Startup (usaha rintisan) super karya anak bangsa kini telah lahir. Dua startup raksasa, yakni Gojek dan Tokopedia resmi menggabungkan usahanya (merger) menjadi GoTo. Dengan sokongan dana jumbo investor dibelakangnya, merger keduanya digadang-gadang sebagai yang terbesar untuk kategori perusahaan teknologi di Asia Tenggara.
Merger sejatinya merupakan aksi korporasi yang lazim dilakukan. Namun, perkawinan Gojek dan Tokopedia terasa begitu istimewa. Status decacorn yang disandang Gojek dan unicorn oleh Tokopedia menjadi alasannya.
Valuasi Gojek tercatat US$ 12,1 miliar dan Tokopedia berada di angka kisaran US$ 7,5 miliar. Jika digabung, valuasi grup GoTo menjadi US$ 19,6 miliar. Tak pelak hal ini semakin menegaskan predikat GoTo sebagai big tech Tanah Air.
Poin lain yang patut dicermati dari merger ini ialah besarnya nilai transaksi yang dihasilkan. Manajemen GoTo mengklaim kombinasi Gojek dan Tokopedia akan berkontribusi lebih dari 2% terhadap total Produk Domestik Bruto Indonesia.
Secara matematis, Gross Transaction Value (GTV) GoTo mencapai US$ 22 miliar atau setara Rp308 triliun pada 2020. Angka ini jauh melampaui GTV decacorn lainnya, seperti Grab yang hanya sebesar US$ 12,5 miliar.
Menariknya sejumlah analis meramal eksistensi grup GoTo berpotensi mengubah peta industri keuangan dan teknologi finansial. Pasalnya satu dari tiga lini bisnisnya, yakni GoTo Financial menaungi berbagai layanan keuangan.
Sebut saja GoPay, Paylater, GoSure, GoInvestasi, GoStore, Moka, Selly, Midtrans dan Gobiz Plus. Selain itu, GoTo Financial juga mengantongi kepemilikan saham di Bank Jago, salah satu bank digital pertama di Indonesia.
BACA JUGA: KENORMALAN BARU BERNAMA BANK DIGITAL
Tak heran jika kemudian banyak pihak menyamakan model bisnis GoTo Financial dengan Ant Financial milik grup Alibaba asal Tiongkok. Setidaknya terdapat empat jasa finansial di bawah bendera gurita bisnis besutan Jack Ma tersebut.
Diantaranya, Alipay (aplikasi dompet digital), Ant Fortune (platform penasihat investasi), Zhima Credit (layanan penilaian kredit/credit scoring) dan MYbank (bank digital).
Berkaca pada pengalaman Ant Financial di negara asalnya, harapan besar dalam menggapai cita-cita inklusi keuangan patut disematkan pada GoTo Financial. Seperti halnya Alipay yang menjadi pionir revolusi sistem pembayaran di Negeri Tirai Bambu, lalu merambah ke jasa keuangan lainnya, GoTo Financial diyakini juga akan mengambil langkah serupa.
Skenario di atas sejalan dengan laporan tahunan Bank for International Settlements (BIS) 2019. Dalam paparannya, BIS menjelaskan bisnis sistem pembayaran merupakan layanan pertama yang lazim ditawarkan oleh big tech untuk membangun kepercayaan konsumen.
Tatkala isu krusial ini telah terjawab, big tech akan memanfaatkan jejaring pasar yang luas dan reputasi mereknya untuk berekspansi ke produksi asuransi dan investasi lainnya.
Fenomena “data is the new oil” tentu tidak boleh dilupakan. Masifnya data granular hingga tingkat individu dari layanan sistem pembayaran menjadi argumen kuat lainnya. Data tersebut akan memberikan umpan balik untuk meningkatkan kualitas layanan dan menjaga loyalitas konsumen, sekaligus menjadi kunci daya saing big tech.
BACA JUGA: MUSIM SEMI INDUSTRI TEKFIN
Dalam studi kasus GoTo Financial, praktis GoPay menjelma sebagai ujung tombak dalam penetrasi pasar, terutama untuk menyasar kelompok unbanked (masyarakat yang belum tersentuh jasa keuangan formal).
Dengan dukungan layanan berbagi tumpangan (ride hailing), perdagangan elektronik (marketplace), dan pesan antar makanan daring (online food delivery), sepak terjang GoPay kemungkinan belum akan menemukan kendala yang berarti.
Saling keterkaitan
Meskipun menjanjikan banyak peluang dan kemudahan, kehadiran big tech di sektor keuangan acapkali menarik perhatian berbagai otoritas keuangan di dunia. Hal ini tidak terlepas dari efek domino atas saling keterkaitan (interconnectedness) antar lini bisnis big tech, baik inti maupun non inti.
Apabila terjadi gejolak dalam perekonomian, kemunduran di lini bisnis inti dapat berimbas ke performa lini bisnis non inti, termasuk layanan teknologi finansial.
Carstens (2021) menyebut layanan teknologi finansial saat ini belum memberikan kontribusi yang besar terhadap keseluruhan pendapatan big tech. Namun demikian, lini bisnis non inti tersebut berpeluang terdampak signifikan akibat besarnya ketergantungan terhadap lini bisnis inti yang mengalami kejatuhan.
Tak pelak penyematan label systemically important atau too big to fail bagi layanan teknologi finansial big tech mungkin saja diberlakukan oleh regulator.
Risiko lain yang harus diperhatikan ialah penerapan diskriminasi harga sebagai konsekuensi atas monopoli perolehan data konsumen. Per definisi, diskriminasi harga merupakan kebijakan untuk memberlakukan harga jual yang berbeda untuk barang yang sama di segmen pasar yang berbeda.
Prasyarat agar praktik ini berhasil dilakukan ialah penjual memiliki kekuatan pasar, serta ada ketidaksempurnaan (asimetri) informasi di pasar.
BIS mengungkap eksploitasi data konsumen oleh big tech dapat dimanfaatkan tidak hanya untuk menilai kelayakan kredit calon debitur. Pada tataran lebih lanjut, big tech bahkan mampu mengidentifikasi suku bunga tertinggi yang rela dibayarkan oleh masing-masing debitur ataupun premi maksimum untuk produk asuransi.
Jelas hal ini bukanlah perkara sulit dengan bantuan teknologi big data yang mumpuni.
BACA JUGA: MEMFORMAT ULANG EKONOMI DIGITAL
Sayangnya, dari perspektif industri, strategi ini cenderung mengarah ke praktik persaingan tidak sehat dalam jangka panjang. Big tech dapat menciptakan hambatan masuk pasar bagi pesaing baru dengan menyasar kelompok konsumen tertentu.
Alhasil, praktik subsidi silang yang berujung pada predatory pricing di sektor jasa keuangan akan menjadi senjata utama big tech untuk mempertahankan pangsa pasarnya.
Dalam konteks sistem pembayaran, Bank Indonesia telah menempuh berbagai langkah untuk mencegah penguasaan data oleh pihak tertentu. Standarisasi Open Application Programming Interface (API) dan QR Code Indonesian Standard (QRIS) menjadi bukti konkritnya.
Open API memungkinkan terjadinya interlink perbankan dengan pemain teknologi finansial, termasuk big tech. Sementara, QRIS menciptakan ekosistem pembayaran ritel yang lebih efisien dengan adanya interoperabilitas.
Benang merah dari keduanya ialah inklusifitas. Setiap pelaku jasa sistem pembayaran, baik perbankan maupun teknologi finansial sekaliber big tech memiliki kesempatan yang sama untuk mengakses data konsumen. Dengan mengedepankan prinsip same level playing field, landskap persaingan yang sehat niscaya akan terbentuk.
Artikel ini telah dimuat di Harian KONTAN 12 Juni 2021