Beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta pebisnis muda untuk gencar menanamkan modal, terutama di sektor yang mendongkrak kualitas pertumbuhan ekonomi. Presiden menyampaikan ini di tengah ketidakpastian global. Dan, perbaikan ekonomi praktis hanya bertumpu pada investasi domestik.
Momentum ajakan Presiden tersebut dinilai sudah tepat apabila mencermati perkembangan data terkini. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) merilis nilai realisasi penanaman modal sepanjang semester I-2018 mencapai Rp361,6 triliun. Angka tersebut tumbuh 7,4% dibandingkan semester I-2017.
Apabila ditelisik lebih jauh, setidaknya terdapat dua hal menarik yang patut menjadi bahan perhatian.
Pertama, kinerja Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) sepanjang paruh pertama tahun ini berbeda arah dengan Penanaman Modal Asing (PMA). PMDN tercatat sebesar Rp157 triliun atau naik cukup tinggi 21% (yoy). Sementara itu, PMA justru membukukan kinerja negatif dengan realisasi sebesar Rp205 triliun atau turun -1% (yoy).
Dalam keterangan persnya, BKPM mensinyalir gejolak nilai tukar dan perang dagang Amerika Serikat dengan Tiongkok berimplikasi pada perlambatan laju investasi. Dari dalam negeri, faktor tahun politik yang akan berlanjut hingga tahun depan turut memengaruhi psikologi investor yang cenderung mengambil posisi wait and see.
Moncernya pencapaian PMDN tersebut sejatinya sudah dapat diprediksi sejak awal tahun. Dalam laporan bertajuk “Asia Pacific: Trading and Thriving”, Grant Thornton menyatakan optimisme pelaku bisnis di Indonesia merupakan yang tertinggi di dunia, yakni mencapai 100%.
BACA JUGA: MEMFORMAT ULANG EKONOMI DIGITAL
Tingkat optimisme tersebut lebih tinggi dibandingkan rata-rata di ASEAN dan Asia Pasifik yang berada di level 58%. Lembaga ini mencatat tiga faktor pendukung utama yang mendukung optimisme di Indonesia, yaitu pertumbuhan masyarakat kelas menengah, kerja sama Masyarakat Ekonomi ASEAN dan pengembangan infrastruktur lokal.
Kajian tersebut seakan mengonfirmasi hasil survei yang dilakukan majalah US News. Bertemakan “Best Countries 2018”, media asal Negeri Paman Sam ini mendapuk Indonesia sebagai negara tujuan investasi terbaik kedua di dunia.
Ada delapan indikator yang dinilai, yakni kewirausahaan, stabilitas ekonomi, tarif pajak yang kondusif, inovasi, tenaga kerja terampil, pengusaan teknologi, dinamika dan tingkat korupsi.
Kedua, perlambatan realisasi investasi di luar Pulau Jawa. Berdasarkan sebaran lokasi proyek, realisasi investasi di luar Pulau Jawa semester I-2018 sebesar Rp155 triliun atau naik 0,2% (yoy).
Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan semester I-2017 yang tumbuh 14,4%. Pada saat bersamaan, realisasi investasi di Pulau Jawa justru tumbuh 13,5% menjadi Rp206 triliun.
Untuk mengakselerasi realisasi penanaman modal, Pemerintah telah meluncurkan layanan perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik atau Online Single Submission (OSS) pada Juli 2018.
Kehadiran OSS tentu menjadi angin segar bagi para investor dalam mempercepat proses perizinan. Sebelum OSS dirilis, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mencatat rata-rata investor asing yang batal menanamkan modalnya ke Indonesia mencapai 68%, sementara investor domestik sebanyak 71%.
Proses perizinan yang rumit diduga sebagai penyebab utama penghambat investasi tersebut.
BACA JUGA: KREDIT UMKM LAMBAT. APA MASALAHNYA?
Setali tiga uang, hasil penilaian Ombudsman terhadap 172 Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu tahun 2017 menunjukkan kompetensi kelembagaan pelayanan perizinan di daerah masih rendah.
Faktor penyebabnya ialah kurangnya pemahaman SDM terhadap maladministrasi. Bentuknya berupa menunda pelayanan, meminta uang kepada masyarakat dan berlaku diskriminatif. OSS diharapkan mampu menyelesaikan akar permasalahan tersebut.
Dalam perspektif lebih luas, OSS dipercaya sebagai katalis positif dalam mendongkrak iklim investasi Indonesia. Dalam laporan berjudul “Doing Business 2018: Reforming to Create Jobs”, Bank Dunia menempatkan Indonesia pada peringkat ke-72 dari 190 negara dalam hal kemudahan berusaha.
Posisi Indonesia naik 19 peringkat dibandingkan tahun sebelumnya. Tidak mau cepat berpuas diri, Presiden menargetkan Indonesia menduduki peringkat ke-40 di tahun 2019. Salah satu caranya dengan mengurangi prosedur perizinan dan penerapan layanan sistem online.
Investasi luar Jawa
Upaya lain yang harus dilakukan untuk menarik investasi ialah mempercepat proses beroperasinya Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Berkaca pada fenomena deselerasi penanaman modal di luar Jawa, tak heran jika keberadaan KEK sebagai magnet investasi sangat penting.
Sesuai UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, salah satu tujuan KEK ialah mempercepat pembangunan daerah melalui pengembangan pusat pertumbuhan ekonomi baru untuk keseimbangan pembangunan antar wilayah.
Saat ini Pemerintah telah menetapkan 12 dari target 17 KEK hingga tahun 2019. KEK yang telah ditetapkan yakni Tanjung Lesung (Banten), Tanjung Kelayang (Babel), Sorong (Pabar), Galang Batang (Kepri), Arun Lhokseumawe (Aceh), Mandalika (NTB), Palu (Sulteng), Sei Mangkei (Sumut), Tanjung Api-Api (Sumsel), Maloy Batuta Trans Kalimantan (Kaltim), Bitung (Sulut) dan Morotai (Malut).
Hingga akhir tahun 2017 tercatat baru empat KEK yang sudah beroperasi, sementara sisanya baru akan beroperasi pada 2018 dan 2019. Total realisasi investasi di KEK dalam tiga tahun terakhir mencapai Rp10 triliun atau 16% dari total komitmen investasi sebesar Rp59 triliun.
BACA JUGA: KETENAGAKERJAAN DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0
Apabila 12 KEK tersebut telah beroperasi, total investasi yang masuk diproyeksikan mencapai Rp661 triliun.
KEK Sei Mangkei dan Tanjung Lesung barangkali bisa menjadi bahan pelajaran bagi administrator KEK di daerah lain. Hasil produksi utama di KEK Sei Mangkei berupa Crude Palm Oil dan Crude Palm Kernel Oil dengan nilai mencapai Rp9,17 triliun per tahun. Menariknya, 90% outputnya ditujukan untuk pasar ekspor.
KEK Tanjung Lesung telah menarik kunjungan 727.285 wisatawan pada tahun 2017, di mana 22.000 orang diantaranya adalah turis asing. Jumlah tersebut meningkat signifikan dibandingkan tahun 2015 yang baru mencapai 403.525 wisatawan. Diestimasikan kunjungan tersebut menghasilkan output bagi perekonomian senilai Rp514 miliar.
Apabila dikaitkan dengan ajakan Presiden kepada para taipan muda, rencana investasi seyogyanya diarahkan ke wilayah KEK. Selain sangat berpotensi, Pemerintah telah menyiapkan sejumlah insentif bagi investor yang bersedia menanamkan modalnya.
Beberapa insentif tersebut diantaranya dukungan infrastruktur, fasilitas fiskal dan non fiskal, serta kemudahan perizinan.
Dari perspektif makro ekonomi, investasi di wilayah KEK tidak hanya sekedar merangsang geliat ekonomi daerah di luar Jawa sehingga mengurangi kesenjangan wilayah, tapi juga akan berkontribusi dalam mereduksi defisit transaksi berjalan negara kita.
Artikel ini telah dimuat di Harian KONTAN 15 September 2018