Kabar gembira kembali berhembus bagi industri ekonomi digital Tanah Air. Aplikasi dompet digital, OVO dinobatkan sebagai usaha rintisan bervaluasi di atas US$1 miliar alias unicorn.
Predikat tersebut disematkan pasca rilis laporan CB Insights berjudul “The Global Unicorn Club”. Dalam publikasinya, CB Insights menyebut OVO telah menjadi unicorn sejak 14 Maret 2019 dengan valuasi mencapai US$2,9 miliar. Adapun investor di balik OVO ialah Tokyo Century Corporation, Grab dan Tokopedia.
Kesuksesan OVO sejatinya sudah dapat diprediksi sebelumnya. Survei DailySocial dalam “Fintech Report 2018” menempatkan OVO sebagai peringkat kedua (58%) uang elektronik yang paling banyak digunakan.
Posisi OVO mengekor GoPay di posisi pertama (79%) yang sudah sukses lebih dahulu bersama GoJek sebagai decacorn (usaha rintisan dengan nilai valuasi di atas US$10 miliar).
Dari perspektif makroekonomi, Bank Indonesia mencatat nilai transaksi uang elektronik mencapai Rp47,2 triliun selama tahun 2018 atau tumbuh hampir tiga kali lipat dari tahun sebelumnya. Nilai tersebut dipastikan akan meningkat kembali pada tahun ini. Per Agustus 2019 saja, nilai transaksi uang elektronik sudah menyentuh Rp81,9 triliun.
Apabila ditelisik lebih jauh, pamor uang elektronik jenis server based memang sedang naik daun. Instrumen ini menguasai hampir 85% atau sekitar 167,2 juta pengguna dari 198 juta pengguna kartu dan akun uang elektronik.
Sementara dari sisi penyelenggara, industri keuangan nonbank atau teknologi finansial (tekfin) mendominasi transaksi uang elektronik sebesar 69%, sisanya 31% dipegang perbankan.
BACA JUGA: MENANTANG HEGEMONI BANK BESAR
Tren positif ini nampaknya masih akan berlangsung dalam jangka panjang. Berdasarkan riset Google, Temasek, dan Bain Company bertajuk “e-Conomy SEA 2019”, ekonomi digital Indonesia tahun ini diprediksi mencetak US$40 miliar atau sekitar Rp556 triliun. Angka ini diproyeksi akan terus meroket hingga menyentuh US$133 miliar pada tahun 2025.
Sektor e-commerce (perdagangan elektronik) dan ride-hailing (berbagi tumpangan) menjadi tumpuan utama dalam menggapai target tersebut. Pasalnya kedua sektor itu terbukti mampu menunjukkan pertumbuhan paling signifikan.
Buktinya sektor e-commerce tumbuh 12,3 kali lipat menjadi US$21 miliar dalam empat tahun terakhir. Segendang sepenarian, sektor ride-hailing pada tahun 2015 nilainya masih US$900 juta, tetapi saat ini bisa mencapai US$6 miliar. Pada tahun 2025 diprediksi keduanya akan tumbuh eksponensial, masing-masing US$82 miliar dan US$ 18 miliar.
Tak ayal hasil penelitian tersebut praktis menjadi angin segar bagi aplikasi besutan PT Visionet Internasional. Kolaborasi dengan Tokopedia (e-commerce) dan Grab (ride-hailing) tentu akan menjadi pendorong utama kinerja OVO di masa depan.
Demikian pun para kompetitornya. Gopay yang berafiliasi dengan Gojek dan DANA yang bersinergi dengan Bukalapak juga akan merasakan manfaat yang sama.
Lampu kuning
Meskipun telah menyandang gelar bergengsi unicorn, namun seyogianya OVO dan pemain tekfin pembayaran lainnya patut mawas diri. Strategi bakar uang berupa pemberian subsidi untuk aktivitas customer acquisition harus dievaluasi kembali.
Mencermati kondisi perekonomian terkini, bisa jadi kucuran dana oleh investor tidak akan mengalir deras seperti periode sebelumnya. Beberapa lembaga internasional telah memberi lampu kuning terkait hal ini.
BACA JUGA: MENANTI KIPRAH BANK LOKAL DI LEVEL ASEAN
Accenture mencatat nilai pendanaan bagi tekfin secara global pada semester I-2019 mencapai US$22 miliar, atau turun 29% dibandingkan semester I-2018 yang mencapai US$31,2 miliar. Pesan senada disampaikan pula oleh Bank Dunia.
Di tengah ancaman krisis global, pendanaan (fundraising) hampir bisa dipastikan akan mengalami penurunan dalam beberapa tahun mendatang. Pemain tekfin disarankan berfokus pada penciptaan bisnis yang mulai menghasilkan keuntungan, alih-alih pertumbuhan dan valuasi.
Harus diakui paradigma investor saat ini telah mengalami pergeseran. Valuasi tidak lagi menjadi satu-satunya aspek terpenting dan bukanlah tujuan akhir dari sebuah investasi pada usaha rintisan.
Berkaca pada banyaknya persoalan usaha rintisan di Amerika Serikat, sejumlah pihak bahkan mulai meragukan validitas asumsi di balik metode perhitungan nilai valuasi.
Secara konseptual, pendekatan yang acapkali digunakan untuk mengukur valuasi ialah proyeksi nilai penjualan atau Gross Merchandise Value (GMV) di masa depan.
Seperti halnya bisnis konvensional, omzet memang menjadi parameter untuk melihat pertumbuhan sebuah bisnis atau produk. Namun yang membedakan keduanya ialah perolehan laba bersih tidak menjadi prioritas jangka pendek menengah bagi usaha rintisan.
Studi kasus investasi Softbank ke usaha rintisan, WeWork barangkali dapat merepresentasikan kegelisahan para ekonom.
Pembatalan rencana penawaran saham perdana (initial public offering) WeWork mendapat sorotan tajam oleh publik Negeri Paman Sam. Valuasi yang sangat tinggi hingga mencapai US$47 miliar dipertanyakan. Begitu juga soal kelangsungan model bisnis, pengelolaan beban jangka panjang, dan penerimaan jangka pendek.
BACA JUGA: URGENSI MENJARING DEVISA PARIWISATA
Pengalaman Uber juga memberikan pelajaran serupa. Sejak go public pada Mei 2019, kinerja keuangan Uber masih belum menunjukkan adanya perkembangan memuaskan.
Pada kuartal II-2019 usaha rintisan ride-hailing ini menderita kerugian US$5,2 miliar atau setara Rp73 triliun. Media asing, Business Insider menyebut angka kerugian ini adalah kerugian kuartalan terdalam yang pernah ada.
Sebagian ekonom menyebut fenomena ini sebagai perangkap predikat unicorn. Valuasi tanpa profitabilitas diibaratkan secara ekstrim layaknya gelembung air sabun. Sepintas terlihat cepat membesar dalam waktu singkat, tapi sebenarnya hanya berisi udara kosong.
Dalam ilmu ekonomi, kondisi ini disebut bubble, yakni pertumbuhan yang tidak didasari oleh nilai fundamental yang kuat. Meminjam terminologi ilmu akuntansi, asas kesinambungan usaha (going concern) diragukan.
Berangkat dari sehimpun argumentasi dan data di atas, persaingan tekfin pembayaran ke depan diramalkan tidak akan berlangsung ketat seperti tahun-tahun sebelumnya.
Pelaku tekfin juga akan bersikap lebih rasional dan selektif dalam membelanjakan anggaran subsidi. Aspek non tarif, seperti kualitas dan keterjangkauan layanan harus dikedepankan demi menumbuhkan ekosistem kompetisi yang sehat.
Artikel ini telah dimuat di DETIKNEWS 5 November 2019