“Saatnya kita bajak momentum krisis untuk melakukan lompatan-lompatan besar”. Demikian pernyataan Presiden Joko Widodo dalam pidato kenegaraan di Sidang Tahunan MPR tahun 2020.
Presiden menekankan saat ini adalah momentum tepat untuk membenahi diri secara fundamental dan melakukan transformasi secara masif.
Ancaman krisis ekonomi sudah di depan mata. Badan Pusat Statistik merilis pertumbuhan ekonomi nasional triwulan II-2020 sebesar -5,3% (yoy). Pertumbuhan ekonomi di hampir seluruh daerah tercatat negatif. Tanpa perubahan mendasar, nasib perekonomian triwulan III-2020 diproyeksi masih akan tetap sama.
Situasi ini jelas berimplikasi serius bagi pengelolaan dana Pemda. Pendapatan Asli Daerah (PAD) dipastikan anjlok. Namun, belanja daerah diharapkan segera terealisasi agar roda ekonomi lokal tetap berputar.
Mengharapkan dana Pemerintah Pusat di saat defisit APBN membengkak tentu bukanlah solusi terbaik. Tantangannya ialah bagaimana inovasi Pemda dalam meracik strategi intensifikasi penerimaan PAD.
Transformasi digital lewat program Elektronifikasi Transaksi Pemerintah (ETP) digadang-gadang sebagai pilihan paling rasional.
ETP adalah upaya mengubah transaksi pendapatan dan belanja Pemda dari cara tunai menjadi nontunai berbasis digital. Studi Bank Indonesia (2019) menunjukkan program ETP berkontribusi terhadap rata-rata pertumbuhan tahunan PAD sebesar 11%.
BACA JUGA: MENGAKSELERASI INKLUSIVITAS EKONOMI DIGITAL
Senada dengan hasil temuan tersebut, program ETP juga mendukung perbaikan peringkat Kemudahan Berusaha di Indonesia. Kepraktisan dalam melapor dan membayar pajak secara daring menjadi indikator utamanya. Selain itu, program ETP memperkuat aspek tata kelola keuangan daerah lewat peningkatan transparansi dan akuntabilitas.
Dari sisi konsumen, masyarakat diyakini siap menyambut kehadiran terobosan ini. Laporan riset terbaru Visa (2020) bertajuk “Consumer Payment Attitudes” menyebut lebih dari 40 persen konsumen Tanah Air membawa uang tunai lebih sedikit dibandingkan dua tahun lalu.
Data tersebut sejatinya sudah terprediksi. Tren ekonomi digital telah mendorong terjadinya pergeseran perilaku masyarakat. Pamor transaksi nontunai sedang naik daun. Statistik sistem pembayaran Bank Indonesia mencatat transaksi uang elektronik sepanjang tahun 2019 tumbuh signifikan sebesar 208%.
Tantangan dan Strategi 4K
Bak gayung bersambut, Bank Indonesia bersama sejumlah Kementerian telah menginisiasi terbentuknya sebuah wadah koordinasi dan harmonisasi kebijakan ETP.
Forum tersebut bernama Kelompok Kerja Nasional Percepatan dan Perluasan Digitalisasi Daerah (Pokjanas P2DD) di tingkat pusat. Sementara di tingkat daerah ialah Tim Percepatan dan Perluasan Digitalisasi Daerah (TP2DD).
Terdapat empat pekerjaan rumah atau disingkat ‘Tantangan 4K’ yang harus menjadi perhatian Pokjanas P2DD dan TP2DD.
Pertama, kehadiran regulasi yang menjadi payung hukum pelaksanaan ETP. Bank Indonesia mencatat terdapat 210 pemda yang belum memiliki ketentuan mengenai elektronifikasi transaksi belanja dan pendapatan daerah.
Selain itu, diperlukan pula Keputusan Presiden dan Peraturan Kementerian sebagai payung hukum penerbitan Peraturan Daerah tentang pembentukan TP2DD.
Kedua, ketersediaan jaringan telekomunikasi sebagai infrastruktur kunci. Kabar baiknya pembangunan proyek tol langit Palapa Ring telah selesai pada Oktober 2019.
BACA JUGA: KARPET MERAH QR CODE PEMBAYARAN
Akses internet yang memadai sebagai tulang punggung transaksi non tunai kini telah menjangkau daerah 3T (Terdepan, Terpencil dan Tertinggal). Namun demikian, jaringan microwave link masih harus diperluas terutama ke Kawasan Timur Indonesia demi mendukung kehandalan konektivitas hingga daerah pelosok.
Ketiga, kesiapan Bank Pembangunan Daerah selaku bank pengelola Rekening Kas Umum Daerah dalam penyediaan layanan pembayaran nontunai. Sayangnya, beberapa BPD tercatat masih berstatus Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) I dengan modal inti di bawah satu triliun rupiah.
Alhasil, cakupan instrumen pembayaran yang dapat digunakan dalam proses ETP menjadi terbatas. Misalnya, bank tidak bisa memberikan layanan kartu kredit dan internet banking. Penambahan modal inti BPD oleh Pemda sebagai pemegang saham menjadi jalan keluarnya. Alternatif lainnya, BPD dapat menempuh langkah co-branding dengan bank umum besar lainnya.
Keempat, komunikasi efektif kepada masyarakat. Budaya transaksi tunai yang masih menjadi preferensi utama masyarakat akan menjadi tantangannya. Sosialisasi dan edukasi nontunai secara terstruktur, sistematis, dan masif oleh semua pemaku kepentingan harus menjad agenda nasional.
Tak kalah ketinggalan, Bank Indonesia juga memiliki empat peran krusial atau disingkat ‘Strategi 4K’ dalam menyukseskan program ETP.
Pertama, kajian dan asesmen. Hasil pemetaan Bank Indonesia menyimpulkan implementasi ETP oleh 75 dari 542 pemda (13,83%) telah memasuki tahap ekspansi. Sementara sisanya sebanyak 467 pemda (86,16%) masih berkutat di tahap transformasi.
Ada dua syarat pokok agar status ETP Pemda naik kelas dari tahap transformasi menuju ekspansi. Sistem manajemen kas daerah wajib terintegrasi dengan sistem e-government (e-planning, e-budgeting, e-procurement, dan e-monitoring). Selain itu, kanal pembayaran ETP juga harus terhubung dengan aplikasi teknologi finansial dan/atau perdagangan elektronik.
BACA JUGA: ADU KUAT TEKFIN PEMBAYARAN
Kedua, kolaborasi dan sinergitas. Indeks inklusi keuangan Indonesia tahun 2019 mencapai 76,19%. Artinya, baru 76 dari 100 orang penduduk yang sudah terhubung dengan layanan keuangan formal. Akses masyarakat kepada jasa perbankan masih belum merata.
Berkaca pada kondisi tersebut, Bank Indonesia juga mendorong terjalinnya kerja sama Pemda dengan berbagai pelaku industri. Semakin banyak pemain yang tergabung, semakin cepat pula akseptasi masyarakat terhadap program ETP.
Misalnya, Pemda Kota/Kabupaten di Riau dan Jawa Barat yang telah menggandeng Bukalapak dan Tokopedia sebagai mitra pembayaran ETP.
Ketiga, keamanan konsumen. Dalam konteks implementasi ETP, Bank Indonesia sebagai otoritas sistem pembayaran memiliki tiga fungsi sentral. Konsultasi bagi Pemda selaku penyedia layanan, edukasi kepada masyarakat sebagai pengguna layanan, serta fasilitasi permasalahan dalam lingkup sistem pembayaran.
Keempat, kemudahan pembayaran. Bank Indonesia berkomitmen memperluas pemanfaatan QR Code Indonesian Standard (QRIS) sebagai solusi transaksi pembayaran ETP. Satu kode respon cepat untuk semua pembayaran. Kehadiran QRIS niscaya akan memudahkan masyarakat dalam membayar pajak/retribusi daerah.
Beberapa Pemda tercatat telah mengadopsi instrumen pembayaran kekinian tersebut, diantaranya Solo, Mamuju, Tangerang, dan Tarakan.
Artikel ini telah dimuat di Harian KONTAN 31 Agustus 2020