TANTANGAN DI MAKING INDONESIA 4.0

Jul 14, 2020 | Articles on Media

Dunia perindustrian tengah memasuki babak baru pasca pencanangan Making Indonesia 4.0. Dalam konsepsinya, Making Indonesia 4.0 diposisikan sebagai peta jalan pengembangan industri manufaktur ke depan dan strategi pemerintah menghadapi revolusi industri keempat.

Tak tanggung-tanggung, sejumlah target ambisius pun langsung disasar Kementerian Perindustrian. Making Indonesia 4.0 diyakini  mampu mengantarkan Indonesia masuk dalam peringkat 10 ekonomi terbesar dunia pada tahun 2030.

Secara hitungan matematis, optimisme pemerintah didukung oleh proyeksi PDB riil yang tumbuh menjadi 6-7% pada 2018-2030.

Akselerasi pertumbuhan tersebut akan didukung oleh kontribusi industri manufaktur sebesar 21-26% terhadap PDB pada 2030 atau naik dari posisi saat ini sebesar 20%. Selain itu, pemerintah juga menargetkan pembukaan 10 juta lapangan kerja baru hingga tahun 2030.

Dalam konteks kekinian, kehadiran Making Indonesia 4.0 dapat menjadi alternatif solusi untuk mengungkit kinerja ekspor. Masih segar dalam benak kita bagaimana Presiden Jokowi mengeluhkan nilai ekspor Indonesia yang kalah dibanding negara tetangga.

Menariknya, ketertinggalan ekspor Indonesia dapat dijelaskan melalui perbandingan porsi ekspor produk manufaktur terhadap total ekspor. Ekspor produk manufaktur Indonesia berkontribusi sebesar 74% terhadap total ekspor, lebih rendah dari Thailand (88%) dan Malaysia (82%).

Untuk memuluskan rencana tersebut, pemerintah menetapkan lima sektor industri prioritas yang menjadi fokus pengembangan ke depan, yaitu makanan dan minuman, otomotif, elektronik, kimia, serta tekstil.

BACA JUGA: ERA OPEN BANKING SISTEM PEMBAYARAN

Secara khusus, pemilihan industri otomotif dan elektronik tersebut dinilai sudah tepat, terutama jika dikaitkan dengan upaya mendongkrak ekspor Indonesia.

United Nations Industrial Development Organization (UNIDO) menempatkan Competitive Industrial Performance Index Indonesia pada peringkat ke-38, di bawah Malaysia (22) dan Thailand (25).

Salah satu poin yang menyurutkan nilai indeks Indonesia ialah porsi ekspor produk manufaktur teknologi menengah dan tinggi yang cenderung menurun. Ekspor produk elektronik Indonesia pada tahun 2012 sebesar 10% terhadap total ekspor produk manufaktur, terus menyusut menjadi 7% pada tahun 2017.

Tiga catatan penting

Dalam rencana implementasinya, Kementerian Perindustrian telah menyusun sepuluh inisiatif nasional yang bersifat lintas sektoral untuk mempercepat perkembangan industri manufaktur di Indonesia. Apabila dianalis lebih lanjut, terdapat beberapa catatan penting yang patut dicermati.

Pertama, dukungan lembaga pembiayaan terhadap industri manufaktur. Tidak dapat dimungkiri bahwa pengembangan industri manufaktur sangat erat kaitannya dengan peran serta perbankan sebagai opsi sumber pendanaan.

Per Desember 2017, kredit bank umum ke sektor industri pengolahan sebesar Rp824 triliun dan menduduki peringkat kedua kredit terbesar setelah sektor perdagangan. Nilai pinjaman tersebut mencerminkan porsi sebesar 17% terhadap total kredit bank umum.  

Kabar baiknya ialah suku bunga kredit industri pengolahan telah menyentuh level single digit sesuai harapan pemerintah. Mengutip Statistik Perbankan Indonesia, suku bunga pinjaman ke sektor manufaktur tercatat dalam tren melandai selama tiga tahun terakhir, dari 11,63% pada 2014 turun menjadi 9,65% pada akhir 2017.

Ke depan, perlu dipikirkan lebih lanjut perihal dukungan usaha rintisan fintech dalam pengembangan industri manufaktur nasional. Kita tidak boleh melupakan ihwal bisnis fintech yang lahir sebagai bagian dari revolusi industri keempat di industi keuangan. Karena itu tidak elok rasanya jika kehadiran fintech di tanah air tidak ikut dilibatkan.

BACA JUGA: MENGALKULASI RISIKO LIBRA FACEBOOK

Tak ayal peran Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan sangat strategis untuk mendukung kelancaran penyaluran kredit perbankan dan fintech, terutama ke lima sektor industri prioritas.

Kedua, peningkatan belanja riset. Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi mencatat belanja riset tahun 2017 sebesar Rp30 triliun (0,25% dari PDB). Nilai tersebut masih lebih rendah dibandingkan Korea Selatan (4,3%) dan Jepang (3,6%). Tidak mengherankan apabila kondisi ini berimbas pada minimnya jumlah paten Indonesia.

World Intellectual Property Organization mencatat jumlah permohonan paten internasional asal Indonesia selama tahun 2016 mencapai 15 permohonan, lebih rendah dibandingkan negara tetangga, seperti Singapura (879), Malaysia (190) dan Thailand (155).

Rencana pemerintah untuk mengalokasikan anggaran penelitian dan pengembangan sebesar 2% dari GDP tentu patut diapresiasi. Namun upaya ini harus dioptimalkan dengan mendorong keikutsertaan pihak swasta untuk mengejar ketertinggalan Indonesia.

Optimalisasi dana Corporate Social Responsibility maupun pemberian insentif/stimulus fiskal untuk aktivitas riset menjadi alternatif kebijakan yang dapat dipertimbangkan.

Ketiga, kurikulum pendidikan tidak cukup hanya menekankan kompetensi di bidang STEAM (Science, Technology, Engineering, Arts and Mathematics). Materi pengajaran harus diperkaya dengan muatan kewirausahaan untuk mendorong lahirnya technopreneur baru.

Perlu disadari bahwa salah satu polemik kemunculan revolusi industri keempat ialah efek disrupsinya terhadap korporasi incumbent. Alhasil, ancaman pengangguran dalam skala besar menjadi konsekuensi logis yang tidak terhindarkan.

Itu sebabnya kemunculan para technopreneur menjadi sebuah kebutuhan mendesak untuk mereduksi dampak negatif dari revolusi industri keempat.

Terkait peran penting pengusaha teknologi ini, menarik untuk melihat pandangan Klaus Schwab dalam buku “The Fourth Industry Revolution”. Schwab menyatakan bahwa revolusi industri akan selalu membawa dua imbas utama yang saling berlawanan, yaitu destruction effect dan capitalization effect.

Destruction effect timbul sebagai dampak disrupsi teknologi dan otomatisasi yang mensubstitusi kebutuhan tenaga kerja. Di sisi lain, capitalization effect dideskripsikan sebagai dampak atas meningkatnya permintaan barang dan jasa baru yang pada akhirnya akan menciptakan lapangan kerja baru di industri yang baru.

BACA JUGA: MENIMBANG DESAIN DIGITAL RUPIAH

Para technopreneur diekspektasikan mampu menciptakan capitalization effect yang lebih besar ketimbang destruction effect, melalui penciptaan lapangan pekerjaan lintas sektor di luar bisnis intinya. Perusahaan transportasi ojek online menjadi contoh studi kasus yang patut didiskusikan.

Harus diakui kehadirannya sempat mengganggu kestabilan usaha ojek konvensional dan usaha angkutan umum. Namun di sisi lain, kita juga dapat mengamati multiplier effect yang diciptakan, mulai dari minat mitra pengemudi baru yang membludak, order pesanan rumah makan yang meningkat pesat, serta lahirnya sejumlah UMKM baru.

Making Indonesia 4.0 memang menjanjikan sebuah impian dan visi besar bagi perekonomian kita. Namun hal itu tentu bukanlah pekerjaan yang mudah. Itu sebabnya komitmen pemerintah untuk mengimplementasikan Making Indonesia 4.0 wajib didukung oleh setiap pihak.

Tidak hanya sebagai agenda nasional, namun Making Indonesia 4.0 juga wajib menjadi agenda prioritas pemerintah provinsi dan kabupaten/kota sehingga sinergitas pusat dan daerah dapat terwujud.

Artikel ini telah dimuat di Harian KONTAN 18 April 2018

Remon Samora

Remon Samora

I am a digital economy enthusiast, especially financial technology. Writing article for media is my side activity besides working as central bankers. I believe everyone must be 1% Better every single day in order to become the best version of ourself.

Social Media

Remon Samora

@remon.samora