Prinsip hukum rimba tampaknya semakin relevan di industri perbankan. Teori ini berbunyi “Bank yang kuat, bank itulah yang akan menang”. Benar saja konsep ini terkonfirmasi oleh laba bank kecil yang anjlok sepanjang 2017. Sementara itu, bank besar justru panen laba pada saat yang sama.
Mengutip data Statistik Perbankan Indonesia, OJK merilis laba bank umum BUKU 1 dan BUKU 2 pada tahun 2017 mengalami kontraksi, masing-masing sebesar -17% dan -8%.
Di sisi lain, laba bank umum BUKU 3 dan BUKU 4 justru tumbuh signifikan sebesar 34% dan 25%. Tak pelak kondisi kontradiktif ini memunculkan pertanyaan mendasar “Ada apa dengan kinerja bank kecil?”.
Apabila laporan keuangan bank dibedah lebih lanjut, ternyata akar permasalahan bank kecil bersumber dari penurunan pendapatan bunga kredit, terutama kelompok BUKU 1 yang mencapai -41%.
Secara historis, kondisi anjloknya laba bank kecil ini sebenarnya tidaklah mengejutkan dan sudah bisa diprediksi sebelumnya. Nilai kredit bank kecil yang terus melorot sejak awal tahun 2017 dapat menjadi leading indicator laba yang akan diperoleh di akhir tahun.
Ada tiga argumen yang dapat menjelaskan alasan kredit bank kecil turun. Pertama, tingginya biaya dana bank kecil. Suku bunga deposito bank umum BUKU 1 dan BUKU 2 sebesar 7,14% dan 6,50%. Sementara itu, BUKU 3 dan BUKU 4 sebesar 5,99% dan 5,07%.
Logikanya semakin tinggi suku bunga simpanan, semakin tinggi pula suku bunga pinjaman yang dikenakan kepada debitur. Dari situlah nalar ekonomi debitur akan terdorong untuk memilih bank dengan suku bunga kredit terendah. Imbasnya kemudian debitur bank kecil mengalihkan kreditnya ke bank besar alias take over.
BACA JUGA: MENIMBANG DESAIN DIGITAL RUPIAH
Kedua, inefisiensi biaya operasional. Sepanjang tahun 2017 rasio Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) bank kecil meningkat sebesar 6% untuk BUKU 1 dan 2% untuk BUKU 2. Di lain pihak, bank BUKU 4 justru dapat menurunkan rasio BOPO sebesar 12% pada saat yang sama.
Menariknya, bank kecil terkesan lambat dalam mengendalikan biaya operasionalnya tatkala potensi penurunan pendapatan bunga sudah dapat diproyeksikan. Seyogyanya perbankan berlomba-lomba melakukan efisiensi operasional di tengah kontraksi penyaluran kredit.
Ketiga, layanan nasabah masih zaman old. Rata-rata bank BUKU 1 belum menjadi penerbit kartu kredit maupun menyediakan layanan electronic banking. Kekosongan dua layanan ini disinyalir menjadi salah satu penyebab pamor bank BUKU 1 semakin ditinggalkan nasabah.
Apalagi dengan berkembangnya teknologi saat ini, sudah banyak layanan fintech yang dapat menawarkan jasa mirip electronic banking. Segala jenis layanan keuangan bak oleh perbankan sudah dapat diakses oleh nasabah hanya bermodalkan smartphone di genggaman tangan.
Merger dan akuisisi
Di atas kertas, opsi terbaik yang dapat dilakukan bank kecil untuk meningkatkan daya saingnya ialah melakukan merger atau akuisisi. Selama tahun 2017 tercatat ada tiga aksi korporasi merger di industri perbankan.
Pertama, merger Bank Shinhan dengan Bank Centratama Nasional menjadi Bank Shinhan. Kedua, merger Bank Windu Kentjana International dan Bank Antardaerah menjadi Bank China Construction Bank Indonesia. Ketiga, integrasi Bank HSBC Indonesia dengan Kantor Cabang Bank Asing (KCBA) HSBC menjadi Bank HSBC Indonesia.
BACA JUGA: MENDORONG INDUSTRI BERBASIS INOVASI
Secara umum, kinerja keuangan bank pasca merger menunjukkan adanya perbaikan, tercermin dari peningkatan kualitas kredit dan rentabilitas bank.
Setali tiga uang, fenomena akuisisi bank kecil turut menyita perhatian dalam beberapa kurun tahun terakhir. Di awal tahun ini saja setidaknya sudah beredar agenda akuisisi oleh dua bank besar.
Bank BRI lewat anak usahanya BRI Agroniaga berencana untuk mencaplok dua bank kecil dengan. Rencana serupa juga sedang disiapkan oleh BCA untuk mengakuisisi dua bank kecil yang digadang-gadang berlangsung di paruh pertama tahun ini.
Aksi korporasi semacam ini dapat dipandang layaknya dua sisi uang logam. Bisa diartikan sebagai strategi ekspansi anorganik bank besar, namun di sisi lain juga dapat diterjemahkan sebagai tindakan perbaikan kinerja bank kecil sebelum mengalami kerugian lebih dalam.
Ke depannya, tidak menutup kemungkinan aksi akuisisi semacam ini akan semakin marak, terutama oleh bank asing.
Ketertarikan bank asing terhadap bank kecil di Indonesia tentu tidak terlepas dari margin industri perbankan Indonesia yang masih cukup menggiurkan. Rasio Net Interest Margin (NIM) perbankan Indonesia masih di atas 5%, lebih tinggi ketimbang rata-rata perbankan di Asia yang berkisar 1-2%.
Dengan biaya dana yang lebih murah di negara asal, pinjaman bank asing kepada debitur di tanah air akan semakin mudah lewat anak usahanya.
Ibarat simbiosis mutualisme, kedua belah pihak saling diuntungkan. Bank asing selaku induk usaha bisa memperoleh margin yang lebih besar. Di sisi lain, bank kecil selaku anak usaha memperoleh tambahan modal dan suntikan dana murah sebagai alternatif sumber likuiditas.
BACA JUGA: MENANTANG HEGEMONI BANK BESAR
Dengan demikian, bank kecil dapat memperluas cakupan layanan nasabahnya sembari menyesuaikan suku bunga pinjamannya menjadi lebih kompetitif.
Harus diakui bahwa proses merger dan akuisisi memang bukanlah perkara mudah dan murah. Ada banyak hal yang patut dipertimbangkan, baik dari sisi teknis maupun non teknis. Namun demikian, urgensi merger dan akuisisi bank kecil menjadi semakin penting mengingat era pasar bebas perbankan ASEAN pada tahun 2020.
Belum lagi ancaman oleh fintech P2P lending yang saat ini terus berkembang pesat. Nilai pinjaman usaha rintisan ini pada tahun 2017 mencapai Rp2,56 triliun atau tumbuh 800% dibandingkan tahun sebelumnya. Artinya, apabila bank kecil tidak mulai berbenah diri sejak dini, bisa saja proses kebangkrutan sebenarnya hanya menunggu masalah waktu.
Artikel ini telah dimuat di Harian BISNIS INDONESIA 31 Maret 2018