NARASI EKSPANSI ALIPAY DAN WECHAT

Jul 14, 2020 | Articles on Media

Ibarat gadis cantik yang sedang diincar banyak pria, demikian gambaran Alipay dan WeChat di mata perbankan Tanah Air. Hingga akhir tahun 2018 empat bank besar, yakni BCA, BRI, BNI dan CIMB Niaga dikabarkan berminat menjalin kerja sama dengan dua pemain sistem pembayaran asal Tiongkok ini.

Kolaborasi tersebut sejalan dengan persyaratan yang digariskan Peraturan Bank Indonesia (PBI) nomor 20/6/PBI/2018 tentang Uang Elektronik.

Selain dilatarbelakangi oleh pemenuhan terhadap ketentuan bank sentral, ketertarikan perbankan domestik terhadap dua aplikasi ini berkaitan erat dengan besarnya potensi pendapatan non bunga dari perputaran uang oleh wisatawan Tiongkok.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa mayoritas masyarakat Negeri Tirai Bambu lebih nyaman bertransaksi secara non tunai menggunakan aplikasi besutan Tencent dan Alibaba.

Badan Pusat Statistik merilis jumlah kunjungan wisatawan Tiongkok ke Indonesia sepanjang Januari-Oktober 2018 sebanyak 1,87 juta. Dengan jumlah rata-rata belanja sebesar US$ 1.000 per orang, total nilai transaksi mencapai Rp26,18 triliun.

Artinya, potensi fee based income yang diperoleh setidaknya mencapai Rp410 miliar atau sekitar 1,57% dari total nilai transaksi (Bank DBS, 2018).

Di samping itu, peluang ini akan dimanfaatkan perbankan untuk meraup dana berbiaya murah. Pasalnya PBI di atas juga mewajibkan penerbit uang elektronik selain bank untuk menempatkan dana float minimal 30% dalam bentuk giro pada Bank BUKU IV (bank dengan modal inti di atas Rp30 triliun). Dana float ialah saldo mengendap di uang elektronik yang merupakan kewajiban penerbit kepada pengguna dan pedagang.

Tren QR Code

Ekspansi Alipay dan WeChat ke Indonesia tentu akan semakin meramaikan persaingan bisnis uang elektronik berbasis Quick Response (QR) Code.

Apalagi momentum tersebut turut didukung oleh proses penyusunan standarisasi QR Code oleh Bank Indonesia yang akan rampung tahun 2019. Maka tak heran Kartika Wirjoatmodjo, Direktur Utama Bank Mandiri memprediksi tahun 2020 akan terjadi perang besar antara pemain QR Code asing dan domestik.

BACA JUGA: ADU KUAT TEKFIN PEMBAYARAN

Bak gayung bersambut, kehadiran teknologi QR Code disambut antusias oleh para pemain lokal. Perbankan, operator seluler dan usaha rintisan (startup) turut berbondong-bondong mengadopsi inovasi ini untuk mendukung bisnis inti mereka.

Pada April 2018 Bank Indonesia mencatat terdapat 12 perusahaan yang telah mengantongi ijin pembayaran berfitur QR Code. Diantaranya Tcash (Telkomsel), Go-Pay (GO-JEK), Ovo (Grup Lippo), dan Yap (BNI)

Dalam konteks lebih luas, tidak dapat dipungkiri bahwa teknologi QR Code akan menjadi tren media pembayaran di masa depan. Fenomena ini sejalan studi Visa (2017) bertajuk “Innovations for a Cashless World: Consumer Desire and the Future of Payments”. Visa menyebut terdapat lima tren pembayaran di masa depan.

Salah satunya ialah pergeseran dari penggunaan alat pembayaran berupa kartu menjadi gawai cerdas (smart device). Tren ini turut didukung oleh teknologi QR Code yang memudahkan terjadinya transaksi dimanapun.

Perang QR Code sejatinya tidak hanya berlangsung di Indonesia. Fenomena ini justru telah berlangsung sebelumnya di Amerika Serikat. Dalam laporan berjudul “Bolstering Financial Inclusion in Indonesia”, Deloitte (2018) menyebut kehadiran Alipay dan WeChat di Negeri Paman Sam justru memicu adopsi teknologi QR Code dalam skala lebih luas.

Dua aplikasi ini bahkan telah menyulut ketertarikan jaringan toko ritel terbesar di Amerika, Walmart untuk menggunakan teknologi QR Code dalam aplikasi Walmart Pay.

BACA JUGA: MENGAKSELERASI PENETRASI FINTECH PEMBAYARAN

Meskipun hanya dibangun dalam sistem closed loop (berlaku hanya untuk pembelian produk dan jasa penerbit), Walmart menyatakan pembayaran dengan aplikasi ini justru meningkat signifikan. Nilai transaksinya ditaksir mengalahkan Apple Pay di pasar Amerika yang notabene telah diluncurkan lebih dahulu.

Transaksi non tunai

Apabila skenario tren QR Code tersebut berjalan lancar, kehadiran duo raksasa Tiongkok ini diharapkan dapat mendukung Gerakan Nasional Non Tunai yang dicanangkan oleh Bank Indonesia. Keberhasilan Alipay dan WeChat dalam mengubah lanskap sistem pembayaran di China menjadi less cash society patut menjadi topik diskursus menarik.

Sebagai perbandingan, mengutip laporan survei “Digital Payments: Thinking beyond Transactions”, PayPal menemukan bahwa 73% penduduk Indonesia masih lebih menyukai transaksi tunai. Angka ini lebih tinggi dibandingkan rata-rata penduduk Asia pada umumnya yang mencapai 57%.

Sementara itu, penduduk Tiongkok hanya 25%. Rendahnya preferensi transaksi tunai Tiongkok didukung oleh tingginya tingkat kesadaran terhadap produk dompet elektronik seperti Alipay dan WeChat, yaitu sebanyak 83% dari jumlah penduduk.

Tidak hanya di China, ekspansi dua aplikasi ini ke negara lain juga menuai kisah sukses serupa. Misalnya masuknya Alipay ke Finlandia pada tahun 2016. Aksi korporasi ini awalnya didorong oleh misi menyediakan layanan non tunai bagi wisatawan Tiongkok yang berkunjung ke sana.

Untuk memuluskan aksi ini, Alipay bekerja sama dengan pemain lokal, ePassi. ePassi berperan sebagai penyedia layanan gerbang pembayaran yang menghubungkan Alipay dengan jaringan merchant di Finlandia.

Layaknya simbiosis mutualisme, kolaborasi ini pada akhirnya memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak. Alipay meraup kenaikan pendapatan dari sisi pertumbuhan nilai transaksi dan jumlah pengguna aplikasi di luar negeri. Alipay tercatat menjadi penyedia mobile payment terbesar di Finlandia dengan pangsa pasar sebesar 30%.

BACA JUGA: MENGUKUR SEPAK TERJANG SUPER-FINTECH

Di sisi lain, ePassi dapat memperluas jaringan merchant seiring dengan masifnya kunjungan wisatawan Tiongkok ke Finlandia yang diperkirakan naik tiga kali lipat dalam dua tahun. Finlandia kini diklaim sebagai negara pertama untuk mampu menyediakan layanan non tunai secara penuh bagi wisatawan Tiongkok.

Inklusi keuangan

Ekspansi Alipay dan WeChat ke industri sistem pembayaran Indonesia tentu patut disambut positif sepanjang regulasi telah terpenuhi. Kehadiran kedua aplikasi ini berpotensi menyumbang sejumlah manfaat besar bagi negara kita.

Berkaca dari pengalaman di negara lain, keberadaan Alipay dan WeChat terbukti mampu mendongkrak kunjungan wisatawan Tiongkok. Terlebih lagi saat ini pemerintah sedang berupaya menggenjot penerimaan devisa pariwisata. Praktis kehadiran dua aplikasi ini akan turut mendukung pencapaian ambisi tersebut.

Dari perspektif makro ekonomi, ekspansi Alipay dan WeChat juga diekspektasikan memberikan ekses positif dalam jangka panjang. Yakni menstimulasi pemain baru teknologi finansial pembayaran dan percepatan adopsi teknologi QR Code bagi pelaku UMKM sebagai sasaran antara.

Sementara sasaran akhirnya ialah menggapai cita-cita menuju less cash society dan inklusi keuangan yang semakin tinggi dan merata.

Artikel ini telah dimuat di Harian INVESTOR DAILY 11 Januari 2019

Remon Samora

Remon Samora

I am a digital economy enthusiast, especially financial technology. Writing article for media is my side activity besides working as central bankers. I believe everyone must be 1% Better every single day in order to become the best version of ourself.

Social Media

Remon Samora

@remon.samora