Kehadiran revolusi industri keempat yang sedang berlangsung saat ini memang menimbulkan pro kontra di tengah masyarakat.
Di satu sisi, sebagian masyarakat berpendapat bahwa kemajuan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence) di sektor industri merupakan sebuah keniscayaan yang tidak dapat dibendung, namun tidak dapat dipungkiri pula bahwa revolusi industri ini justru menjadi ancaman pengangguran massal di masa depan.
Perdebatan ini sebenarnya bukanlah hal yang baru jika menelisik sejarah revolusi industri sejak dua abad silam. Revolusi industri pertama ditandai oleh penemuan mesin uap di Inggris pada abad ke-18.
Di era ini tenaga manusia yang awalnya menjadi tumpuan utama perekonomian sebuah negara sedikit demi sedikit mulai tergantikan oleh mesin.
Struktur ekonomi yang dulunya didominasi sektor agraris pun ikut beralih ke sektor manufaktur. Kemunculan kota-kota industri dan fenomena urbanisasi menjadi tanda perekonomian tumbuh signifikan kala itu.
Kemunculan pembangkit listrik di abad ke-19 menjadi penanda dimulainya revolusi industri kedua. Penemuan ini kemudian memicu berkembangnya sistem jalur perakitan (assembly line) sehingga tercipta proses produksi transportasi secara massal.
BACA JUGA: KENORMALAN BARU BERNAMA BANK DIGITAL
Revolusi industri lalu berlanjut ke generasi ketiga di akhir abad ke-20 seiring dengan penggunaan internet yang merubah cara masyarakat berbisnis dan berkomunikasi.
Selanjutnya, internet yang semula hanya digunakan untuk mencari informasi dan berkirim pesan telah bertransformasi menjadi internet of things, self-driving car dan robot. Era revolusi industri keempat kini sudah di depan mata kita.
Merupakan sebuah kewajaran ketika isu ketenagakerjaan kerap muncul di setiap tahap revolusi industri. Kehadiran mesin, digitalisasi dan robot akan mendisrupsi peran manusia di dalamnya.
Kejadian terakhir yang tentu masih lekat dalam benak kita adalah kekhawatiran para pekerja jalan tol pasca implementasi kewajiban transaksi non tunai. Keberadaan kasir di setiap ruas jalan tol kini tidak lagi diperlukan semenjak kewajiban penggunaan kartu elektronik sebagai alat pembayaran diberlakukan.
Industri perbankan menjadi salah contoh industri yang paling sering menghadapi isu ketenagakerjaan akibat kemajuan teknologi. Jika dulu kantor bank dipenuhi antrian nasabah untuk menarik/menyetor uang, serta melakukan transfer, maka saat ini nasabah cukup melakukannya di mesin ATM.
Bahkan, sebagian jenis transaksi bank sudah bisa dilakukan nasabah di rumah melalui aplikasi mobile banking atau internet banking. Praktis, perbankan tidak perlu lagi mempekerjakan banyak petugas teller dan customer service.
Kelahiran teknologi finansial atau lebih dikenal dengan fintech (financial technology) diprediksi turut merubah wajah perbankan beberapa tahun mendatang.
Dengan skema Peer-to-Peer (P2P) Lending, masyarakat kini dapat memperoleh pembiayaan tanpa harus berinteraksi langsung dengan petugas bank. Cukup mengakses situs penyedia jasa P2P Lending, maka dalam hitungan jam uang pinjaman sudah diterima debitur.
Dengan proses jauh lebih cepat dan lebih mudah dibandingkan lembaga keuangan formal, tidak heran jika sebagian pengamat berpendapat era kepunahan karyawan bank akan dimulai akibat fintech.
Meskipun terkesan hiperbola, namun ancaman ini bisa saja benar-benar terjadi jika perbankan tidak siap menghadapi perubahan yang sedang berlangsung.
Secara perhitungan matematis untung rugi, penggunaan robot dalam industri manufaktur berdampak sangat signifikan terhadap efisiensi biaya.
Selain bisa dioperasikan selama 24 jam tanpa henti, para pengusaha juga tidak perlu dipusingkan dengan kenaikan biaya upah buruh setiap tahunnya, serta demo pekerja yang berdampak pada tingkat produktifitas.
Pada akhirnya, para konsumen akan menjadi pihak yang paling diuntungkan dari penggunaan robot. Dengan biaya produksi yang semakin efisien, beban harga yang harus dibayarkan konsumen untuk membeli barang juga akan semakin murah.
Namun kenyataannya tentu tidaklah sesederhana perhitungan matematis di atas. Indonesia akan memasuki periode bonus demografi pada 2030. Bonus demografi ditandai dengan jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) yang mencapai 70% terhadap total angkatan kerja.
BACA JUGA: MUSIM SEMI INDUSTRI TEKFIN
Ibarat pedang bermata dua, bonus demografi sendiri dapat dimaknai sebagai bonus dalam arti sebenarnya atau justru dapat berbalik menjadi kutukan.
Bonus demografi pada hakekatnya merupakan bahan bakar pertumbuhan ekonomi untuk berputar semakin kencang. Bermodalkan jumlah penduduk usia produktif yang besar, berbagai proyek pembangunan skala besar yang dicanangkan pemerintah niscaya dapat direalisasikan.
Di lain pihak, bonus demografi yang tidak dikekola secara cermat justru akan menjadi beban pemerintah. Tingkat pengangguran yang tinggi berpotensi menjadi pemicu tingginya tingkat kriminalitas.
Tren pekerjaan masa depan
Kabar baiknya ialah kehadiran revolusi industri keempat tidak sepenuhnya berdampak negatif seperti yang dikhawatirkan sebelumnya. World Economic Forum memprediksi empat isu yang akan yang akan mempengaruhi pekerjaan di masa depan.
Pertama, kecerdasan buatan dan robot akan menciptakan lebih banyak pekerjaan, bukan pengangguran massal. Memang benar bahwa otomatisasi akan menyebabkan hilangnya beberapa pekerjaan, namun di sisi lain hal ini justru membawa peluang pekerjaan baru di bidang yang lain.
Dalam buku “The Fourth Industry Revolution”, Klaus Schwab menyatakan bahwa revolusi industri akan selalu membawa dua imbas utama yang saling berlawanan atau set-off, yaitu destruction effect dan capitalization effect. Destruction effect timbul sebagai dampak disrupsi teknologi dan otomatisasi yang mensubstitusi kebutuhan tenaga kerja.
Di lain pihak, capitalization effect dideskripsikan sebagai dampak atas meningkatkan permintaan barang dan jasa baru yang pada akhirnya akan menciptakan lapangan kerja yang baru di industri yang baru.
Manusia memang diciptakan dengan kemampuan untuk beradaptasi. Namun pertanyaan besarnya ialah seberapa cepat keahlian manusia dapat beradaptasi dengan kebutuhan industri yang baru.
Para ahli ekonomi percaya bahwa yang terjadi di masa depan bukan kurangnya lowongan pekerjaan, tapi kurangnya kemampuan yang sesuai dengan jenis pekerjaan di masa depan.
Kedua, setiap kota akan saling berkompetisi memperebutkan sumber daya manusia dengan talenta terbaik. Persaingan untuk mendapatkan talenta terbaik tidak lagi berlangsung hanya antar perusahaan saja, namun akan meningkat menjadi antar kota.
Seiring dengan perkembangan teknologi yang memungkinkan bekerja dari jarak jauh, masyarakat akan lebih memilih untuk tinggal di kota yang ramah teknologi ketimbang tempat terdekat dengan kantor.
Ketiga, sebagian besar tenaga kerja negara maju akan menjadi pekerja bebas (freelance) sebelum 2027. Para pekerja freelance ini akan didominasi oleh generasi milenial.
Di sisi lain, perusahaan-perusahaan dipercaya akan lebih memilih merekrut para pekerja freelance dibandingkan pekerja tetap untuk mengisi kekosongan talenta (talent gap) yang mereka butuhkan.
Keempat, sistem pendidikan berubah dari pendekatan parsial menjadi holistik. Pelajaran matematika, seni dan ilmu pengetahuan yang selama ini dipandang sebagai disiplin ilmu yang terpisah dinilai sudah tidak relevan dalam mengisi kebutuhan kompetensi pekerjaan di masa depan.
BACA JUGA: MEMFORMAT ULANG EKONOMI DIGITAL
Sekolah-sekolah akan mulai mengadopsi kurikulum berbasis tugas (project-based curriculum) sebagai jembatan untuk meruntuhkan sekat-sekat yang selama ini menjadi penghalang generasi berpikir kreatif.
Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang? Alih-alih menjadi penonton dan korban disrupsi teknologi, generasi muda harus mulai dipersiapkan menjadi pelaku utama revolusi industri keempat. Jack Ma, pendiri Alibaba Group, mengatakan bahasa pemrograman (coding) akan menjadi bahasa masa depan.
Globalisasi tidak hanya sekedar menuntut generasi muda untuk dapat berbahasa asing saja, namun juga menguasai cara pembuatan aplikasi komputer dan smartphone. Sederhananya, kids zaman now harus dididik menjadi calon technopreneur di masa depan.
Artikel ini telah dimuat di Harian INVESTOR DAILY 16 Desember 2017