Berbagai jurus stabilisasi nilai tukar terus digencarkan oleh otoritas moneter. Salah satunya lewat mekanisme Local Currency Settlement (LCS).
LCS merupakan penyelesaian transaksi perdagangan antara dua negara yang dilakukan dalam mata uang lokal. Tujuannya untuk memangkas ketergantungan terhadap penggunaan dolar AS yang pada akhirnya akan mengurangi tekanan dolar AS terhadap nilai tukar domestik.
Bank Indonesia tercatat telah menjalin kerja sama LCS dengan beberapa otoritas negara lain. Contohnya, dengan Bank Negara Malaysia dan Bank of Thailand (2018), serta Kementerian Keuangan Jepang (2020).
Kerja sama serupa juga akan diperluas dengan bank sentral Tiongkok (People’s Bank of China) tahun ini. Sejumlah negara lain ikut masuk dalam bidikan berikutnya, diantaranya Filipina, Korea Selatan dan India.
Kehadiran instrumen LCS tidak terlepas dari lanskap perdagangan internasional Indonesia saat ini. Data statistik menunjukkan lebih dari 90% transaksi perdagangan internasional Indonesia pada 2020 menggunakan dolar AS.
Di sisi lain, porsi perdagangan Indonesia dengan Amerika hanya sebesar 9% dari nilai ekspor-impor. Tak ayal dominasi penggunaan dolar AS tersebut membuat pelaku usaha rentan terhadap volatilitas nilai dolar AS.
BACA JUGA: E-COMMERCE DALAM PERSPEKTIF PENGENDALIAN INFLASI
Konfigurasi problematika ini kian dibayangi-bayangi oleh faktor risiko ketidakpastian pasar keuangan global. Kekhawatiran pasar terhadap prospek ekonomi dunia akibat pandemi Covid-19, serta antisipasi rencana pengurangan stimulus moneter (tapering) oleh The Fed sebagai penyebabnya.
Tak pelak depresiasi Rupiah akibat pengalihan aliran modal ke aset keuangan yang dianggap aman (flight to quality) sangat mungkin terjadi.
Berangkat dari alur logika berpikir di atas, eksistensi LCS sejatinya merupakan upaya stabilisasi kurs Rupiah lewat jalur kebijakan non suku bunga. Langkah ini sejalan dengan prinsip dalam investasi “Jangan menaruh semua telur di satu keranjang yang sama”.
LCS lahir sebagai mitigasi risiko atas eksposur dolar AS yang berlebih lewat peningkatan likuiditas mata uang lokal dan diversifikasi mata uang di pasar valas domestik.
Argumen tersebut turut didukung oleh pergerakan nilai tukar mata uang Asia, seperti Ringgit, Baht, Yen, dan Renminbi yang cenderung searah dan stabil terhadap Rupiah. Hasil riset menemukan korelasinya mencapai lebih dari 0,8 atau masuk kategori tinggi. Implikasinya, strategi lindung nilai (hedging) kurs dapat terbentuk otomatis secara tidak langsung.
Pada tataran teknis, manfaat lain LCS yang bisa dipetik oleh pelaku usaha ialah efisiensi biaya transaksi valas seiring adanya mekanisme direct quotation. Dalam hal transaksi disepakati menggunakan mata uang negara mitra, importir domestik dapat langsung mengkonversi Rupiah ke valas yang dituju melalui bank Appointed Cross Currency Dealer (ACCD).
Opsi ini dinilai lebih efisien jika dibandingkan praktik pada umumnya yang menggunakan dolar AS. Alasannya, korporasi tidak perlu melakukan dua kali konversi mata uang. Konversi pertama dilakukan importir dari Rupiah ke dolar AS dan konversi kedua dilakukan eksportir dari dolar AS ke mata uang domestiknya.
Pengembangan direct quotation yang lebih murah dengan spread yang lebih tipis dibandingkan cross-rate akan menarik minat nasabah untuk menggunakan skema ini.
Tren positif
Secara historis, implementasi LCS Indonesia dengan negara mitra memperlihatkan tren kinerja positif. Indikatornya terlihat dari pangsa transaksi LCS terhadap total nilai perdagangan kedua negara yang selalu meningkat.
Misalnya, penerapan LCS Indonesia-Thailand yang tumbuh dari 0,6% (2018) menjadi 1,2% (2021). Demikian pula Indonesia-Malaysia yang naik dari 1,4% menjadi 4,1% pada saat yang sama. Dalam konteks Indonesia-Jepang, realisasinya melesat cukup tajam dalam waktu singkat, yakni 0,1% (2020) menjadi 3,4% (2021).
BACA JUGA: PELUANG DAN TANTANGAN STARTUP SUPER
Bank sentral menargetkan pangsa transaksi LCS tersebut dapat meningkat secara bertahap hingga 20%. Beragam cara ditempuh untuk mewujudkannya.
Pertama, penguatan kerja sama LCS, dari yang semula hanya meliputi transaksi perdagangan diperluas mencakup investasi langsung dan income transfer (kompensasi tenaga kerja, pendapatan investasi, remitansi, dan sebagainya).
Bank sentral juga terus melakukan pengembangan LCS dari aspek produk. Contoh terkini ialah pembayaran transaksi lintas negara menggunakan QR Code. Bank Indonesia baru saja meluncurkan uji coba sandbox Standar Nasional QR Code pembayaran Indonesia (QRIS) dengan Thailand (Thai QR Payment).
Inovasi ini akan memudahkan pembayaran transaksi oleh wisatawan asing, baik turis Thailand di Indonesia ataupun sebaliknya melalui aplikasi QR Code.
Terwujudnya interoperabilitas dan interkoneksi QRIS dan Thai QR Payment didukung oleh penyelesaian transaksi yang dilakukan dengan menggunakan mata uang lokal antar kedua negara melalui bank ACCD. Fase komersial penuh QR lintas negara dengan Thailand ditargetkan pada kuartal pertama tahun 2022.
BACA JUGA: SANDBOX DAN INOVASI SISTEM PEMBAYARAN
Kedua, pelonggaran aturan transaksi valas antara lain perluasan instrumen lindung nilai dan peningkatan threshold nilai transaksi tanpa dokumen underlying. Nominalnya mencapai USD200 ribu per transaksi dengan Malaysia dan USD500 ribu per transaksi dengan Jepang.
Ketiga, penambahan beberapa bank baru sebagai ACCD di masing-masing negara untuk mendukung implementasi penguatan kerangka LCS. Dalam konteks perjanjian Indonesia-Malaysia, masing-masing negara menambah dua bank ACCD baru sehingga total ada delapan bank di Indonesia dan tujuh bank di Malaysia yang dapat memfasilitasi transaksi LCS.
Kondisi yang sama juga berlaku dalam kerja sama Indonesia-Thailand. Bank ACCD domestik bertambah delapan bank menjadi total 12 bank. Sementara Negeri Gajah Putih memasukkan enam bank ACCD baru sehingga menjadi 11 bank.
Dengan beragam pelonggaran yang diberikan, serta didukung perluasan institusi keuangan yang terlibat diharapkan dapat menciptakan ekosistem LCS yang semakin matang di sisi penawaran.
Sementara di sisi permintaan, terobosan ini niscaya akan memudahkan regulator dan perbankan dalam memberikan edukasi dan menstimulasi korporasi untuk memanfaatkan insentif ini.
Dari perspektif makroekonomi, saat ini merupakan momentum yang tepat bagi Indonesia untuk memperluas kerja sama LCS dengan negara mitra. Adanya kebutuhan bersama untuk memperkuat nilai tukar di kawasan regional menjadi semangat kolektif yang harus dikedepankan.
Tidak hanya itu, LCS juga harus dimaknai sebagai salah satu instrumen bauran kebijakan untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional.
Artikel ini telah dimuat di Harian KONTAN 24 Agustus 2021