EKSPANSI AKSES KEUANGAN PENJALA

Jul 14, 2020 | Articles on Media

Gemah ripah loh jinawi. Demikian ungkapan yang menggambarkan sumber daya alam melimpah yang dimiliki Indonesia. Sebagai negara maritim terbesar di dunia, sektor kelautan Indonesia menyimpan kekayaan bawah laut yang luar biasa.

Namun sayangnya, kondisi ini tersebut tidak berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir yang cenderung rendah. Kaya, namun kurang berdaya. Mungkin inilah paradoks yang dapat mendeskripsikan wajah nelayan kita dewasa ini.

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mencatat potensi kelautan Indonesia diperkirakan mencapai US$1,2 triliun per tahun dengan penyerapan tenaga kerja sekitar 60 juta orang. Sementara itu, Rencana Strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2015-2019 menunjukkan rata-rata kenaikan volume produksi perikanan tangkap sebesar 4,52% per tahun selama periode 2010-2014.

Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti sempat mengklaim neraca perdagangan perikanan Indonesia melonjak dalam tiga tahun terakhir, bahkan tercatat sebagai yang tertinggi di Asia Tenggara.

Di balik pencapaian tersebut, ironisnya jumlah masyarakat miskin di wilayah pesisir dapat dikategorikan cukup tinggi. Badan Pusat Statistik pada September 2017 merilis data jumlah nelayan miskin berkontribusi sekitar 20% dari total penduduk miskin di tanah air atau sekitar 5,2 juta orang.

Bank Dunia menetapkan jumlah pendapatan nelayan di Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan sebesar Rp520.000 per bulan.

BACA JUGA: INVESTASI LANGSUNG ASING MEREDUP, ADA APA?

Salah satu pendekatan untuk mengatasi isu kemiskinan tersebut ialah mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkualitas melalui perluasan akses jasa keuangan kepada kelompok nelayan.

Banyak penelitian telah menyimpulkan implikasi positif  perluasan akses jasa keuangan terhadap upaya pengentasan kemiskinan. Semakin banyak masyarakat yang menggunakan jasa keuangan, semakin rendah tingkat kemiskinan suatu daerah.

Logikanya, tatkala masyarakat nelayan/pesisir mulai memahami dan memanfaatkan jasa keuangan, kesadaran dan kemampuan masyarakat untuk mengelola risiko keuangan di masa depan juga semakin baik.

Tantangan yang saat ini dihadapi ialah masih banyak masyarakat Indonesia umumnya yang belum memiliki akses kepada lembaga keuangan. Survei Bank Dunia menunjukkan bahwa 26,9% perusahaan di tingkat global mengeluhkan kesulitan akses keuangan.

Khusus di Indonesia, baru 20% pelaku UMKM yang mendapat pembiayaan dari perbankan. Sementara itu, hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan 2016 menunjukkan Indeks Inklusi Keuangan (IIK) di Indonesia baru mencapai 67,82%.

Artinya, baru 67 orang dari 100 penduduk Indonesia yang memiliki akses terhadap produk dan jasa layanan keuangan formal.

Masyarakat di wilayah pesisir disinyalir memiliki IIK yang lebih rendah ketimbang nasional. Hasil kajian Bank Indonesia menunjukkan permasalahan ini berasal dari dua sumber.

Dari sisi permintaan, hambatan yang dialami masyarakat pesisir ialah keterbatasan pengetahuan terkait layanan perbankan, persepsi buruk perihal persyaratan menjadi nasabah bank, perilaku konsumtif, kemampuan pengelolaan keuangan yang rendah, ketidakpastian penghasilan, serta stigma negatif dimana umumnya debitur tidak memanfaatkan dananya untuk kebutuhan usaha.

BACA JUGA: 2018, SUKU BUNGA BANK TURUN. MUNGKINKAH?

Sementara dari sisi penawaran, beberapa kendala yang dihadapi perbankan adalah jadwal operasional perbankan tidak sesuai dengan jadwal usaha masyarakat pesisir, lokasi bank yang jauh dari wilayah tempat tinggal, serta belum adanya skema pembiayaan yang sesuai untuk masyarakat pesisir, seperti mempertimbangkan grace period saat musim tidak melaut.

Terang saja apabila perbankan lebih memilih menyalurkan pembiayaan ke sektor lain yang lebih aman ketimbang sektor perikanan.

Buktinya kredit UMKM di sektor perikanan per Januari 2018 sebesar Rp5,8 triliun atau 0,68% dari total kredit UMKM. Kredit UMKM di sektor ini juga memiliki rasio kredit macet (non performing loan) cukup tinggi, yaitu 3,60%.

Skema pembiayaan

Dalam rangka mengurai persoalan ini, Bank Indonesia bekerja sama dengan International Fund for Agricultural Development (IFDA) melakukan proyek percontohan (pilot project) pembiayaan kepada kelompok nelayan di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.

Dalam implementasinya, Bank Indonesia mencoba mengidentifikasi praktik terbaik pembiayaan serupa di Tiongkok dan Filipina. Skema pembiayaan yang ditawarkan ialah pinjaman tanpa agunan dengan bunga 0% dan menggunakan sistem bagi hasil setiap bulan untuk melunasi kredit.

Pembiayaan tersebut disalurkan melalui koperasi dengan tenor 12 bulan dan plafon Rp4 juta. Kelompok nelayan selanjutnya menyisihkan 20% keuntungannya setiap bulan untuk mengangsur kredit hingga lunas.Skema ini diadopsi dari skema pembiayaan Baitul Maal wa Tamwil (BMT) Sidogiri di Jawa Timur.

Untuk memitigasi risiko pembiayaan, terdapat tiga langkah yang ditempuh. Pertama, pemberian bantuan teknis. Keluarga nelayan dilatih untuk memulai usaha budidaya bernilai tambah dari hasil utama kegiatan nelayan.

Misalnya, pelatihan pengembangan budidaya rumput laut. Tatkala kondisi cuaca buruk, nelayan masih memiliki sumber pendapatan yang lain kendati tidak melaut.

Kedua, pendampingan dengan melibatkan koperasi dan tokoh masyarakat atau komunitas setempat.

Ketiga, penawaran produk asuransi dan tabungan oleh koperasi. Melalui program ini, nelayan akan menabung Rp2.000 per hari. Apabila gagal melaut dalam beberapa hari, nelayan akan memperoleh penghasilan pengganti dari asuransi dan tabungan tersebut.

BACA JUGA: MEREDUKSI HEGEMONI DOLLAR AS

Ke depan, Pemda dapat mengadopsi skema pembiayaan Bank Indonesia tersebut sesuai kearifan lokal yang ada. Misalnya, Pemda mengalokasikan dana pinjaman bergulir dalam APBD dan menugaskan BUMD sebagai penyalur maupun penjamin kredit.

Selain itu, peran swasta dan LSM juga harus dilibatkan dalam program pendampingan masyarakat pesisir seperti pelatihan pengelolaan keuangan, pengelolaan hasil tangkap, peningkatan kapasitas diri dan penguatan kelembagaan bagi kelompok nelayan yang masih belum memiliki status hukum.

Namun terlepas dari model skema pembiayaan yang paling cocok, perlu ditekankan bahwa cara terbaik untuk memperluas akses jasa keuangan bagi kelompok nelayan adalah melalui program pemberdayaan masyarakat pesisir. Perluasan akses keuangan merupakan dampak lanjutan dari kesuksesan program ini.

Artikel ini telah dimuat di Harian REPUBLIKA 17 April 2018

Remon Samora

Remon Samora

I am a digital economy enthusiast, especially financial technology. Writing article for media is my side activity besides working as central bankers. I believe everyone must be 1% Better every single day in order to become the best version of ourself.

Social Media

Remon Samora

@remon.samora