MEMBERANTAS TEKFIN ILEGAL

Jul 14, 2020 | Articles on Media

Polemik teknologi finansial (tekfin) ilegal bisa diibaratkan bak cendawan di musim hujan. Ada pula yang  menganalogikannya dengan peribahasa “mati satu tumbuh seribu”. Ia memang akan selalu bertumbuh subur, meskipun terus diberantas.

Buktinya Satuan Tugas Waspada Investasi mengumumkan telah memblokir 297 pemain tekfin ilegal sepanjang Oktober 2019. Apabila diakumulasi sejak tahun 2018, total ada 1.773 pemain tekfin ilegal yang telah diblokir.

Angka tersebut ekuivalen dengan 13 kali lipat jumlah pemain tekfin legal. Mengutip situs Otoritas Jasa Keuangan (OJK), terdapat 13 tekfin berizin dan 114 tekfin terdaftar per September 2019.

Langkah pemberantasan tekfin ilegal memang telah menjadi diskursus hangat sejak setahun silam. Belum adanya ramuan mujarab untuk menjerat para pelakunya disinyalir sebagai salah satu pemicunya.

Apalagi penindakan yang selama ini berlangsung terkesan seperti bermain kucing-kucingan. Tatkala satu aplikasi atau situs pinjaman daring ditutup, media serupa dengan nama berbeda akan muncul kembali oleh oknum yang sama.

Sejumlah persoalan yang mengancam nasabah terbungkus rapi dibalut oleh kemudahan tekfin ilegal memberi pinjaman. Maraknya kasus penyalahgunaan data nasabah, cara penagihan tidak beretika, serta tingginya suku bunga pinjaman merupakan sebagian contoh kecil diantaranya.

Lembaga Bantuan Hukum Jakarta mencatat ada 4.500 aduan terkait permasalahan ini per Juni 2019.

BACA JUGA: MEMBERANGUS PRAKTIK FINTECH ILEGAL

Kehadiran tekfin ilegal nyatanya turut berimplikasi negatif terhadap industri pinjaman daring. Reputasi positif yang dibangun asosiasi pemain tekfin bersama regulator sedang dipertaruhkan akibat ulah nakal oknum tersebut.

Stigma negatif oleh sebagian masyarakat yang menjadi korban boleh jadi akan membebani industri ini dalam jangka panjang.

Rendahnya tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia turut menyumbang problematika dari sisi permintaan. Hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan menunjukkan Indeks Inklusi Keuangan di Indonesia baru mencapai 67,8 persen. Sayangnya hanya 29,6 persen masyarakat yang telah melek keuangan.

Artinya, baru 29 dari 100 penduduk Indonesia yang memahami produk dan jasa keuangan dengan baik.

Kondisi tersebut bertambah pelik lantaran fenomena sosial yang sedang menjangkiti masyarakat modern. Misalnya, dorongan pencitraan diri di media sosial yang berujung pada gaya hidup konsumtif di atas kemampuan finansial.

Tak heran hasrat ‘besar pasak daripada tiang’ bertemu dengan literasi keuangan yang rendah lantas menjerumuskan seseorang dalam perangkap tekfin ilegal.

Berangkat dari argumentasi di atas, sejatinya kehadiran Undang-Undang tentang tekfin menjadi sebuah kebutuhan yang mendesak. Peraturan OJK No. 77/POJK.01/2016 sebagai payung hukum industri pinjaman daring dinilai masih belum cukup kuat.

BACA JUGA: MENGALKULASI RISIKO LIBRA FACEBOOK

Pasalnya sanksi yang diatur dalam ketentuan ini hanya berupa peringatan tertulis, denda, pembatasan kegiatan usaha, dan pencabutan izin. Di sisi lain, sanksi pidana yang diatur dalam UU diyakini justru mampu memberikan efek jera bagi pelaku.

Solusi lewat UU tekfin memang terbilang efektif di atas kertas. Namun, harus disadari pula bahwa produk hukum tersebut masih memerlukan jalan panjang sebelum diterbitkan. Praktis saat ini dibutuhkan sejumlah upaya konkrit lain untuk membatasi, jikalau tidak bisa menutup, ruang gerak pemain tekfin ilegal.

Pertama, melarang perbankan untuk memproses pembukaan rekening tekfin ilegal. Tanpa adanya saluran transfer uang, operasional tekfin ilegal akan terhenti dengan sendirinya. Tapi, bukan tekfin ilegal namanya jika tidak mampu mengakali cara ini.

Penggunaan rekening pribadi bakal menjadi modus utama yang digunakan oleh pelaku ke depannya. Pada titik inilah perbankan dituntut untuk meningkatkan proses Know Your Customer (KYC) atas aktivitas nasabahnya.

Kedua, larangan yang sama seyogyanya diamanatkan pula kepada penerbit uang elektronik bukan bank.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa uang elektronik merupakan sarana alternatif pengganti fungsi rekening tabungan bank. Apalagi proses KYC oleh penerbit uang elektronik bukan bank cenderung lebih longgar ketimbang perbankan.

Dalam praktiknya, beberapa pemain tekfin ilegal sudah memanfaatkan media ini sebagai kamuflase. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah basis data terintegrasi yang memudahkan perbankan dan penerbit uang elektronik bukan bank untuk mengidentifikasi pihak-pihak yang patut dicurigai.

Sinergitas regulator dan aparat penegak hukum memegang peranan penting dalam menelusuri dan menyusun basis data tersebut.

BACA JUGA: MENGUKUR SEPAK TERJANG SUPER-FINTECH

Ketiga, edukasi konsumen menjadi kata kunci terakhir yang tidak boleh dilupakan. Pemerintah bersama lembaga otoritas lainnya secara berkala telah melakukan edukasi kepada masyarakat. Namun, perlu ditekankan bahwa tugas ini bukan milik regulator semata.

Pemain tekfin legal juga memiliki tanggung jawab moral untuk melakukan hal serupa. Dengan edukasi yang intensif, pamor tekfin ilegal akan meredup secara otomatis.

Memberantas tekfin ilegal memang bukanlah perkara mudah. Tanpa ada langkah preventif yang terstruktur, sistematis dan masif, jangan heran bila pemain tekfin ilegal akan selalu satu langkah di depan.

Artikel ini telah dimuat di Harian KORAN TEMPO 8 November 2019

Remon Samora

Remon Samora

I am a digital economy enthusiast, especially financial technology. Writing article for media is my side activity besides working as central bankers. I believe everyone must be 1% Better every single day in order to become the best version of ourself.

Social Media

Remon Samora

@remon.samora