Gelombang penolakan terhadap rencana penerbitan mata uang kripto milik Facebook, Libra nampaknya masih belum menemukan titik akhir. Aplikasi besutan miliarder Mark Zuckerbeg ini terus mendapat kecaman dari banyak pihak atas kontroversi yang telah ditimbulkan.
Pada awal pasca pengumuman, para petinggi otoritas keuangan internasional beramai-ramai merespon negatif aksi korporasi tersebut. Bank for International Settlement menyatakan adopsi mata uang digital di luar sistem keuangan berpotensi mengurangi persaingan bahkan menciptakan masalah privasi data.
Terkini, giliran parlemen Amerika Serikat yang dikabarkan baru saja mengirimkan surat resmi permintaan penghentian sementara pengembangan proyek yang melibatkan 28 lembaga jasa finansial tersebut.
Dalam isi suratnya, wakil rakyat Negeri Paman Sam menyebut kehadiran Libra dinilai berpotensi menimbulkan risiko sistemik yang dapat menganggu kestabilan sistem keuangan dunia. Pasalnya belum ada sistem pengawasan yang memadai atas industri ini.
Jauh sebelum Libra diperkenalkan ke publik, kekosongan regulasi global atas mata uang kripto telah menjadi topik hangat yang belum ada jawabannya hingga saat ini.
Kekhawatiran tersebut tentu sangatlah beralasan. Krisis keuangan satu dekade silam juga bermula dari sektor ekonomi yang belum diatur oleh otoritas. Selain itu, kerawanan ini juga membuka celah ekploitasi yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan.
BACA JUGA: KARTU KREDIT DI TUBUH BIROKRASI. MENGAPA TIDAK?
Berkaca dari kasus Bitcoin yang mencuat sebelumnya, produk mata uang kripto pada umumnya memang menyimpan sejumlah risiko bawaan (inherent risk).
Sebagai contoh, tidak adanya underlying asset yang mendasari harga, serta nilai perdagangan yang sangat fluktuatif menyebabkan mata uang kripto rentan terhadap risiko penggelembungan (bubble) yang pada akhirnya dapat mempengaruhi kestabilan sistem keuangan.
Permasalahan lain yang tidak kalah substantifnya ialah isu penggunaan mata uang kripto sebagai sarana pencucian uang dan pendanaan terorisme.
Mekanisme transfer yang tidak melewati institusi formal menyebabkan monitoring transaksi tidak dapat dilakukan dan pelaku tidak teridentifikasi (pseudonimity). Apalagi belum ada regulasi maupun otoritas yang menaunginya sehingga memicu persoalan perlindungan konsumen.
Seakan belajar dari kelemahan pendahulunya, Libra dikabarkan telah menyiapkan sejumlah jurus pamungkas agar keberadaannya bisa diterima oleh regulator secara global.
Untuk menjaga kestabilan nilai tukarnya, Libra akan dipatok ke berbagai jenis aset keuangan mulai dari mata uang negara maju, deposito bank hingga surat berharga pemerintah jangka pendek.
Terkait pencegahan tindak pencucian uang, Facebook diklaim akan menggunakan sistem verifikasi dan anti-fraud seperti yang digunakan perbankan dan perusahaan kartu kredit. Di samping itu, Facebook ini juga memiliki sistem otomatis yang memonitor aktivitas pengguna untuk mendeteksi dan mencegah penyalahgunaan.
Sebagian pihak meyakini kelebihan fitur tersebut akan menjadi cikal bakal eksistensi Libra untuk menggantikan posisi mata uang konvensional. Apalagi Libra menawarkan kepraktisan bertransaksi dan transfer uang semudah mengirim pesan tanpa biaya. Dengan asumsi skenario tersebut berjalan sesuai rencana, akankah hipotesa ini bisa terealisasi?
Dipandang dari perspektif legal formal, jawabannya pasti tidak mungkin. Dalam konteks Indonesia misalnya. UU Mata Uang mengamanatkan bahwa satu-satunya alat pembayaran yang sah dan berlaku di Tanah Air adalah Rupiah.
Bank Indonesia selaku otoritas sistem pembayaran juga telah melarang seluruh penyelenggara jasa sistem pembayaran untuk memproses transaksi pembayaran dengan mata uang kripto. Artinya, sepanjang tidak dilakukan amandemen terhadap regulasi, mata uang konvensional seperti Rupiah tetap akan berlaku.
Aspek soliditas
Soliditas nilai tukar sebagaimana yang dijanjikan Libra pada kenyataanya belum dapat sepenuhnya menyelesaikan problematika risiko stabilitas sistem keungan. Dengan masifnya jumlah pengguna aktif Facebook setiap bulan yang mencapai 2,4 miliar akun, gangguan yang mungkin ditimbulkan Libra tentu tidak bisa dianggap remeh.
Harus diakui sepak terjang korporasi teknologi raksasa atau yang dikenal bigtech seperti Facebook di bidang inovasi keuangan digital telah menjadi sorotan. Hasil asesmen Financial Stability Board (FSB) menunjukkan ancaman sistemik di masa depan bersumber bukan dari fintech (financial technology), tapi bigtech.
BACA JUGA: EKSPANSI AKSES KEUANGAN PENJALA
Dibandingkan pemain usaha rintisan fintech, bigtech memiliki keunggulan tersendiri. Akses terhadap data konsumen memberikan kemudahan dalam menawarkan personalisasi layanan keuangan yang sesuai kebutuhan konsumen.
Di sisi lain, pundi-pundi modal berlimpah turut mendukung skalabilitas penyediaan layanan keuangan. Tak ayal bigtech dinilai memiliki kemampuan melakukan unbundling of financial services yang cukup signifikan sehingga berpotensi menjadi kompetitor perbankan.
Prinsip serupa juga berlaku untuk Libra. Menurut kalkulasi media internasional The Economist, apabila setiap penabung di Amerika memindahkan sepuluh persen dari simpanan bank mereka ke akun Libra, maka total dana yang terkumpul diperkirakan bisa mencapai lebih dari US$ 2 triliun.
Angka ini sudah cukup untuk menempatkan Libra sebagai pemain utama di pasar obligasi.
Sementara dari sisi perbankan, penurunan dana pihak ketiga tersebut akan berimbas pada penyusutan nilai kredit. Konsekuensi logisnya sumber dana murah tergerus, suku bunga pinjaman membengkak dan pada akhirnya akan menyurutkan daya saing perbankan.
Bagi negara berkembang, kemudahan pergerakan aliran uang lintas negara melalui Libra justru akan berdampak buruk bagi perekonomian dengan karakteristik defisit transaksi berjalan.
Pada tataran lebih teknis, spekulasi atas spesifikasi Libra masih menyisakan banyak pertanyaan kritis. Misalnya, terkait nilai tukar Libra yang disokong berbagai aset keuangan yang disimpan dalam cadangan Libra.
Menjadi bahan diskursus menarik, apa yang akan terjadi jika terdapat tindak pencurian atau pembobolan ke dalam sistem cadangan Libra? Sejauh mana implikasinya terhadap nilai tukar yang telah dipatok?
Bukan rahasia umum lagi bahwa kasus kejahatan siber terhadap mata uang kripto sudah marak terjadi sebelumnya. Tanpa disertai jaminan keamanan tingkat tinggi, skandal keuangan digital terbesar mungkin saja terjadi.
BACA JUGA: METAVERSE DAN MASA DEPAN UANG
Apalagi masih terngiang jelas dalam benak publik kasus kebocoran data akun pengguna Facebook atau lebih populer dengan sebutan Cambridge Analytica yang masih meninggalkan jejak keraguan. Wajar saja jika sebagian pihak kemudian mempersepsikan Libra tidak ubahnya dengan mata uang kripto yang lain.
Terlepas dari pro dan kontra yang membayangi pemberitaan Libra, fenomena ini seakan membangkitkan kembali wacana mata uang digital bank sentral atau Central Bank Digital Currency (CBDC) yang sempat meredup.
Dengan memanfaatkan teknologi blockchain, sejumlah bank sentral tengah melakukan kajian rekayasa ulang atas mata uang konvensional. Meskipun masih butuh waktu cukup lama, CBDC bisa jadi akan lebih mempersulit peluang kelahiran Libra dan mata uang kripto lainnya.
Artikel ini telah dimuat di Harian BISNIS INDONESIA 19 Juli 2019