era revolusi bank 4.0.
Sayangnya penerapan bank digital di Tanah Air masih belum sesuai dengan definisi yang berlaku di tingkat global. Dalam praktiknya, istilah bank digital dikenal luas sebagai neobank atau digital only banks.
Tiga ciri utamanya yaitu layanan keuangan melalui aplikasi digital, tidak memiliki kantor cabang fisik, serta didesain khusus untuk transaksi digital. Beberapa contoh neobank diantaranya Kakao Bank (Korea Selatan), WeBank dan MYbank (Tiongkok), serta Monzo dan Atom (Inggris).
Dengan adanya klausul ketiadaan kantor cabang, bank digital di Indonesia belum sepenuhnya menganut konsep neobank.
Perbedaan penafsiran tersebut disinyalir karena hingga saat ini belum ada payung hukum yang mengatur tentang perbankan digital dalam konteks neobank. Ketentuan eksisting baru mengatur layanan perbankan digital sebagai produk dan belum menyentuh substansi model bisnisnya.
Absennya regulasi neobank nyatanya tidak menyurutkan semangat korporasi raksasa untuk menangkap peluang ini. Menariknya, terdapat kesamaan pola oleh sejumlah bank besar terkait pembentukan bank digital.
Alih-alih melakukan transformasi internal secara langsung, bank besar justru memilih mengubah anak usahanya yang notabene bank kecil menjadi bank digital. Contohnya, BCA lewat Bank Digital BCA dan BRI dengan BRI Agro.
Aksi korporasi ini terbilang rasional. Transformasi bank besar menjadi bank digital bukanlah perkara mudah. Di satu sisi, ekosistem dan infrastruktur fisik yang sudah dibangun menjadi keunggulan kompetitif dalam menghadapi persaingan.
Namun pada saat yang bersamaan, hal ini sekaligus menjadi perangkap untuk melakukan perubahan. Alhasil, keputusan untuk berfokus pada kompetensi inti merupakan sesuatu yang wajar.
BACA JUGA: KENORMALAN BARU BERNAMA BANK DIGITAL
Di samping itu, model bisnis hibrida (campuran bank tradisional dan neobank) yang diusung oleh bank digital domestik juga masih dipertanyakan validitasnya. Diferensiasi antara bank tradisional dan bank digital masih belum tampak jelas.
Apalagi berkaca pada kisah sukses di negara lain, mayoritas bank digital tidak terbentuk dari transformasi bank tradisional. Implikasinya, opsi bank besar berubah menjadi bank digital cukup berisiko.
Di sisi lain, bank kecil justru dinilai lebih lincah dan mudah beradaptasi dengan perubahan. Dengan jumlah pegawai yang lebih sedikit, proses bisnis yang lebih sederhana dan jumlah aset yang relatif minim, bank kecil sangat cocok menjadi proyek percontohan model bisnis bank digital.
Bermodalkan teknologi internet dan talenta digital yang mumpuni, proses transformasi bank kecil tidak akan menemukan kendala yang berarti.
Meskipun bank digital akan menjadi kenormalan baru di masa depan, kehadiran bank tradisional diyakini akan tetap bertahan. Ada tiga alasan yang mendasarinya.
Pertama, bisnis utama jasa perbankan adalah kepercayaan. Akan selalu ada segmen nasabah perbankan yang lebih nyaman dengan layanan tatap muka. Dalam beberapa kasus, nasabah bahkan diwajibkan ke kantor bank karena adanya batasan jenis dan nominal transaksi yang bisa diproses lewat aplikasi digital.
Kedua, bank digital tetap membutuhkan bank tradisional untuk membangun sinergi jangka panjang. Misalnya, kemitraan untuk memanfaatkan jaringan kantor dan mesin ATM yang sudah ada hingga ke pelosok daerah. Upaya ini tentu lebih efisien bagi bank digital daripada harus membangun infrastrukturnya sendiri.
BACA JUGA: BANK DIGITAL ALA STARTUP
Ketiga, eksistensi industri tekfin dompet elektronik dan peer-to-peer lending (P2P) yang telah hadir lebih dahulu nyatanya belum mampu mendisrupsi bank tradisional secara masif. Meskipun industri tekfin tumbuh signifikan dari sisi volume transaksi maupun nilai pinjaman yang disalurkan, perbankan tradisional masih tetap mendominasi industri jasa keuangan. Kondisi yang sama juga akan berlaku bagi bank digital.
Studi Bank Dunia (2020) berjudul “Digital Banks: Lessons from Korea” menyimpulkan hal serupa. Dua bank digital di Korea Selatan, Kakao Bank dan K Bank hanya menguasai 3,7% dari total kredit ritel pada akhir tahun 2019. Walaupun pangsanya terbilang kecil, rata-rata pertumbuhan tahunan kredit ritel Kakao Bank bahkan bisa mencapai dua kali lipat.
Berangkat dari sejumlah argumentasi di atas, bank digital diprediksi akan menjamur dalam jangka menengah, namun dengan skala usaha terbatas. Kita mungkin belum akan menyaksikan satu bank digital yang menjadi game changer industri perbankan dalam waktu dekat.
Dua kondisi prasyarat agar bank digital bertumbuh pesat. Pergeseran pola pikir dari transformasi layanan digital ke transformasi institusi digital, serta adanya stimulus dari sisi regulasi yang mampu merangsang inovasi oleh pelaku bank digital.
Artikel ini telah dimuat di Harian KORAN TEMPO 16 Februari 2021