Pemberitaan terkait Link Aja sebagai aplikasi super financial technology (fintech) terbilang sukses menyedot perhatian publik akhir-akhir ini. Platform uang elektronik hasil kongsi BUMN berkantong jumbo ini digadang-gadang sebagai penantang utama kedigdayaan Go-Pay dan OVO.
Maklum, beberapa riset menempatkan aplikasi besutan Go-Jek dan Grup Lippo tersebut selaku penguasa industri fintech pembayaran, bahkan mengalahkan perbankan.
Sebagai perbandingan, Bloomberg melaporkan total transaksi Go-Pay selama tahun 2018 mencapai Rp89 triliun. Nilai ini jauh lebih tinggi ketimbang transaksi uang elektronik bank-bank kelas kakap seperti Mandiri (Rp 13,35 triliun), BCA (Rp 4,04 triliun), dan BNI (Rp 880 miliar).
Apabila kompetisi sengit diantara ketiganya berjalan sesuai prediksi pelaku pasar, niscaya persaingan tersebut akan memberikan ekses positif terhadap perkembangan industri pembayaran digital Tanah Air.
Pasalnya karakteristik industri ini cenderung mengarah ke oligopoli yang ditandai dengan sedikitnya jumlah penjual, serta adanya perang promosi dan harga berskala masif.
Tatkala satu perusahaan menurunkan harga untuk memperoleh market share yang lebih besar, perusahaan lain juga akan menerapkan langkah serupa. Namun sebaliknya, upaya kenaikan harga satu perusahaan justru tidak akan diikuti oleh perusahaan lain.
Dalam teori ekonomi, situasi ini dikenal dengan terminologi kurva permintaan patah (kinked demand curve). Implikasinya, konsumen akan diuntungkan sehingga industri ini akan berkembang sangat cepat dalam waktu relatif singkat.
BACA JUGA: BABAK BARU SISTEM PEMBAYARAN GPN
Premis ini turut didukung kajian sejumlah lembaga keuangan internasional. Dalam laporan bertajuk “Indonesia Banks: Fintech continues to lead digital payment market”, Morgan Stanley memproyeksi pasar pembayaran digital Indonesia akan menembus US$ 50 miliar atau setara Rp 700 triliun pada tahun 2027.
Menurut hasil kalkulasi bank investasi multinasional asal Amerika Serikat ini, laju pertumbuhan majemuk tahunan transaksi uang elektronik dalam lima tahun terakhir mencapai 75%.
Setali tiga uang, statistik sistem pembayaran Bank Indonesia menunjukkan volume transaksi uang elektronik tahun 2018 mencapai Rp41,19 triliun atau tumbuh menjadi lebih dari tiga kali lipat dibanding tahun sebelumnya.
Meskipun demikian, masih terdapat satu catatan krusial yang menjadi pekerjaan rumah ke depan, yaitu mengakselerasi tingkat penetrasi fintech pembayaran.
Dengan tingkat pertumbuhan transaksi uang elektronik yang berlangsung eksponensial, porsi pembayaran digital terhadap total transaksi non tunai melambung dari 1,3% pada tahun 2016 menjadi 7,3% pada tahun 2018. Morgan Stanley menilai pencapaian Indonesia mirip dengan India empat tahun silam.
Hasil senada juga diungkapkan oleh kantor konsultan manajemen global, McKinsey yang menyebut tingkat penggunaan layanan fintech pembayaran baru mencapai 5%. Posisi Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara Asia lain, seperti Tiongkok (67%) dan India (39%).
Salah satu faktor penting yang mendorong keberhasilan penetrasi fintech di kedua negara ini ialah kehadiran pemain raksasa seperti Alibaba, Tencent dan PayTM.
BACA JUGA: 2018, SUKU BUNGA BANK TURUN. MUNGKINKAH?
McKinsey mencatat Alipay milik Alibaba dan WeChat Pay milik Tencent menguasai pangsa pasar pembayaran digital di Cina sekitar 94% dengan basis nasabah aktif lebih dari 500 juta. Sementara PayTM di India memiliki lebih dari 200 juta nasabah dan lima juta merchant.
Belajar dari Tiongkok
Dari sudut pandang makroekonomi, tingginya penetrasi fintech pembayaran di Tiongkok tentu tidak bisa dilepaskan dari dukungan kondisi ekonomi dan ekosistem industri Negeri Tirai Bambu lebih dari satu dekade lalu. Setidaknya terdapat tiga poin prinsipil yang menjadi kunci sukses.
Pertama, rendahnya penetrasi kartu kredit di Negeri Tirai Bambu tahun 2007. Kala itu penetrasi kartu kredit China hanya 0,31 kartu per kapita, jauh lebih rendah daripada Amerika Serikat yang mencapai 2,5 kartu per kapita.
Persyaratan yang ketat oleh perbankan untuk pengajuan aplikasi kartu kredit menjadi penyebabnya. Alhasil, escrow service yang ditawarkan Alipay bisa diterima luas oleh konsumen.
Kedua, pesatnya pertumbuhan pengguna ponsel cerdas (smartphone). Pada periode 2008-2014, pengguna mobile internet di China meningkat signifikan dari 118 juta orang (2008) menjadi 557 juta (2014).
Di sisi lain, pada tahun 2011 penetrasi mobile e-commerce (pembelian melalui ponsel) Alibaba Group masih di bawah 15%. Angka ini kemudian melesat mendekati 50% pada tahun 2015 dan diperkirakan mencapai 85% pada tahun 2018.
Ketiga, adanya pergeseran menuju era consumption-driven economy pada tahun 2008. Tingginya pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang sempat mencapai double digit ikut mendongkrak daya beli dan mengubah gaya berbelanja masyarakat.
BACA JUGA: TANTANGAN DI MAKING INDONESIA 4.0
Tak pelak, situs perdagangan online milik miliader Jack Ma, yakni Alibaba (business-to-business), Taobao (consumer-to-consumer) dan Tmall (business-to-consumer) dibanjiri lonjakan transaksi yang fantastis. Tak heran, Alipay sebagai pemain utama instrumen pembayaran digital juga ikut menikmati imbasnya.
Bagaimana dengan Indonesia? Boleh dibilang kondisi negara kita serupa, tapi tidak sama dengan Tiongkok. Bank Indonesia mencatat jumlah kartu kredit beredar per Desember 2018 sebesar 17,28 juta kartu. Dengan asumsi jumlah penduduk sebanyak 250 juta jiwa, rasio kartu kredit per kapita Indonesia berkisar 0,07.
Walaupun hampir sama rendahnya dengan Tiongkok, namun dari perspektif time horizon kondisi ini justru menegaskan tantangan inklusi dan literasi keuangan Indonesia yang masih harus ditingkatkan.
Hasil survei PayPal “Digital Payments: Thinking beyond Transactions” seakan mengkonfirmasi argumen ini. Dalam publikasi laporannya, PayPal menemukan bahwa 73% penduduk Indonesia masih lebih menyukai transaksi tunai. Angka ini lebih tinggi dibandingkan rata-rata penduduk Asia pada umumnya yang mencapai 57%.
Sementara itu, penduduk Tiongkok hanya 25%. Tidaklah mengejutkan jika pada akhirnya preferensi untuk menggunakan instrumen non tunai, termasuk fintech pembayaran di Indonesia masih rendah.
Terkait dengan pertumbuhan pengguna ponsel cerdas, Indonesia nyatanya juga sedang mengalami smartphone booming dalam beberapa tahun terakhir.
Lembaga riset pemasaran digital, Emarketer memperkirakan jumlah pengguna aktif ponsel cerdas di Indonesia pada tahun 2018 mencapai lebih dari 100 juta orang. Jumlah ini akan menempatkan Indonesia sebagai negara dengan pengguna aktif ponsel cerdas terbesar keempat di dunia.
BACA JUGA: MENYOAL DAYA SAING BANK KECIL
Sayangnya, jumlah tersebut tidak didukung oleh tingkat penetrasi smartphone yang merata. Hasil survei yang dilakukan Pew Research Center (2018) menemukan hanya 27 dari 100 orang dewasa di Indonesia yang menggunakan smartphone. Berbeda dengan China yang mencapai 68%.
Dari sisi pertumbuhan ekonomi, Produk Domestik Bruto Indonesia turut ditopang oleh variabel konsumsi. Namun dengan pertumbuhan ekonomi yang stagnan di kisaran 5%, praktis kegiatan perdagangan lewat situs e-commerce dan pembayaran via fintech di Indonesia belum bisa berlari sekencang Tiongkok.
Melihat konfigurasi permasalahan tersebut, isu pertumbuhan ekonomi sejatinya merupakan aspek paling fundamental untuk mengakselerasi tingkat penetrasi fintech pembayaran. Kendati terkesan normatif, namun pada kenyataannya pertumbuhan ekonomi menjadi benang merah ketiga kunci sukses di atas.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan stabil akan mengungkit tingkat konsumsi masyarakat, aktivitas jual beli online dan penjualan ponsel cerdas pun semakin menggeliat, lalu media untuk mengedukasi konsumen bertransaksi non tunai juga akan kian meluas.
Artikel ini telah dimuat di Harian INVESTOR DAILY 14 Maret 2019