Bank sentral Tiongkok atau People’s Bank of China (PBoC) kembali melakukan inovasi sistem pembayaran. Tatkala negara lain masih berjibaku dengan pandemi Covid-19, Negeri Tirai Bambu justru hadir membawa gebrakan.
Adalah Digital Currency Electronic Payment (DCEP) atau yang lebih akrab disebut renminbi digital (e-RMB) sebagai pemicunya. Momentum implementasi e-RMB dinilai sangat tepat di tengah adopsi tren pembayaran non tunai yang kian menanjak akibat Covid-19.
Tiongkok dikabarkan telah memulai uji coba e-RMB secara besar-besaran. Media Inggris The Guardian melaporkan bahwa Tiongkok telah memulai uji coba di beberapa kota, termasuk Shenzhen, Suzhou, Chengdu, Xiongan, dan beberapa daerah lain yang akan menjadi tuan rumah beberapa acara untuk Olimpiade Musim Dingin 2022 Beijing.
Setali tiga uang, media lokal juga menyebut bahwa gaji pegawai pemerintahan di Suzhou akan dibayarkan dalam e-RMB mulai Mei 2020. Empat bank telah disiagakan untuk melancarkan proses pembayaran gaji via digital tersebut.
Keempat bank itu meliputi Bank of China, the Agricultural Bank of China, the Industrial and Commercial Bank of China, dan the China Construction Bank.
Secara historis, kemunculan e-RMB di tahun 2020 sebenarnya tidaklah mengejutkan. Awalnya e-RMB dikembangkan oleh PBoC pada tahun 2014 untuk menghadang popularitas Bitcoin.
Tujuan lainnya ialah untuk mengontrol pergerakan uang digital, mencegah tindak pencucian uang dan penggelapan pajak, serta untuk mengikis dominasi dolar Amerika Serikat. Dalam perjalanannya, PBoC mempercepat peluncuran e-RMB pasca pengumuman rencana kemunculan Libra, mata uang digital besutan Facebook tahun lalu.
BACA JUGA: MENIMBANG DESAIN DIGITAL RUPIAH
Seolah tak ingin ketinggalan dari Tiongkok, Korea Selatan baru saja merilis perkembangan terbaru dari rencana pengembangan mata uang won digital.
Bank sentral Korea Selatan, Bank of Korea menyatakan bahwa pemerintah Korea Selatan telah memulai proyek percontohan pengembangan won digital sejak Mei 2020 dan hingga akhir Desember 2021 mendatang. Dengan durasi sekitar 22 bulan, pemerintah Korea Selatan ingin mengidentifikasi lebih mendalam terkait segala ketentuan teknis dan hukum yang diperlukan untuk nantinya won digital benar-benar diterbitkan.
Bertolak dari fenomena di atas, menjadi topik diskursus menarik apakah mata uang digital yang diterbitkan bank sentral atau Central Bank Digital Currency (CBDC) hanyalah pencitraan sesaat? Mengutip hasil penelitian Bank for International Settlements (BIS) pada awal tahun ini, bisa jadi CBDC merupakan sebuah tatanan baru pasca pandemi Covid-19 di masa depan.
Hasil riset BIS menunjukkan dalam beberapa tahun ke depan banyak bank sentral yang kemungkinan akan mengeluarkan mata uang digital mereka sendiri.
Sekitar 20 persen dari 66 bank sentral yang disurvei BIS mengatakan mereka kemungkinan akan mengeluarkan mata uang digital dalam enam tahun ke depan, naik dari sekitar 10 persen tahun sebelumnya. Akselarasi ini ditengarai sebagai imbas ambisi Facebook untuk meluncurkan mata uang kripto Libra.
Topik pembahasan CBDC sejatinya tidak terlepas dari awal mula eksistensi mata uang kripto seperti Bitcoin. Ketertarikan bank sentral akan CBDC setidaknya disebabkan oleh tiga isu fundamental, yakni efisiensi biaya penerbitan uang, penyelenggaraan sistem pembayaran yang lebih cepat dan peningkatan inklusi keuangan.
Bentuk CBDC
Pada tataran teoritis, CBDC pada dasarnya memiliki dua macam bentuk. Pertama, CBDC sebagai uang elektronik (e-money) sebagaimana yang diterbitkan PBoC. Sejarah mencatat Tiongkok bukanlah negara pertama yang menerapkan bentuk ini.
Sebelumnya, bank sentral Ekuador telah menerbitkan CBDC uang elektronik bernama Dinero Electronico pada tahun 2014. Sama halnya dengan e-RMB, Dinero Electronico hanya mendigitalkan uang kartal yang telah ada.
Dengan konsep ini, bank sentral akan menjadi penerbit uang elektronik yang langsung melayani masyarakat. Model bisnis ini praktis menimbulkan beberapa isu terutama terkait kompetisi dan konflik kepentingan.
BACA JUGA: METAVERSE DAN MASA DEPAN UANG
Dengan menjadi penerbit uang elektronik, maka bank sentral akan bersaing dengan penerbit uang elektronik berupa bank ataupun lembaga lainnya. Persaingan ini dapat menjadi disinsentif bagi pelaku industri yang telah ada, serta mengurangi daya inovasi.
Kedua, CBDC berbasis cryptography dengan memanfaatkan teknologi blockchain dan distributed ledger. Salah satu bank sentral yang mengembangkan konsep ini ialah bank sentral Inggris, Bank of England (BoE). Pada praktiknya, BoE tidak sepenuhnya mengadopsi teknologi distributed ledger seperti yang digunakan oleh Bitcoin.
Dalam konsep CBDC yang dipakai oleh BoE, bank sentral tetap menjadi entitas pusat (centralized entity) yang mempunyai kewenangan untuk menciptakan uang. Yang menjadi perbedaan mendasar adalah dalam sistem centralized ledger terdapat bank sentral yang bertanggungjawab untuk melakukan verifikasi transaksi, setelmen, sekaligus mencatat transaksi.
Melalui mekanisme ini, maka dimungkinkan perluasan akses langsung masyarakat terhadap rekening bank sentral. Kabar baiknya ialah proses bisnis ini memungkinkan biaya transaksi, seperti switching, kliring, dan setelmen menjadi jauh berkurang bahkan mendekati nol.
Sementara dari sisi kebijakan moneter, bank sentral lebih leluasa untuk mengontrol suku bunga secara langsung termasuk jumlah uang beredar.
Namun demikian, proses penerbitan CBDC yang diikuti penerimaan simpanan di bank sentral berpotensi memunculkan konflik kepentingan bagi bank sentral selaku regulator dan pengawas. Di samping itu, problematika perpindahan simpanan masyarakat di bank komersial ke bank sentral harus diantisipasi sehingga tidak terjadi perubahan drastis yang dapat mengancam stabilitas sistem keuangan.
BACA JUGA: MEMBERANTAS TEKFIN ILEGAL
Misalnya dari sisi pendanaan, bank niscaya akan kehilangan sebagian sumber dana ritel sehingga harus mengembangkan sumber dana lain, terutama wholesale funding. Imbasnya, fungsi intermediasi perbankan dalam sistem keuangan terganggu dan mengurangi arus pendapatan bank karena sumber dana menjadi lebih mahal.
Dalam konteks studi kasus di Indonesia, isu krusial lain yang harus dipertimbangkan ialah aspek legalitas. Konsep CBDC belum diakomodir di dalam perundang-undangan kita saat ini. Adanya penerbitan CBDC oleh bank sentral sebagai perluasan bentuk uang fisik menjadi digital membutuhkan penyesuaian terhadap UU Mata Uang.
Apalagi jika CBDC diterbitkan untuk seluruh masyarakat, isu legal lain yang relevan adalah perluasan akses rekening di bank sentral oleh publik. Selama ini, bank sentral hanya menjadi bank dari bank komersial sehingga hanya bank komersial yang dapat membuka rekening di bank sentral.
Artinya, UU Bank Indonesia juga memerlukan penyesuaian lebih lanjut apabila CBDC akan diterapkan di Indonesia.
Artikel ini telah dimuat di Harian INVESTOR DAILY 5 Juni 2020