MUSIM SEMI INDUSTRI TEKFIN

Jul 14, 2020 | Articles on Media

Topik teknologi finansial(tekfin) kembali menyedot perhatian masyarakat internasional. Di sela-sela Pertemuan Tahunan IMF-World Bank 2018, sebuah kerangka regulasi bertajuk Bali Fintech Agenda digagas untuk mendukung kemajuan industri tekfin.

Momentum kehadiran kerangka regulasi ini dinilai sudah tepat di tengah tren transaksi tekfin yang kian membumbung tinggi. Meminjam analogi Presiden Jokowi, industri tekfin ibarat sedang menikmati musim semi di saat ekonomi dunia mengalami musim dingin.

Terang saja tatkala problematika proteksionisme negara maju berpotensi menyurutkan pertumbuhan ekonomi, kinerja industri tekfin malah melaju kencang.

Otoritas Jasa Keuangan mencatat jumlah pinjaman yang disalurkan oleh Peer to Peer (P2P) lending per Agustus 2018 sebesar Rp10 triliun. Nilai tersebut melonjak 291% dibandingkan akhir Desember 2017 yang baru mencapai Rp2,56 triliun. Jumlah pelaku usaha di bidang ini tercatat 64 perusahaan, naik dua kali lipat dibandingkan Januari 2018 sebanyak 32 perusahaan.

BACA JUGA: MENGUKUR PASAR FINTECH ASEAN

Kondisi serupa juga terlihat pada tekfin pembayaran. Berdasarkan statistik Bank Indonesia (BI), nilai transaksi jenis tekfin ini pada 2017 mencapai US$ 18,65 miliar (Rp251,78 triliun), meningkat 24,17% dari tahun sebelumnya sebesar US$ 15,02 miliar (Rp202,77 triliun). Asosiasi Fintech Indonesia memperkirakan nilai tersebut akan tumbuh hampir 100% hingga 2021 dengan capaian US$ 36,6 miliar.

Penetrasi cepat

Proyeksi tersebut seakan mengkonfirmasi kajian Morgan Stanley. Dalam laporan riset berjudul “Disruption Decode, Indonesia Banks: Fintech Unicorns Vs Bank Giants”, Morgan Stanley memprediksi penetrasi uang elektronik di Indonesia bakal meningkat dari saat ini sebesar 2% menjadi 24%  pada 2027. Kemunculan media pembayaran nontradisional ditengarai sebagai pemicu utamanya.

Pesatnya perkembangan tekfin tidak terlepas dari isu inklusi keuangan global. Direktur Pelaksana IMF, Christine Lagarde mengatakan keberadaan tekfin dipercaya mampu menekan angka kemiskinan. Pasalnya industri ini akan mendorong penyediaan akses layanan keuangan bagi 1,7 miliar masyarakat dunia yang belum terhubung dengan perbankan.

Dari dalam negeri, hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan 2016 menunjukkan indeks inklusi keuangan di Indonesia baru mencapai 67,82%. Artinya, baru 67 orang dari 100 penduduk yang memiliki akses terhadap produk dan jasa layanan keuangan formal.

Kalangan ekonom berpendapat rendahnya tingkat inklusi keuangan Indonesia menjadi cermin besarnya potensi pengembangan industri tekfin di masa depan. Dari perspektif makroekonomi, keberadaan tekfin turut berkontribusi positif terhadap roda ekonomi sebuah negara.

BACA JUGA: ADU KUAT TEKFIN PEMBAYARAN

Studi McKinsey menyebut keuangan digital dapat meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) negara berkembang sebesar 6% atau sekitar USD 3,7 triliun pada tahun 2025. Kenaikan PDB tersebut akan menciptakan 95 juta lapangan pekerjaan baru di semua sektor ekonomi.

Sementara itu, asesmen Bank Indonesia menunjukkan agar perekonomian Indonesia tumbuh 6%, dibutuhkan pertumbuhan kredit sebesar 16%.

Apabila hanya mengandalkan pembiayaan secara konvensional, kontribusi paling optimal yang diperoleh hanya sebesar 13,5%. Gap pembiayaan sebesar 2,5% dapat ditutup oleh penyaluran kredit secara digital yang dikelola pelaku jasa tekfin.

Mencermati situasi terkini, terdapat satu fenomena unik di bidang ekonomi digital yang tengah berkembang. Sejumlah korporasi teknologi sedang melirik peluang bisnis tekfin, meskipun di luar kompetensi intinya.

Samsung dan Apple misalnya. Sebagai raksasa produsen produk elektronik, keduanya mengembangkan instrumen pembayaran berlabel Samsung Pay dan Apple Pay.

Dari dalam negeri, nama Go Pay, Toko Cash dan Buka Dompet pasti sudah tidak asing di telinga kita. Ketiganya terbentuk dari usaha rintisan di bidang teknologi penyedia jasa transportasi dan platform jual beli.

Fungsi uang elektronik tersebut kini telah bergeser dari sekedar memudahkan pembayaran transaksi bisnis inti menjadi payment of things. Sebut saja, pembayaran tagihan PLN, BPJS, pembelian pulsa, dan lainnya.

BACA JUGA: MEMBERANTAS TEKFIN ILEGAL

GO-JEK bahkan secara khusus mengakuisisi tiga pelaku tekfin pembayaran pada Desember 2017, yakni Kartuku, Midtrans dan Mapan.

Manajemen GO-JEK menegaskan aksi korporasi tersebut menandai lompatan besar GO-JEK dari layanan aplikasi ride-hailing menjadi teknologi multi platform yang akan memimpin layanan pembayaran digital di Indonesia.

Evolusi

Jika pola ini terus berlangsung, besar kemungkinan layanan ini akan berevolusi menjadi tekfin P2P lending di masa depan. Hipotesa tersebut tidak terlepas dari competitive advantage yang dimiliki oleh pelaku usaha rintisan.

Mari tengok aplikasi penyedia jasa transportasi sebagai contoh. Dengan bantuan big data dan kecerdasan buatan, usaha rintisan ini dapat mengembangkan sebuah sistem credit scoring yang lebih akurat dibandingkan milik perbankan.

Kebutuhan data dasar mengenai jumlah penghasilan dan pola transaksi penarikan saldo tercatat dengan rapi dan lengkap oleh sistem. Artinya, usaha rintisan dapat dengan mudah mengevaluasi kemampuan membayar mitra pengemudinya sehingga potensi terjadinya kredit macet dapat diminimalkan.

Praktik ini sudah dapat kita saksikan pada salah satu gurita bisnis grup Alibaba, Ant Financial. Perusahaan ini dulu lebih banyak dikenal dengan brand Alipay sebagai penyedia platform pembayaran.

Seiring waktu berjalan, Ant Financial lalu melebarkan sayapnya ke usaha pemberian pinjaman kepada UMKM Tiongkok di bawah bendera Ant Micro Loan.

Menarik untuk kemudian menyimak apakah Unicorn Indonesia akan mengikuti langkah serupa seperti Alibaba. Jika ya, maka musim semi industri tekfin Tanah Air nampaknya masih akan berlangsung cukup lama.

Namun, pelaku usaha dan regulator seyogyanya tidak boleh terlena. Permasalahan industri P2P lending di Tiongkok dapat memberikan sebuah pelajaran berharga. Prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan usaha dan pengawasan wajib dikedepankan sebagaimana amanat Bali Fintech Agenda.

Artikel ini telah dimuat di Harian BISNIS INDONESIA 25 Oktober 2018

Remon Samora

Remon Samora

I am a digital economy enthusiast, especially financial technology. Writing article for media is my side activity besides working as central bankers. I believe everyone must be 1% Better every single day in order to become the best version of ourself.

Social Media

Remon Samora

@remon.samora