MENDORONG INDUSTRI BERBASIS INOVASI

Jul 14, 2020 | Articles on Media

Kabar angin segar berhembus pasca dirilisnya Laporan Konsultasi Article IV untuk Indonesia 2017 oleh IMF. Dalam kajiannya, IMF meyakini akselerasi perekonomian Indonesia akan terus berlanjut dalam jangka menengah pendek.

Pertumbuhan ekonomi diproyeksi akan meningkat secara bertahap hingga mencapai 6,5% pada tahun 2022. Prediksi tersebut tentu cukup menggembirakan di tengah stagnasi pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5% dalam lima tahun terakhir.

Untuk merealisasikannya, IMF mensyaratkan adanya reformasi struktural untuk meningkatkan produktifitas dan menarik investasi untuk pembiayaan pembangunan.

Jika dirinci, IMF mencatat beberapa faktor penting sebagai pendorong utama optimisme tersebut. Pembangunan infrastruktur, Total Faktor Produksi, investasi pemerintah dan swasta, serta tingkat ketenagakerjaan akan menjadi pendongkrak pertumbuhan hingga lima tahun ke depan.

Menariknya, proyeksi angka tersebut dinilai masih belum cukup aman menurut sebagian kalangan ekonom. Alasannya sederhana, ekonomi Indonesia masih dibayang-bayangi oleh jebakan kelas menengah (middle income trap).

Indonesia saat ini masuk dalam kategori negara berpendapatan menengah bawah dengan PDB per kapita sebesar US$3.877 pada tahun 2017. Dibutuhkan rata-rata pertumbuhan ekonomi minimal 9,75% untuk keluar dari jebakan kelas menengah pada tahun 2030.

BACA JUGA: MEMBACA ARAH UTANG INDONESIA 2018

Mengapa harus tahun 2030? Karena bonus demografi yang menjadi motor penggerak perekonomian diperkirakan akan berakhir tahun tersebut.  

Pergeseran orientasi industri

Secara historis, pertumbuhan ekonomi Indonesia belum pernah di atas 9% selama dua dekade terakhir. Meskipun nampak sulit untuk tercapai, namun peluang tersebut mungkin saja bisa diraih dalam jangka panjang asalkan industrialisasi menjadi fokus agenda perekonomian ke depan.

Harus diakui saat ini polemik deindustrialisasi masih menjadi momok. Kontribusi industri manufaktur sempat mencapai 28% terhadap PDB pada tahun 2004. Namun, kontribusinya kini hanya mencapai 20% sepanjang tahun 2017.

Artinya, telah terjadi penurunan kontribusi industri manufaktur sebesar 8% dalam kurun waktu 13 tahun terakhir.

Dalam teori ekonomi, salah satu permasalahan krusial di bidang industri ialah isu pengupahan. Ketika masih tergolong berpendapatan rendah, sebuah negara memiliki keunggulan komparatif berupa tingkat upah buruh yang rendah sebagai daya tarik investasi.

Dengan biaya tenaga kerja yang murah, harga produk di pasar internasional menjadi kompetitif. Namun keunggulan ini tidak akan bertahan selamanya. Seiring dengan geliat ekonomi yang semakin bertumbuh, tingkat upah buruh juga akan naik setiap tahunnya. Akibatnya, biaya produksi meningkat sehingga harga produk tidak lagi kompetitif.

Jika dibiarkan terus berlangsung, maka akan terjadi fenomena ‘angsa terbang’ (the flying geese). Sederhananya, pelaku industri akan berbondong-bondong memindahkan pusat produksinya ke negara lain yang memiliki tingkat upah buruh lebih rendah.

Dalam satu dasawarsa terakhir, kita bisa mengamati fenomena ini ketika korporasi top dunia di China, serta beberapa industri di Indonesia ramai-ramai mengalihkan pabrik produksinya ke Vietnam. Alhasil, ekonomi Vietnam tumbuh pesat beberapa tahun terakhir.

Pelajaran dari fenomena di atas ialah pentingnya mengurangi ketergantungan industri terhadap tingkat upah buruh murah. Sebagai penggantinya, daya saing industri ke depan sebaiknya diorientasikan ke berbasis inovasi yang tercermin dari produk manufaktur berteknologi tinggi.

BACA JUGA: MENATAP RISIKO EKONOMI TAHUN 2019

Jika dibuat perbandingan, produk ekspor manufaktur Indonesia masih didominasi oleh minyak kelapa sawit (15%) dan tekstil (10%), sangat kontras dengan Thailand yang didominasi produk otomotif (17%) dan elektronik (17%).

Tidak mengherankan jika beberapa waktu lalu Presiden Jokowi sempat mengeluhkan ketertinggalan ekspor Indonesia dibandingkan negara tetangga.

United Nations Industrial Development Organization (UNIDO) menempatkan Competitive Industrial Performance Index Indonesia pada peringkat ke-38 dari 144 negara, di bawah Thailand yang menempati posisi ke- 25.

UNIDO menilai salah satu poin yang membebani indeks Indonesia ialah porsi ekspor produk manufaktur berteknologi menengah dan tinggi yang cenderung menurun.

Sebagai gambaran, ekspor produk elektronik Indonesia pada tahun 2012 sebesar 10% terhadap total ekspor produk manufaktur, kemudian menyusut menjadi 7% pada tahun 2017.

Inovasi dan pendidikan

Dalam rangka mendorong pengembangan industri produk manufaktur berteknologi menengah dan tinggi, diperlukan inovasi dan pendidikan untuk meningkatkan produktifitas dan kualitas SDM.

Indonesia saat ini menduduki peringkat ke 87 dari total 127 negara pada Global Innovation Index 2017. Apabila ditelisik lebih lanjut, terdapat tiga aspek fundamental yang menjadi sorotan dalam laporan tersebut.

Pertama, minimnya belanja riset. Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi mencatat belanja riset tahun 2017 sebesar sebesar Rp30 triliun (0,25% dari PDB), dengan kontribusi pemerintah mencapai 80%. Nilai tersebut masih lebih rendah dibandingkan Korea Selatan (4,3%) dan Jepang (3,6%).

Kajian Asian Development Bank (ADB) menyebutkan agar negara berpendapatan menengah naik kelas dibutuhkan akumulasi riset dan penelitian lebih dari dua setengah kali lipat dibandingkan negara berpendapatan menengah lainnya.

Untuk itu, diperlukan strategi khusus mendorong swasta untuk mau berkontribusi lebih besar, misalnya melalui insentif fiskal.

Kedua, kurangnya jumlah paten. Nilai belanja riset yang masih minim akan berimbas pada jumlah paten yang minim pula.

Berdasarkan data World Intellectual Property Organization (WIPO) pada pertengahan Maret 2017, jumlah permohonan paten internasional asal Indonesia selama tahun 2016 mencapai 15 permohonan, meningkat dibandingkan tahun 2015 yang hanya enam permohonan.

Lagi-lagi, jumlah permohonan tersebut masih lebih rendah dibandingkan negara tetangga, seperti Singapura (879), Malaysia (190) dan Thailand (155).

BACA JUGA: KETENAGAKERJAAN DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0

Ketiga, tingkat pendidikan tenaga kerja. BPS merilis penyerapan tenaga kerja hingga Agustus 2017 masih didominasi oleh pekerja berpendidikan rendah (SMP ke bawah) sebanyak 60%.

Sementara itu, kontribusi pekerja berpendidikan menengah (SMA sederajat) dan tinggi (diploma dan universitas) masing-masing sebesar 28% dan 12%. Artinya, tingkat partisipasi pendidikan tinggi masih harus ditingkatkan untuk menaikan kualitas SDM.

Di samping itu, pemerintah juga perlu menstimulasi swasta untuk mendirikan lembaga-lembaga pelatihan formal sebagai jembatan penghubung kebutuhan kompetensi industri.

Lembaga tersebut bisa dibentuk secara khusus oleh korporasi untuk melatih SDM internal, maupun lembaga pelatihan murni yang bisa diakses oleh masyarakat umum. Di sinilah peran perguruan tinggi dan lembaga nirlaba sangat dibutuhkan sebagai inisiator awal dan role model bagi korporasi.

Mendorong industri berbasis inovasi memang bukanlah pekerjaan mudah. Namun perlu disadari bahwa dunia, termasuk Indonesia sedang memasuki revolusi industri keempat.

Teknologi dan sistem informasi akan menjadi elemen ketiga bahan bakar pertumbuhan ekonomi, di samping infrastruktur dan bonus demografi. Jika tidak diantisipasi sejak dini, bisa jadi jebakan kelas menengah akan sulit dielakkan.

Artikel ini telah dimuat di Harian INVESTOR DAILY 10 Maret 2018

Remon Samora

Remon Samora

I am a digital economy enthusiast, especially financial technology. Writing article for media is my side activity besides working as central bankers. I believe everyone must be 1% Better every single day in order to become the best version of ourself.

Social Media

Remon Samora

@remon.samora