“Digital economy is the big winner of this crisis”. Demikian kutipan pernyataan Kristalina Georgieva, Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) pada acara World Economic Forum 2020. Ungkapan ini tepat dan relevan. Tatkala nafas industri konvensional terengah-engah, perekonomian digital justru sedang asik menari di atas ombak bernama krisis ekonomi.
Sektor perdagangan elektronik (e-commerce) tidak terkecuali didalamnya. Sektor ini agaknya kebal dari isu kontraksi pertumbuhan ekonomi. Bank Indonesia mencatat nominal transaksi e-commerce hingga kuartal I-2021 mencapai Rp88 triliun atau tumbuh 52% secara tahunan. Bank sentral memproyeksi angka tersebut dapat menyentuh Rp370 triliun hingga akhir tahun ini atau naik 39,1% dibandingkan tahun lalu.
Dari sudut pandang makro ekonomi, e-commerce nyatanya tidak hanya berfungsi sebagai alternatif media penjualan yang efektif selama pandemi Covid-19 berlangsung. Musim semi yang tengah dialami industri e-commerce disinyalir berimplikasi positif terhadap upaya pengendalian inflasi.
Inflasi tahunan nasional per Mei 2021 mencapai 1,68%. Harus diakui realisasi ini lebih banyak diwarnai polemik daya beli yang lesu di tengah masyarakat. Namun demikian, kehadiran e-commerce diyakini turut berpengaruh terhadap pencapaian inflasi yang rendah meski masih dalam dosis yang terbatas.
Sejumlah kajian empiris menemukan hubungan berbanding terbalik antara adopsi masyarakat terhadap layanan e-commerce dengan tingkat inflasi. Hasil asesmen Organization for Economic Co-operation and Development (2019) menunjukkan e-commerce berpotensi memberikan deflationary effect terhadap perekonomian. Setidaknya ada dua argumen logis di balik kesimpulan tersebut.
BACA JUGA: MUSIM SEMI INDUSTRI TEKFIN
Pertama, e-commerce mengeliminasi eksistensi perantara (middleman) dalam rantai distribusi. Menurut ilmu ekonomi klasik, langkah utama yang acap ditempuh untuk mengendalikan inflasi ialah menurunkan permintaan dan menambah penawaran.
Sayangnya cara konvensional ini tidaklah cukup dalam konteks kekinian. Sebanyak apapun pasokan yang membanjiri pasar tidak akan efektif menurunkan harga apabila struktur tata niaga masih berbuntut panjang.
Kabar baiknya e-commerce memampukan produsen berinteraksi dengan konsumen akhir tanpa intervensi pedagang. Hasil produksi dapat langsung didistribusikan ke konsumen pasca negosiasi harga disepakati.
Kedua, terciptanya informasi simetris bagi pembeli dan penjual. Pembeli dapat dengan mudah membandingkan harga jual antar pedagang untuk produk atau layanan yang sama. Selain itu, pembeli juga memiliki opsi penjual yang lebih variatif. Tak pelak kondisi ini membuat posisi tawar pembeli menjadi lebih dominan.
Di sisi lain, pedagang juga dapat mengakses informasi harga jual pesaing. Tingkat kompetisi antar pedagang pun menjadi semakin ketat. Pedagang dipaksa secara tidak langsung untuk menerapkan harga jual yang wajar dengan kualitas yang lebih baik.
Lanskap ini melahirkan struktur pasar persaingan sempurna yang selanjutnya akan mendorong terjadinya efisiensi dalam jangka panjang. Menariknya, persaingan sengit pedagang di platform e-commerce turut berimbas ke penurunan harga di pasar luring. Fenomena ini lantas dikenal luas dengan istilah ‘Amazon Effect’.
Esensi dari terminologi tersebut ialah keseragaman harga. Pedagang cenderung akan menyamakan harga jual barang di pasar luring dengan pasar daring demi menjaga tingkat daya saing di mata pembeli.
BACA JUGA: BUKALAPAK DAN KINERJA INDUSTRI E-COMMERCE
Berdasarkan dalih di atas, model bisnis yang dibawa oleh e-commerce seolah menegaskan perlunya pengkinian paradigma pengendalian inflasi. Selama ini jargon yang kerap digaungkan adalah 4K (keterjangkauan harga, ketersediaan pasokan, kelancaran distribusi, dan komunikasi efektif).
Dengan masifnya pergeseran perilaku belanja masyarakat dari luring ke daring, sangatlah tepat menambahkan frasa keterbukaan informasi sehingga menjadi 5K.
Aspek tambahan tersebut sejatinya bukanlah hal baru. Secara historis, prinsip yang sama sudah diberlakukan ketika pemerintah meluncurkan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS).
Aplikasi ini memungkinkan masyarakat untuk mengetahui harga jual harian masing-masing komoditas di berbagai pasar. Dengan adanya informasi simetris antara penjual dan pembeli, mekanisme pasar dapat terwujud sehingga disparitas harga antar lokasi dapat diminimalisir.
Deflasi semu
Meskipun di atas kertas tampak begitu menjanjikan, namun industri e-commerce masih menyimpan sejumlah pekerjaan rumah terkait program pengendalian inflasi.
Pertama, tendensi harga jual yang murah dalam jangka pendek mengindikasikan adanya deflasi semu. Alih-alih diakibatkan oleh efisiensi dari struktur pasar yang terbentuk, penurunan harga jual ditengarai lebih dipengaruhi variabel non teknis.
Alasan yang melatarbelakangi dugaan itu terbilang rasional. Ekosistem industri e-commerce Tanah Air dinilai belum matang. Para pemain berlomba-lomba memberikan subsidi silang berlabel “bakar uang”. Akuisisi pelanggan baru menjadi target akhirnya.
Artinya, pengurangan harga di pasar daring saat ini bersifat temporer alias delusif. Di kala anggaran biaya pemasaran telah terkuras habis, maka usai pula momen pesta diskon harga di pasar daring.
Kedua, e-commerce berisiko memberikan dampak struktural berupa meningkatnya aksi diskriminasi harga. Idealnya, dalam kondisi tidak terjadi hambatan & friksi perdagangan, produk yang sama diperjualbelikan dengan harga yang sama (The Law of One Price).
Pada praktiknya pelaku e-commerce sangat mungkin menetapkan harga berbeda sesuai perilaku target konsumen. Lewat dukungan teknologi kecerdasan buatan dan big data, tentu hal ini bukanlah perkara yang sulit.
Dengan konstruksi alur logika tersebut, kelompok konsumen yang kurang sensitif terhadap harga akan membayar lebih mahal dibanding konsumen lain untuk produk dengan kualitas yang sama. Pada tataran lebih lanjut, diskriminasi harga dalam skala luas berpotensi memicu ekses negatif terhadap stabilitas moneter.
BACA JUGA: PELUANG DAN TANTANGAN STARTUP SUPER
Ketiga, semakin banyak konsumen yang beralih ke platform e-commerce menimbulkan risiko adanya pergerakan harga yang tidak ditangkap oleh statistik resmi atau efek bias outlet. Harus diakui kontribusi transaksi e-commerce terhadap industri ritel nasional masih relatif minim.
Dengan skenario demikian, otoritas statistik mungkin saja lebih berfokus mengumpulkan data perubahan harga di pasar luring ketimbang daring.
Berangkat dari konfigurasi peluang dan tantangan di atas, strategi kunci ke depan adalah perluasan adopsi e-commerce, baik dari sisi permintaan maupun penawaran. Apabila dianalogikan sebuah mesin pabrik, industri e-commerce saat ini belum menyentuh titik kapasitas penuh. Tak ayal biaya operasional yang ditimbulkan masih kurang ekonomis.
Salah satu fakta yang patut menjadi perhatian dapat terlihat dari ekosistem e-commerce yang bergerak di komoditas volatile foods. Jumlah penyelenggara, produsen, konsumen, pelaku logistik dan sistem pembayaran yang tersedia masih berskala kecil. Padahal tingkat inflasi justru utamanya disumbang oleh kenaikan harga kelompok bahan pangan.
Program digitalisasi pertanian di sisi hilir harus menjadi prioritas. Tujuannya jelas tidak hanya sekedar menciptakan keterbukaan informasi dan memotong rantai distribusi semata. Lebih dari itu, langkah ini juga dapat dimaknai sebagai upaya merangsang kaum milenial untuk melirik kembali bidang pertanian sebagai sektor potensial di masa depan.
Artikel ini telah dimuat di Harian INVESTOR DAILY 2 Juli 2021