EKSPANSI MOBILE PAYMENT TIONGKOK

Jul 14, 2020 | Articles on Media

Ekosistem sistem pembayaran Indonesia siap menyambut kedatangan raksasa asing baru. Setelah sempat menuai polemik di Bali, WeChat Pay berencana menggandeng Bank Negara Indonesia sebagai mitra kerjanya.

Instrumen pembayaran besutan Tencent ini sepakat untuk tunduk pada Peraturan Bank Indonesia No. 19/8/PBI/2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional (GPN).

Ketentuan tersebut mengatur bahwa setiap prinsipal asing yang memproses transaksi pembayaran ritel di Indonesia harus bekerja sama dengan lembaga switching domestik. Selain itu, fintech asal Tiongkok ini juga wajib menempatkan dana nasabahnya di bank BUKU IV (modal inti di atas Rp30 triliun), serta terhubung ke GPN.

Ihwal kehadiran WeChat Pay tentu tidak terlepas dari masifnya jumlah turis Negeri Panda di Pulau Dewata. BPS mencatat wisatawan China menduduki peringkat tiga besar jumlah kunjungan wisatawan asing ke Indonesia.

Tak pelak kemudahan transaksi menjadi faktor penting bagi pelaku usaha (merchant) untuk meraup keuntungan dari wisatawan China. Bank Indonesia mengidentifikasi setidaknya ada 608 pelaku usaha di Bali yang melayani pembayaran via WeChat Pay.

Selain Bali, ekspansi WeChat Pay ke Amerika Serikat juga berangkat dari latar belakang yang sama. Di Negeri Paman Sam, aplikasi ini berkolaborasi dengan usaha rintisan bernama Swych dan Travelex menawarkan layanan bernama Travelex Pay.

BACA JUGA: NARASI EKSPANSI ALIPAY DAN WECHAT

Turis China tak perlu repot menyimpan banyak uang dolar dalam dompet. Cukup menggunakan WeChat Pay yang bersaldo yuan, proses konversi denominasi transaksi akan berlangsung secara otomatis layaknya kartu kredit.

Tidak dapat dipungkiri saat ini tengah marak bisnis financial technology (fintech) pembayaran oleh aplikasi pengirim pesan semacam WeChat.

Fenomena ini sejalan dengan studi Visa (2017) bertajuk “Innovations for a Cashless World: Consumer Desire and the Future of Payments”. Visa menyebut terdapat lima tren pembayaran di masa depan. Salah satunya ialah pembayaran lewat platform pengirim pesan (paying in messaging platform).

Sebelum WeChat Pay, beberapa aplikasi pengirim pesan sekaligus mobile payment sudah melebarkan dulu sayapnya di Indonesia.

Sebut saja LINE sebagai contoh. Aplikasi dari Negeri Sakura ini resmi meluncurkan layanan pembayaran bernama LINE Pay pada Oktober 2016. Untuk memuluskan aksi korporasi ini, LINE menjalin kerja sama dengan Mandiri e-cash.

Demikian pula Blackberry Messager (BBM). Awalnya BBM meluncurkan layanan pembayaran berlabel BBM Money pada tahun 2015. Namun fitur ini hanya bertahan selama satu tahun, kemudian ditutup pada pertengahan Juni 2016. Sampai pada Maret 2018, BBM menggaet fintech lokal bernama DANA sebagai penyedia uang elektronik.

Tidak hanya di Indonesia, perkembangan serupa juga sedang berlangsung di negara lain. Di Korea Selatan misalnya. Kakao Talk, aplikasi pengirim pesan terbesar di Negeri Ginseng memperkenalkan Kakao Pay pada September 2014. Yang terkini, Whatsapp Pay juga baru diluncurkan tahun ini, namun masih terbatas hanya di India.

Harus diakui jumlah pengguna yang jumbo merupakan modal dasar para penyedia aplikasi pengirim pesan masuk ke bisnis ini. Sejumlah analis menyebut WeChat Pay bersama Alipay menguasai 90% pangsa pasar transaksi non tunai.

BACA JUGA: POTENSI FINTECH GO PUBLIC DI TAHUN BABI TANAH

Kantor berita Reuters mengestimasi total transaksi WeChat Pay tahun 2016 mencapai US$556 miliar atau Rp7.410 triliun. Angka ini masih lebih besar ketimbang total transaksi kartu debit dan kredit di Indonesia tahun 2017 sebesar Rp6.498 triliun.

Invansi WeChat Pay ke Indonesia tentu akan semakin meramaikan kompetisi perebutan pangsa pasar uang elektronik nasional. Meskipun sudah sesak dengan banyak pemain yang terjun sebelumnya, nyatanya potensi pasar uang elektronik dalam negeri masih sangat terbuka lebar.

Mengutip Statistik Sistem Pembayaran, Bank Indonesia mencatat total transaksi uang elektronik selama sembilan bulan terakhir mencapai Rp31,67 triliun. Nilai tersebut tumbuh 156% dibandingkan total transaksi sepanjang tahun 2017.

Besarnya kue bisnis uang elektronik yang belum digarap juga dikonfirmasi oleh Morgan Stanley. Dalam laporan riset berjudul “Disruption Decode, Indonesia Banks: Fintech Unicorns Vs Bank Giants”, Morgan Stanley memprediksi penetrasi uang elektronik di Indonesia bakal meningkat mencapai 24% pada 2027. Kemunculan media pembayaran nontradisional ditengarai sebagai pemicu utamanya.

Salah satunya media pembayaran menggunakan Quick Response (QR) Code yang tengah naik daun. Konon fitur inilah yang menjadikan WeChat Pay begitu perkasa di negara asalnya.  Dengan hanya berbekal smartphone, pembayaran bisa diselesaikan dalam waktu 2 detik.

Setali tiga uang, biaya investasi untuk sistem QR Code jauh lebih murah dibandingkan mesin Electronic Data Capture (EDC) maupun ATM. Beberapa aplikasi pembayaran lokal berbasis QR Code diantaranya Tcash (Telkomsel), Go-Pay (GO-JEK) dan Ovo (Grup Lippo), dan Yap (BNI).

Potensi mendominasi

Kehadiran WeChat Pay di Indonesia tentu menjadi sebuah topik menarik untuk didiskusikan. Kedigdayaan WeChat Pay di Tiongkok secara tidak langsung pasti memunculkan sebuah pertanyaan lazim di benak banyak orang.

Apakah WeChat Pay akan menjadi game changer tren pembayaran Tanah Air atau justru malah kalah bersaing? Memang masih terlalu dini untuk mengambil sebuah kesimpulan jawaban. Namun, setidaknya terdapat beberapa pendekatan dari sisi makro yang dapat digunakan sebagai pijakan analisis.

BACA JUGA: TITIK AWAL SUPERIORITAS TEKFIN

Pertama, transaksi kartu debit masih mendominasi meskipun sudah banyak penyedia uang elektronik yang terjun sebelumnya. Di sisi lain, total volume transaksi uang elektronik tahun 2017 relatif kecil sebesar 16,57% dibandingkan kartu debit.

Meskipun terus menunjukkan adanya progress pertumbuhan yang signifikan, namun masih diperlukan waktu cukup panjang bagi penyedia uang elektronik sejenis WeChat Pay untuk menggeser posisi kartu debit.

Kedua, penetrasi smartphone di Indonesia lebih rendah dibandingkan negara lain. Hasil survei yang dilakukan Pew Research Center (2018) menemukan hanya 27 dari 100 orang dewasa di Indonesia yang menggunakan smartphone. Berbeda dengan China yang mencapai 68%.

Berkaca pada data tersebut, praktis medan akan yang dihadapi WeChat Pay lebih berat dibandingkan negara asalnya. Apalagi popularitas WeChat sebagai aplikasi pengirim pesan di Indonesia nyaris tenggelam diantara kompetitornya.

Meskipun hegemoni WeChat Pay bakal menemui jalan terjal, kita seyogyanya dapat mengambil pelajaran penting dari pengalaman ini. Alih-alih menjadi jago kandang, sudah saatnya usaha rintisan Indonesia terutama penyedia mobile payment menunjukkan eksistensinya di kancah global.

GO-JEK misalnya. Sebagai salah satu Unicorn Indonesia yang sudah merambahke pasar internasional, GO-JEK memiliki peluang besar memperkenalkan layanan Go-Pay di luar negeri. Semakin banyak usaha rintisan yang mengikuti jejak langkah serupa, niscaya posisi Indonesia di dunia ekonomi digital akan semakin diperhitungkan.

Artikel ini telah dimuat di Harian KONTAN 21 November 2018

Remon Samora

Remon Samora

I am a digital economy enthusiast, especially financial technology. Writing article for media is my side activity besides working as central bankers. I believe everyone must be 1% Better every single day in order to become the best version of ourself.

Social Media

Remon Samora

@remon.samora