URGENSI MENJARING DEVISA PARIWISATA

Jul 14, 2020 | Articles on Media

Sebagian kalangan ekonom mengibaratkan perekonomian Indonesia saat ini layaknya tubuh manusia yang sedang mengalami demam. Gejala berupa tekanan nilai tukar sepanjang tahun berjalan menunjukkan ekonomi Indonesia membutuhkan obat penurun panas, berupa tambahan pasokan devisa. Semakin banyak devisa yang masuk, niscaya isu depresiasi rupiah juga akan semakin mereda.

Bank Indonesia mencatat defisit transaksi berjalan kuartal II-2018 sebesar US$ 8,03 miliar atau 3,04% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan kuartal sebelumnya yang mencapai US$ 5,7 miliar atau 2,2% PDB.

Bagi ekonom dan pelaku pasar keuangan, angka defisit transaksi berjalan sebesar 3% dipercaya sebagai batas tertinggi yang dapat diterima. Apabila melewati batas psikologis tersebut, kondisi ini menunjukkan dolar AS sedang mengalir deras keluar dari pasar domestik.

Situasi tersebut juga terkonfirmasi dari tren penurunan cadangan devisa dari posisi tertingginya sebesar US$ 132 di Januari 2018 menjadi US$ 118 di Juli 2018.

Di tengah keadaan kian pelik tersebut, sektor pariwisata muncul sebagai obat mujarab dalam mendulang devisa. Mengapa dikatakan demikian? Dibandingkan rencana kebijakan pemerintah untuk menahan laju impor, seperti kewajiban penggunaan B20 dan pembatasan 500 barang impor, sektor pariwisata setidaknya memiliki tiga keistimewaan.

BACA JUGA: MENANTANG HEGEMONI BANK BESAR

Pertama, mampu mendatangkan devisa lebih cepat. Dengan maraknya festival dan eventevent khusus yang diselenggarakan untuk menarik wisatawan mancanegara (wisman), maka dampaknya terhadap penerimaan devisa dapat langsung dirasakan.

Kedua, kebutuhan dana investasi yang relatif lebih murah. Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya mencatat kebutuhan investasi di sektor pariwisata sebesar US$ 3 ribu per orang, jauh lebih rendah ketimbang industri padat modal yang membutuhkan US$ 100 ribu per orang.

Hal ini disinyalir karena pariwisata Indonesia merupakan industri jasa yang sangat mengandalkan keindahan alam. Modal dasar berupa laut, danau dan pegunungan sudah tersedia tanpa campur tangan manusia.

Ketiga, memiliki multiplier effect terhadap geliat sektor informal. Selain mendulang devisa dari sektor formal, seperti perhotelan dan transportasi udara, kehadiran wisman juga akan menggerakan roda penjualan UMKM kerajinan tangan dan makanan khas lokal, jasa pemandu wisata, jasa penyewaan kendaraan dan lain-lain.

Badan Pusat Statistik mencatat total wisman yang berkunjung ke Indonesia periode Januari-Juni 2018 sebanyak 7,53 juta kunjungan. Jumlah tersebut meningkat 13,08% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Pencapaian ini masih sejalan dengan target pemerintah untuk mendatangkan 17 juta wisman pada tahun 2018.

Dengan asumsi rata-rata pengeluaran mencapai US$ 1.200 per kunjungan, sektor pariwisata digadang-gadang mampu menyumbang devisa sebesar US$ 20,4 miliar atau setara Rp273,91 triliun. Nilai tersebut naik 21,43% dari tahun 2017 yang mencapai US$ 16,8 miliar.

Meskipun terus menunjukkan tren meningkat, jumlah kunjungan wisman ke Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara tetangga. Di tingkat ASEAN, Thailand menempati peringkat pertama dengan jumlah kunjungan wisman mencapai 32 juta orang, disusul Malaysia dengan 26 juta orang.

BACA JUGA: KARTU KREDIT DI TUBUH BIROKRASI. MENGAPA TIDAK?

Kondisi ini seakan mengonfirmasi hasil studi World Economic Forum (WEF) dalam laporan bertajuk “The Travel and Tourism Competitiveness Report 2017”. WEF menempatkan indeks daya saing pariwisata Indonesia berada pada posisi ke-42, di bawah Malaysia (26) dan Thailand (34).

Dibandingkan dua tahun sebelumnya, posisi Indonesia naik delapan peringkat, sementara Malaysia turun satu peringkat dan Thailand naik satu peringkat.

Apabila dibedah lebih lanjut, WEF mengapresiasi langkah Indonesia yang telah menerapkan kebijakan bebas visa kunjungan. Selain itu, alokasi anggaran yang cukup besar dalam APBN untuk sektor pariwisata menjadi katalis positif dalam penilaian WEF.

Namun di sisi lain, WEF juga memberikan catatan kepada Indonesia untuk berkonsentrasi memperbaiki beberapa titik lemah, seperti infrastruktur pariwisata, terutama jumlah kamar hotel yang terbatas, infrastruktur telekomunikasi, kebersihan dan higienitas, serta aksesibilitas.

Untuk mengejar ketertinggalan jumlah kunjungan wisman, pemerintah secara khusus telah menetapkan sepuluh destinasi wisata Bali baru, yaitu Candi Borobudur, Danau Toba, Gunung Bromo, Pulau Komodo, Kepulauan Seribu, Tanjung Kelayang, Mandalika, Wakatobi, Morotai dan Tanjung Lesung.

Apabila melihat daftar sepuluh destinasi wisata tersebut, harus diakui belum seluruh objek wisata potensial masuk didalamnya. Sebut saja, Raja Ampat di Papua Barat yang mendapat julukan sebagai surga tersembunyi di timur Indonesia dan Pulau Derawan di Kalimantan Timur yang menjadi tempat menyelam terbaik ketiga di dunia.

Peran Pemda

Meskipun belum termasuk dalam daftar sepuluh Bali baru, Pemda di daerah lain tidak perlu berkecil hati. Pemda seyogyanya tetap turut ambil bagian mengurai problematika di daerahnya sebagaimana pekerjaan rumah dari WEF. Misalnya, Pemda dapat menjalin kerja sama dengan Online Travel Agent (OTA).

Kehadiran biro wisata online di daerah akan menjadi solusi tercepat untuk menjawab permasalahan jumlah kamar yang terbatas. Selain menyediakan kamar hotel, OTA juga dapat menggandeng rumah penduduk lokal untuk tempat menginap para pelancong dengan harga yang lebih terjangkau.

Tidak hanya masalah akomodasi, sinergitas dengan OTA juga akan membantu Pemda dalam menyebarluaskan potensi wisata di daerah. Melihat tren yang berkembang saat ini, keberadaan OTA dinilai sangat strategis bagi turis asing, terutama generasi milenial dalam menentukan rencana perjalanan wisatanya.

BACA JUGA: MENGGALI SUMBER INVESTASI DOMESTIK

Bermodal fasilitas travel review and recommendation, wisman milenial serasa dimanjakan dengan kemudahan mendapatkan referensi tempat-tempat menarik yang wajib dikunjungi.

Hal lain yang tidak boleh dilupakan ialah kreatifitas Pemda dalam menjual kebudayaan lokalnya, bukan semata-mata keindahan alamnya saja.

Kegiatan-kegiatan khusus yang dikemas dalam bentuk sport tourism, misal kompetisi sepeda dan lari maraton, serta culture tourism, seperti festival kesenian daerah menjadi opsi yang patut dipertimbangkan. Semakin banyak acara yang diselenggarakan, semakin banyak dana yang akan dibelanjakan para wisman.

Secara teori, momentum depresiasi rupiah seharusnya dapat dimanfaatkan untuk menggenjot kinerja ekspor, terutama jasa pariwisata. Pelemahan nilai tukar membuat biaya perjalanan dan akomodasi menjadi lebih murah bagi para wisman.

Implikasinya, saat ini merupakan kesempatan emas bagi negara kita untuk menjaring devisa dari sektor pariwisata.

Artikel ini telah dimuat di Harian KONTAN 25 Agustus 2018

Remon Samora

Remon Samora

I am a digital economy enthusiast, especially financial technology. Writing article for media is my side activity besides working as central bankers. I believe everyone must be 1% Better every single day in order to become the best version of ourself.

Social Media

Remon Samora

@remon.samora