Nov 7, 2025 | Articles on Media
Perjalanan menuju Indonesia Emas 2045 ibarat pelayaran panjang menuju samudra baru. Kita berlayar dengan arah, kecepatan, dan tujuan. Namun hal yang paling menentukan bukan seberapa cepat kapal itu berjalan, melainkan ke mana ia mengarah.
Karena tanpa arah jelas, samudra yang luas hanya membuat kapal berputar di tempat. Selama kita punya kompas yang tepat, maka arah itu akan tetap jelas.
Dalam dua dekade terakhir, kapal ekonomi Indonesia telah berhasil menempuh lautan globalisasi. Konsumsi rumah tangga, ekspor komoditas, dan pembangunan infrastruktur menjadi mesin penggerak utamanya. Kapal itu sukses berlayar dengan yang baik walau badai global datang silih berganti.
Namun, arah angin kini telah bergeser. Harga komoditas tak lagi stabil, ruang fiskal semakin terbatas, dan produktivitas nasional belum optimal.
Dunia yang kita hadapi hari ini tidak lagi sama dengan dunia yang kita kenal dua dekade lalu. Teknologi digital mengubah lanskap bisnis dan cara manusia bekerja. Akal imitasi, internet of things, dan big data menjadi bahan bakar baru yang menentukan kecepatan ekonomi.
Sementara itu, ketergantungan pada komoditas tidak lagi menjanjikan ketahanan jangka panjang di tengah perubahan iklim global.
Di titik ini, kita dihadapkan pada pertanyaan penting: apakah kompas lama masih cukup akurat untuk menunjukkan arah ke masa depan?
Jawabannya mungkin tidak. Dunia kini tidak bergerak secara linier. Ia berubah secara eksponensial. Kompas lama yang hanya mengandalkan konsumsi dan komoditas tidak lagi mampu membaca medan yang baru. Untuk itu, kita perlu kompas baru bernama ekonomi digital yang mampu merespons perubahan arah angin.
Di masa lalu, nilai ekonomi diciptakan oleh sumber daya fisik. Kini, nilainya muncul dari inovasi dan jaringan. Produk domestik bruto bukan lagi ditentukan oleh berapa luas lahan yang diolah, tapi oleh seberapa cepat data diproses menjadi keputusan.
Ekonomi digital membuat produktivitas tidak lagi bergantung pada jarak dan waktu. Ia memberi ruang bagi semua orang untuk ikut berperan, bahkan dari pelosok yang jauh dari pusat kota.
Transformasi ini sudah tampak di depan mata. Bank Indonesia, misalnya, menavigasi sistem pembayaran digital sebagai fondasi kepercayaan. QRIS bukan sekadar inovasi teknis, melainkan wujud nyata dari visi mendigitalkan Indonesia. Ia tak hanya memudahkan, tapi juga menumbuhkan inklusi.
Setali tiga uang Pemerintah Daerah juga menerapkan sistem pembayaran digital untuk memperkuat transparansi dan akuntabilitas keuangan publik. Di sisi lain, UMKM yang dulu terjebak dalam skala kecil kini bisa menjual produk ke pasar nasional bahkan internasional lewat platform daring.
Ekonomi digital memberi kita kesempatan untuk menulis ulang peta pembangunan. Ia memungkinkan pertumbuhan tanpa harus merusak lingkungan, membuka lapangan kerja tanpa harus menambah beban fiskal, dan memperkuat inklusi tanpa harus menunggu redistribusi.
Nilai ekonomi digital Indonesia mencapai USD90 miliar dan diproyeksikan melonjak hingga USD360 miliar pada 2030.
Mendigitalkan Indonesia bukan sekadar tentang memperluas jaringan 5G atau ledakan jumlah startup. Keduanya penting, tapi esensinya lebih dalam dari itu. Ini tentang bagaimana teknologi menjadi arah baru pembangunan. Tujuan akhirnya adalah menjadi bangsa yang high tech, high touch dan right tech.
High tech berarti kita berani menatap masa depan dengan teknologi mutakhir untuk memacu produktivitas. High touch menempatkan manusia di pusat perubahan.
Sementara right tech mengingatkan bahwa teknologi yang tepat tidak selalu yang paling mahal, tapi justru yang sederhana dan dimengerti oleh rakyat. Sebab itu, digitalisasi adalah tentang seberapa besar manfaat sosial yang bisa kita hasilkan dari teknologi.
Namun kompas tidak pernah bekerja sendiri. Ia memberi arah, tapi sang nahkoda yang menavigasi kapal. Pada titik inilah sinergi kebijakan publik harus menjadi kapten kapal.
Pemerintah perlu memastikan infrastruktur digital menjangkau hingga pelosok, otoritas moneter dan keuangan harus menyeimbangkan inovasi dengan stabilitas, serta dunia usaha perlu menanam investasi bukan hanya pada teknologi, tetapi juga pada manusianya.
Tantangan
Setiap revolusi teknologi selalu membawa paradoks. Di satu sisi, ia membuka peluang baru dan di saat bersamaan ia menciptakan ketimpangan baru. Tantangan terbesar dalam perjalanan menuju Indonesia digital adalah digital divide, yakni kesenjangan antara mereka yang mampu memanfaatkan teknologi dan mereka yang tertinggal.
Yuval Noah Harari, penulis buku Nexus mengatakan “Teknologi hanyalah alat, dan nilai-nilai manusia akan menentukan ke mana alat itu diarahkan.” Pernyataan ini mengingatkan kita bahwa kemajuan digital tidak otomatis membawa kesejahteraan. Tanpa arah yang jelas, teknologi bisa memperlebar jurang, bukan menutupnya.
Data BPS menunjukkan sekitar 27% penduduk Indonesia belum mengakses internet pada 2024. Kesenjangan ini terlihat lebih besar di kawasan timur Indonesia. Di sinilah tantangan terbesar agar digitalisasi tak hanya berhenti di kota besar, tapi juga harus menembus desa, daerah pesisir, dan pegunungan.
Kita perlu memastikan ekonomi digital tidak menjadi ruang eksklusif bagi mereka yang sudah terhubung, tetapi jembatan bagi mereka yang masih tertinggal. Teknologi seharusnya menjadi alat pemerataan kesempatan, bukan penentu siapa yang beruntung.
Pada akhirnya, kita akan menghadapi masa depan yang tak selalu pasti. Ada badai ketimpangan, arus disrupsi, dan kabut ketidakpastian global. Tapi dengan kompas yang jelas, kita bisa menavigasi semua ketidakpastian itu dengan tenang.
Indonesia niscaya mampu menyongsong era keemasan dengan digitalisasi asal kita tahu cara membaca kompasnya.
Artikel ini telah dimuat di BISNIS INDONESIA 7 November 2025
Oct 10, 2025 | Articles on Media
Albania berhasil membuat dunia terperangah. Negara di Eropa Tenggara ini baru saja melantik seorang menteri bernama Diella. Ia bukan politisi karismatik, bukan pula teknokrat muda lulusan universitas top dunia. Diella hanyalah sebuah entitas digital, berupa kecerdasan buatan yang diberi mandat untuk mengawasi proses pengadaan publik.
Fenomena ini jelas bukan sekedar eksperimen politik. Kemunculan Diella membawa pesan simbolis. Masa depan akan banyak ditentukan oleh peran akal imitasi (AI). Diskursus menarik lantas berkembang di ruang publik. Jika kursi menteri bisa ditempati oleh algoritma, apakah industri keuangan siap menyerahkan keputusan kredit kepada algoritma?
Dunia perbankan telah lama hidup dalam dilema. Di satu sisi, bank harus menyalurkan kredit sebagai bahan bakar pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, bank harus menjaga risiko kredit agar tetap rendah. Dalam praktiknya, bank sulit membedakan mana debitur yang benar-benar mampu membayar dan mana yang sekadar terlihat meyakinkan di atas kertas.
Dalam teori ekonomi, masalah ini erat kaitannya dengan informasi asimetris. Bank kerap menutup celah itu dengan jaminan dan sederet syarat administratif. Sayangnya, banyak UMKM yang sehat secara bisnis justru gagal mendapat kredit. Alasan klasiknya, karena mereka tak punya agunan atau catatan keuangan yang rapi. Di sinilah AI masuk sebagai game changer.
AI menawarkan sesuatu yang baru. Ia mampu membaca pola dalam big data. Jika analis kredit hanya melihat laporan keuangan dan riwayat pinjaman, algoritma AI mampu menggali lebih dalam.
Dari transaksi harian, pembayaran listrik, belanja di e-commerce, sampai jejak digital yang kadang luput dari perhatian manusia. Alhasil, bank tidak hanya menilai kinerja masa lalu, tapi juga memprediksi kapabilitas masa depan.
Studi kasus serupa juga terjadi di bidang sistem pembayaran. AI memungkinkan perbankan melakukan deteksi kecurangan (fraud) secara real-time. Algoritma mampu membaca transaksi tidak wajar dalam hitungan detik. Implikasinya, keamanan transaksi meningkat sehingga kepercayaan publik kepada bank tetap terjaga dengan cara yang lebih efisien.
Secara teoritis, kita bisa kaitkan kemampuan AI ini dengan teori rasionalitas terbatas (bounded rationality). Herbert Simon (1956) menjelaskan bahwa manusia tidak pernah sepenuhnya rasional.
Kapasitas otak terbatas, informasi yang tersedia tidak sempurna, dan waktu pengambilan keputusan sering singkat. Maka, manusia membuat keputusan dengan “cukup baik”, bukan “sempurna”.
AI seolah memberi solusi untuk keterbatasan ini. Dengan daya komputasi yang jauh melampaui manusia, AI menawarkan analisis yang lebih mendekati “rasionalitas penuh”. Ia mampu menghapus bias subjektif manusia. Dengan AI, kita tidak akan lagi mendengar cerita kredit pengusaha kecil ditolak hanya karena penampilan atau status sosialnya.
Konteks Indonesia membuat narasi ini semakin relevan. UMKM adalah tulang punggung ekonomi, menyumbang lebih dari 60 persen PDB dan menyerap lebih dari 90 persen tenaga kerJa.
Tatkala AI digunakan untuk alternative credit scoring, UMKM dinilai bukan hanya dari laporan keuangan. Riwayat belanja bahan baku, transaksi digital, atau performa di marketplace juga akan menjadi bahan pertimbangan.
Dengan begitu, mereka yang selama ini dianggap unbankable punya kesempatan masuk ke sistem keuangan formal. Ini bukan hanya soal kredit. Ini tentang inklusi keuangan dan upaya membuka pintu ekonomi yang lebih luas. Muara akhirnya tentu ialah pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, sampai pemerataan kesejahteraan.
Bias algoritma
Algoritma hanya secerdas data yang diberikan. Rasionalitas AI tetap dibatasi oleh kualitas dan keragaman data yang menjadi masukan. Jika data historis menunjukkan bias yang sistematis, misalnya menolak peminjam di area tertentu, maka AI tidak akan menghilangkan diskriminasi itu. Sebaliknya, AI akan mengabadikannya dan memperkuatnya. Kondisi ini dikenal luas dengan istilah ‘Bias Algoritma.’
Dalil ini sejalan argumen yang disampaikan Cathy O’Neil, penulis buku Weapons of Math Destruction. Ia menyebut algoritma bisa menjadi senjata pemusnah yang sunyi.
Jika data historis penuh bias, maka hasilnya akan ikut bias. Alih-alih membuka akses keuangan, AI justru berisiko memperkuat diskriminasi yang selama ini terjadi.
Selain itu, masih terdapat problematika lain dari implementasi AI. Misalnya, isu kotak hitam (black box) AI. Sering kali bank tidak tahu persis alasan di balik sebuah algoritma menolak atau menerima pengajuan kredit.
Risiko privasi data juga tidak boleh dilupakan. Untuk menilai kelayakan kredit, AI membutuhkan data yang luas dan dalam. Tanpa perlindungan data pribadi yang ketat, data nasabah berpotensi rentan terhadap penyalahgunaan.
Dengan alur berpikir tersebut, algoritma seyogianya ditempatkan dalam kerangka AI dengan pengawasan manusia(human-in-the-loop). Algoritma hanya berfungsi sebagai pemberi sinyal atau rekomendasi awal, sedangkan verifikasi akhir tetap dilakukan oleh manusia.
Kerangka ini bukan hanya soal mitigasi risiko. Ini juga tentang menjaga kepercayaan. Nasabah akan merasa lebih dihargai jika tahu bahwa di balik keputusan kredit ada manusia yang mendengar, bukan hanya mesin yang menghitung. Jika algoritma dibiarkan beroperasi tanpa pengawasan, kita sedang menciptakan oligopoli data. Keputusan vital ditentukan oleh kotak hitam tak berjiwa.
Kisah Diella di Albania menjadi momen reflektif bagi kita. Teknologi dapat meniru peran manusia, tetapi ia tidak dapat menggantikan kearifan dan etika manusia. Diella hanyalah sebuah instrumen. Ia bisa membantu menilai, memprediksi, bahkan mempercepat keputusan. Namun, keputusan itu tetap harus disertai konteks sosial, intuisi, dan etika.
Kita harus memastikan bahwa teknologi melayani kemanusiaan, bukan sebaliknya. Simbiosis mutualisme wajib dibangun antara algoritma di satu sisi dengan kearifan lokal di sisi lain. AI harus diposisikan sebagai mitra kerja, alih-alih pengganti manusia.
Albert Einstein pernah berkata “Not everything that can be counted counts, and not everything that counts can be counted.” Tidak semua yang bisa dihitung dengan algoritma mencerminkan nilai sebenarnya dari seorang debitur. Pada akhirnya, keputusan kredit bukan hanya soal angka. Lagi-lagi ini adalah soal kepercayaan. Dan, kepercayaan hanya bisa dijaga oleh manusia.
Artikel ini telah dimuat di KOMPAS 11 Oktober 2025
Sep 18, 2025 | Articles on Media
Perkembangan teknologi selalu menghadirkan dua wajah. Di satu sisi, ia membuka peluang besar bagi pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, ia juga menghadirkan risiko baru yang tidak bisa diabaikan.
Akal imitasi (AI) adalah contoh paling jelas dari paradoks ini. Kita melihat bagaimana AI membantu meningkatkan produktivitas. Namun, AI juga melahirkan bentuk kejahatan digital baru yang semakin kompleks dan sulit dideteksi.
Kejahatan digital yang melibatkan AI kini tidak lagi sebatas deepfake. Ada pula voice cloning yang mampu meniru suara manusia. Modus lain adalah AI-powered phishing, di mana pesan singkat dipersonalisasi menggunakan data pribadi.
Semua ini menunjukkan bahwa lanskap kejahatan digital berubah, dari sekadar serangan manual menjadi serangan otomatis dan cerdas.
Indonesia tidak kebal dari fenomena ini. Indonesia Anti-Scam Centre (IASC) mencatat lebih dari 225 ribu laporan penipuan digital dengan kerugian mencapai Rp4,6 triliun sejak November 2024 hingga Agustus 2025.
Di tingkat global, laporan Sift Digital Trust Index Q2-2025 menyebut jumlah korban penipuan yang dihasilkan oleh AI meningkat sekitar 62% dari tahun sebelumnya.
Ancaman ini tentu bukan hanya soal nominal uang yang hilang. Implikasi yang lebih serius adalah tergerusnya kepercayaan masyarakat terhadap ekonomi digital yang sedang berkembang pesat.
Nilai transaksi e-commerce domestik pada 2024 mencapai Rp487 triliun atau naik 7,3% dari tahun sebelumnya. Sementara volume pembayaran digital menembus 43,5 miliar atau tumbuh 36,1% secara tahunan.
Nilai dan volume transaksi digital yang begitu besar menjadikan Indonesia ladang subur bagi pelaku kejahatan. Persoalannya, jika publik kehilangan kepercayaan akibat maraknya penipuan berbasis AI, konsumen akan enggan bertransaksi.
Dampaknya jelas: pasar mengecil, inovasi mandek, laju pertumbuhan tersendat, dan ekonomi digital kita bisa kehilangan taringnya di tingkat global.
Risiko tersebut mendorong banyak negara merespon secara cepat. Uni Eropa meluncurkan UU Kecerdasan Buatan (AIAct) yang mengklasifikasikan sistem AI ke dalam empat tingkat risiko: risiko minimal, risiko terbatas, risiko tinggi, dan risiko yang tidak dapat diterima.
Semakin tinggi risikonya, semakin ketat pula kewajiban yang harus dipenuhi, mulai dari transparansi, audit independen, dokumentasi teknis, hingga pengawasan berlapis oleh regulator.
Model regulasi Eropa ini juga menginspirasi banyak negara lain. Misalnya, Thailand lebih menekankan pada pendekatan berbasis risiko dalam pengaturan teknologi AI. Artinya, meskipun diatur secara ketat, masih ada banyak banyak fleksibilitas pada pengembangan inovasi dan pertumbuhan bisnis.
Regulasi tidak diposisikan sebagai rem total, melainkan pagar pengaman agar laju teknologi tidak berubah menjadi ancaman.
Indonesia sejatinya juga telah menyiapkan sejumlah langkah kebijakan serupa. Pertama, menyusun Buku Putih Peta Jalan AI Nasional beserta konsep Pedoman Etika AI. Kedua, pelaksanaan Penilaian Kesiapan AI Nasional (AI-RAM) yang bertujuan memetakan peluang sekaligus tantangan penerapan AI di berbagai sektor.
Ketiga, penerbitan surat edaran menteri tentang etika AI yang digunakan sebagai rujukan awal bagi pelaku industri dan lembaga publik. Keempat, pemanfaatan kerangka hukum yang telah ada, seperti Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), sebagai landasan untuk perlindungan data serta etika pemrosesan informasi berbasis AI.
Pada tataran industri, sektor perbankan dan pembayaran digital tanah air cukup siap memitigasi risiko penyalahgunaan AI. Fraud detection system berbasis AI telah diterapkan untuk membaca pola transaksi secara seketika dan memberi sinyal bila terjadi anomali.
Ketika terdapat transaksi di luar kebiasaan nasabah, sistem dapat langsung mendeteksi kejanggalan itu, menahan sementara transaksi, atau meminta otentikasi tambahan.
Literasi digital
Kehadiran regulasi AI tentu sangat penting, tapi itu saja tidak cukup. Aturan tanpa pemahaman hanyalah teks di atas kertas. Disinilah literasi digital memainkan peran vital.
Tanpa didukung literasi digital yang kuat, masyarakat akan terus rentan menjadi target kejahatan digital. Banyak kasus penipuan berhasil bukan karena kecanggihan teknologi semata, tetapi karena kelengahan korban.
Literasi digital seringkali dianggap sebagai hal teknis, yakni sekadar tahu cara menggunakan gawai atau aplikasi pembayaran. Padahal maknanya jauh lebih luas. Literasi digital adalah kemampuan memahami, menganalisis, dan menilai informasi di ruang digital.
Dalam konteks kejahatan berbasis AI, literasi digital berarti masyarakat tidak hanya cakap mengoperasikan aplikasi, tetapi juga memiliki sense of alertness ketika menghadapi potensi penipuan.
Dalam implementasinya, literasi digital terdiri dari tiga lapisan utama. Pertama, literasi teknis untuk memahami cara kerja aplikasi, fitur keamanan, serta langkah-langkah proteksi dasar.
Kedua, literasi kritis yang mampu membedakan informasi yang sahih dari manipulasi digital, termasuk konten deepfake atau pesan mencurigakan.
Teori ekonomi perilaku menjelaskan bahwa manusia sering kali tidak bertindak rasional, meski mereka punya informasi yang cukup. Kita punya bias psikologis dan emosional yang membuat keputusan melenceng.
Dalam konteks kejahatan digital berbasis AI, bias-bias ini dimanfaatkan secara sistematis. Di titik ini, literasi kritis menjadi kebutuhan mendesak. Sebab yang dapat mencegah korban jatuh ke jebakan adalah kemampuan individu mengenali biasnya sendiri.
Ketiga, literasi etis, yaitu kesadaran bahwa penggunaan teknologi juga menyangkut tanggung jawab sosial dan perlindungan terhadap orang lain.
Menghargai privasi orang lain, mencegah penyebaran konten berbahaya, serta berperan aktif menjaga ruang digital agar tetap sehat adalah bagian tak terpisahkan dari ekosistem literasi ini.
Dengan pendekatan berlapis, literasi digital niscaya bisa menjadi benteng yang kokoh. Berbekal hal ini, masyarakat tidak lagi sekadar menjadi objek pasif yang digerus oleh teknologi, melainkan subjek yang aktif, sadar, dan berdaya.
Karena pada akhirnya, inti dari ekonomi adalah kepercayaan. Peraih nobel ekonomi tahun 1972, Kenneth Arrow menegaskan, “Kepercayaan adalah pelumas dalam sistem ekonomi.” Tanpa kepercayaan, transaksi terhambat, inovasi kehilangan pijakan, dan mesin ekonomi berjalan stagnan.
Dalam konteks ekonomi digital, pernyataan Arrow menemukan relevansinya. Teknologi AI menjanjikan efisiensi dan inovasi. Namun, janji itu hanya akan terwujud jika masyarakat percaya bahwa data mereka aman dan algoritma tidak bias.
Karena itu, tugas utama kita hari ini bukan hanya mengawal regulasi atau menyiapkan infrastruktur, melainkan juga memastikan bahwa kepercayaan digital oleh publik tetap terjaga.
Menjaga kepercayaan digital di era akal imitasi bukan soal menolak kemajuan, melainkan tentang menyelaraskan inovasi dengan tata kelola yang kuat. Dengan menjaga kepercayaan, kita bisa mengelola AI menjadi kekuatan bagi masa depan Indonesia.
Artikel ini telah dimuat di INVESTOR DAILY 18 September 2025
Sep 6, 2025 | Articles on Media
Dalam sejarah ekonomi, teknologi pembayaran selalu menjadi motor integrasi. Dahulu emas menjadi standar kepercayaan, lalu digantikan oleh uang kertas yang diterima lintas batas. Kemudian hadir kartu kredit yang membuka jalan bagi transaksi global.
Kini, QRIS Antarnegara melanjutkan tradisi itu. Momentum 17 Agustus 2025 menjadi tonggak sejarah penting yang menandai penggunaan QRIS di Negeri Sakura.
Jepang tentu bukan sekadar destinasi wisata utama bagi turis Indonesia. Ia adalah salah satu negara perekonomian terbesar di dunia.
Fakta bahwa peluncuran implementasi QRIS di Jepang merupakan ekspansi pertama di luar ASEAN memperlihatkan dua hal sekaligus, yaitu naiknya kredibilitas standar pembayaran kode QR tanah air, dan bertambahnya soft power Indonesia di arsitektur pembayaran Asia.
Bagi Jepang, kerja sama ini sejalan dengan upaya bank sentral Jepang yang tengah fokus memperluas adopsi pembayaran digital. Jepang telah lama dikenal sebagai negeri yang begitu setia pada uang tunai.
Namun, perlahan arah itu mulai berubah. Data terbaru menunjukkan transaksi nontunai sudah melampaui 42% atau lebih cepat dari target pemerintah. Fenomena ini menarik karena Jepang pernah dianggap terlambat dibanding Korea Selatan atau Tiongkok.
Kehadiran QRIS di Jepang tidak hanya merepresentasikan sebuah inovasi digital, tetapi juga cara baru diplomasi ekonomi. Selama ini kita terbiasa melihat kerja sama ekonomi antarnegara lewat perjanjian dagang yang rumit.
QRIS menawarkan sesuatu yang berbeda. Ia membuka ruang integrasi yang lebih nyata dan langsung dirasakan masyarakat. Diplomasi ekonomi kini bisa terjadi di meja kasir sebuah toko di Tokyo, ketika turis Indonesia menyelesaikan transaksi hanya dengan satu sentuhan.
Untuk memahami signifikansinya, kita perlu menoleh ke pengalaman ASEAN. Sejak memulai konektivitas dengan Thailand (Agustus 2022), Malaysia (Mei 2023), dan Singapura (November 2023), implementasi QRIS Antarnegara telah menunjukkan hasil yang membanggakan. Hingga Juni 2025, transaksi lintas batas melalui QRIS ke tiga negara itu telah mencapai Rp1,66 triliun.
Dari jumlah tersebut, Malaysia mencatat lebih dari 4,3 juta transaksi senilai Rp1,15 triliun, Thailand hampir satu juta transaksi bernilai Rp437,54 miliar, dan Singapura sekitar 238 ribu transaksi senilai Rp77,06 miliar.
Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan bukti nyata bagaimana sebuah infrastruktur pembayaran mampu menjadi katalis integrasi ekonomi kawasan.
Jepang kini menambahkan simpul penting dalam jaringan ini. Pada 2024, jumlah wisatawan Indonesia ke Jepang mencapai 517 ribu orang, dengan total belanja sebesar USD 698 juta atau setara Rp11 triliun.
Angka ini naik signifikan dari tahun sebelumnya dan diproyeksikan akan terus meningkat. Dengan adanya QRIS Antarnegara, sebagian besar transaksi ini berpotensi berpindah ke jalur digital yang lebih efisien.
Dengan alur berpikir di atas, manfaat QRIS Antarnegara terlihat jelas dari tiga sisi. Pertama, transaksi turis domestik di Jepang menjadi lebih mudah karena menggunakan aplikasi pembayaran dalam negeri.
Kedua, bagi Jepang, langkah ini sejalan dengan agenda mereka membangun cashless society sekaligus memperkuat daya tarik wisata. Ketiga, kerja sama ini meningkatkan posisi Indonesia dalam peta diplomasi ekonomi digital regional.
Tidak hanya itu, diplomasi QRIS Antarnegara menunjukkan bahwa peran bank sentral tidak lagi sebatas pengelola moneter. Ia juga berperan sebagai arsitek ekosistem keuangan digital. Di tengah persaingan global yang makin ketat, faktor kecepatan dan skala jadi kunci.
Negara yang mampu membangun infrastruktur pembayaran lintas batas akan memiliki keunggulan dalam menarik wisatawan, memperkuat perdagangan jasa, dan bahkan meningkatkan daya tarik investasinya. Dan, Indonesia sedang menapaki jalan itu.
Dari sisi makro, keberhasilan QRIS Antarnegara juga mendukung strategi diversifikasi mata uang dalam transaksi internasional. Ketika wisatawan Indonesia dapat bertransaksi dengan konversi langsung Rupiah–Yen, ketergantungan terhadap mata uang asing tertentu sebagai perantara dapat diminimalkan.
Pada gilirannya, langkah ini akan menjadikan arus transaksi menjadi lebih efisien dan mengurangi risiko nilai tukar.
Efisiensi biaya
Secara teoritis, implementasi QRIS Antarnegara bisa dibaca melalui lensa transaction cost economics yang dikemukakan Oliver Williamson. Salah satu fungsi institusi adalah menurunkan biaya transaksi dengan menciptakan kepastian.
QRIS Antarnegara menjalankan fungsi ini dengan sangat baik. Wisatawan Indonesia tidak perlu lagi menanggung biaya kurs yang berlapis atau kerepotan membawa uang tunai dalam jumlah besar.
Merchant di Jepang pun lebih mudah menerima pembayaran dari wisatawan Indonesia tanpa harus terikat kontrak dengan jaringan internasional yang mahal. Alhasil, biaya transaksi bisa dipangkas secara signifikan, serta menciptakan efisiensi yang menguntungkan kedua belah pihak.
Kita juga bisa meminjam perspektif network economics. Nilai sebuah jaringan tidak tumbuh linier, melainkan eksponensial seiring bertambahnya simpul. Konektivitas QR lintas negara di ASEAN—antara Indonesia, Thailand, Malaysia, dan Singapura—sudah membuktikan hal ini.
Wisatawan antarnegara dapat melakukan transaksi lintas batas dengan mudah, sektor pariwisata meningkat, dan UMKM mendapatkan akses ke konsumen baru.
Jepang, sebagai anggota negara G7, menjadi simpul strategis yang memperluas jaringan manfaat tersebut.
Setiap wisatawan baru yang bertransaksi dan setiap merchant yang menerima pembayaran menambah bobot sistem, memperkuat kredibilitasnya, dan menciptakan lingkaran kepercayaan yang semakin luas.
Dengan langkah ini, kehadiran QRIS di Negeri Sakura merupakan batu loncatan strategis untuk menembus pasar baru.
Kisah sukses di Tokyo akan membuka pintu ekspansi ke negara lain seperti Tiongkok, Korea Selatan dan Arab Saudi. Implikasinya, Indonesia semakin menegaskan posisinya sebagai inovator pembayaran digital regional.
Dan yang terpenting, keberhasilan QRIS Antarnegara ke Jepang juga memberi pesan pada dunia. Indonesia mulai tampil sebagai rule-setter yang mampu menawarkan model baru bagi tata kelola pembayaran lintas batas.
Langkah ini memperkuat posisi Indonesia dalam percaturan forum global, termasuk G20 dan Bank for International Settlements (BIS), di mana isu pembayaran lintas batas menjadi agenda strategis.
Artikel ini telah dimuat di KONTAN 6 September 2025
Aug 2, 2025 | Articles on Media
Dalam sejarah moneter, kekuatan uang tak hanya ditentukan oleh angka pada selembar kertas. Nilai uang lahir dari kepercayaan. Bukan kebetulan jika uang disebut fiat yang berarti “jadilah” dalam bahasa Latin.
Nilainya ada karena masyarakat sepakat bahwa ia bernilai. Tapi dalam dunia yang berubah cepat, kepercayaan itu kini sedang diuji. Bukan karena krisis likuiditas atau inflasi global, tapi oleh uang digital bernama stablecoin.
Dalam beberapa tahun terakhir, stablecoin berkembang dari sekadar instrumen dalam ekosistem kripto menjadi aset yang mendekati fungsi uang konvensional.
Volume transfer stablecoin global dilaporkan mencapai USD 27,6 triliun pada 2024. Angka ini melampaui gabungan nilai transaksi Visa dan Mastercard pada tahun yang sama.
Sebagai bentuk aset digital yang dipatok pada nilai tetap, stablecoin menjanjikan kepastian nilai, berbeda dari mata uang kripto lain seperti Bitoin yang tidak dipatok pada nilai tetap.
Selain itu stablecoin juga memberikan efisiensi dan kecepatan transaksi tanpa melalui sistem perbankan.
Tapi, janji tersebut datang bersama risiko yang tidak mudah. Stabilitas nilai stablecoin sangat bergantung pada kualitas cadangan aset yang mendukungnya.
Kasus kejatuhan Terra USD pada 2022 menjadi peringatan bahwa tanpa cadangan riil yang kredibel, label stabil hanya ilusi.
Terra runtuh karena kepercayaan pasar yang menguap ketika masyarakat sadar bahwa jaminan stabilitasnya tak lebih dari algoritma dan asumsi pasar yang rapuh.
Di tengah dinamika ini, sejumlah negara mulai merespons dengan kebijakan yang lebih akomodatif. Salah satunya ialah Jepang yang mengakui stablecoin sebagai alat pembayaran melalui Payment Services Act pada 2022.
Regulasi ini juga mewajibkan penerbit stablecoin memiliki cadangan penuh dalam bentuk aset likuid dan pengawasan ketat atas aset pendukung stablecoin.
Langkah serupa juga ditempuh oleh Amerika Serikat melalui GENIUS (Guiding and Establishing National Innovation for U.S. Stablecoins) Act.
Ketentuan ini membuka jalan bagi lembaga non-bank untuk turut serta dalam proses penciptaan uang digital berbasis blockchain. Hanya entitas yang diawasi otoritas keuangan yang diizinkan menerbitkan stablecoin.
Bahkan sejumlah media internasional menyebut perusahaan ritel raksasa seperti Amazon dan Walmart diperkirakan akan meluncurkan stablecoin sendiri pasca implementasi UU ini.
Langkah ini akan menggantikan layanan kartu kredit yang umumnya mengenakan biaya transaksi 2–3%. Ini bisa mempercepat adopsi stablecoin sebagai alternatif uang tunai dalam aplikasi digital, remitansi, dan pembayaran ritel.
Dalam kacamata inovasi, langkah negara maju ini bisa dibilang pro-market. Secara sepintas, ini terlihat seperti langkah progresif bahwa melarang teknologi hanya akan membuat mereka tertinggal.
Namun demikian, kehadiran UU ini mungkin adalah awal dari medan yang belum sepenuhnya dipetakan.
Tantangan stablecoin
Walau telah diregulasi dengan baik, stablecoin tetap membawa potensi disrupsi terhadap sistem keuangan tradisional. Disintermediasi menjadi problematika nyata.
Ketika masyarakat lebih memilih menyimpan dana di dompet digital berbasis stablecoin daripada rekening bank, maka dana pihak ketiga di perbankan berpotensi turun. Implikasinya, kapasitas bank untuk menyalurkan kredit akan ikut melemah.
Dari perspektif makro, tantangan lebih besar muncul ketika stablecoin ditransaksikan secara lintas negara. Dana bergerak cepat melintasi yurisdiksi tanpa melalui sistem perbankan yang terpantau oleh otoritas domestik.
Perlindungan konsumen akan menjadi isu krusial. Tidak seperti rekening bank yang memiliki lembaga penjaminan, kejatuhan penerbit stablecoin di luar negeri bisa jadi akan berdampak pada hilangnya dana pengguna di dalam negeri secara permanen.
Selain itu, fenomena ini dapat melemahkan kontrol otoritas moneter terhadap peredaran uang. Implikasinya, regulator terjebak dalam dilema: membuka sistem demi efisiensi, atau mempertahankan kedaulatan dengan risiko terpinggirkan dari inovasi global.
Kondisi ini bisa dianalisis melalui teori impossible trinity atau trilema moneter. Dalam dunia dengan arus modal bebas dan stablecoin lintas batas, sulit bagi sebuah negara untuk mempertahankan kebijakan moneter yang independen dan stabilitas nilai tukar secara bersamaan.
Negara harus memilih dua dari tiga tujuan tersebut. Stablecoin berpotensi memaksa negara untuk melepaskan sebagian kedaulatannya demi keterbukaan sistem keuangan global.
Dalam konteks Indonesia, pendekatan kehati-hatian tetap menjadi prioritas. UU Mata Uang menegaskan bahwa rupiah adalah satu-satunya alat pembayaran yang sah di wilayah NKRI.
Kebijakan Bank Indonesia juga telah menutup ruang penggunaan kripto, termasuk stablecoin, sebagai alat pembayaran domestik. Kebijakan ini bukan soal chauvinisme rupiah atau anti-inovasi. Ini adalah langkah strategis.
Ada dua argumen utama yang mendasarinya. Pertama, mayoritas stablecoin saat ini belum diaudit secara menyeluruh, sehingga transparansi dan keamanan cadangannya masih diragukan.
Kedua, belum adanya mekanisme pengawasan lintas negara yang kuat. Otoritas sulit melakukan intervensi jika terjadi disrupsi di stablecoin yang dikeluarkan di luar negeri.
Di tingkat global, mayoritas bank sentral merespon disrupsi ini melalui pengembangan mata uang bank sentral atau Central Bank Digital Currency(CBDC).
Menurut Atlantic Council (2025), saat ini 72 negara termasuk G20 tengah terlibat dalam proyek ini, termasuk Indonesia melalui Proyek Garuda.
Upaya ini tidak hanya menjawab kebutuhan efisiensi, tetapi juga untuk menjaga kedaulatan moneter dan menjamin perlindungan konsumen.
Andrew Bailey, mantan gubernur bank sentral Inggris mengatakan, “Tugas kami adalah memastikan inovasi tidak mengorbankan keamanan sistem keuangan.”
Pendekatan yang diambil oleh bank sentral bukan untuk menghambat kemajuan teknologi, tetapi memastikan bahwa inovasi keuangan berjalan dalam ekosistem yang terkendali.
Menjaga keseimbangan antara stabilitas ekonomi dan inovasi agar tidak menciptakan kerentanan baru adalah kunci utamanya.
Pada akhirnya, kita juga harus belajar dari sejarah: banyak krisis keuangan bermula bukan dari adopsi teknologi yang lambat, melainkan dari kelengahan dalam pengawasan.
Oleh karena itu, kebijakan sistem pembayaran oleh bank sentral bukan soal menjadi yang tercepat, tetapi juga yang paling siap menghadapi risiko.
Artikel ini telah dimuat di KONTAN 2 Agustus 2025
Jul 15, 2025 | Articles on Media
Ada satu kesamaan prinsip antara mengemudi kendaraan dan mengelola kebijakan sistem keuangan. Inovasi ibarat pedal gas yang mempercepat laju keuangan digital. Tapi secepat apa pun kendaraan, tanpa rem yang berfungsi, perjalanan justru berbahaya.
Maka, pedal rem berupa regulasi dalam sistem keuangan menjadi syarat agar perjalanan ekonomi digital bisa berlanjut tanpa risiko benturan di tengah jalan.
Analogi pedal gas dan rem semakin relevan dalam konteks hari ini. Dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan perubahan dramatis dalam wajah dunia keuangan.
Awalnya, kripto hanya dianggap sebagai alat spekulasi. Namun, perlahan tapi pasti, aset kripto mulai merambah sebagai sumber dana dalam aplikasi pembayaran global. Tantangannya, apakah sistem keuangan dan regulator siap mengendalikan lajunya agar tetap presisi?
Di banyak negara, kripto mulai digunakan secara aktif dalam transaksi. Layanan dompet digital, seperti PayPal telah membuka akses bagi pengguna untuk mengonversi kripto menjadi mata uang lokal dan langsung menggunakannya untuk pembayaran.
Bahkan kartu debit yang terhubung dengan saldo kripto kini mulai marak diterbitkan oleh perusahaan seperti Coinbase dan Binance.
Mekanismenya relatif sederhana: pengguna memiliki dompet kripto, aplikasi menghitung konversi nilai, lalu menyalurkan dana ke merchant dalam bentuk uang fiat. Cepat, efisien, dan bagi sebagian orang lebih murah dibanding sistem perbankan konvensional, terutama untuk remitansi antarnegara.
Di Singapura, integrasi kripto dalam sistem pembayaran ritel bukan lagi wacana. Grab, sebagai super app, telah menjalin kemitraan dengan Triple-A sebagai penyedia layanan pembayaran yang sudah berlisensi resmi di negara itu.
Lewat kolaborasi ini, pengguna bisa mengisi ulang saldo GrabPay mereka menggunakan aset kripto seperti Bitcoin atau Ethereum. Nilainya langsung dikonversi ke dolar Singapura secara instan.
Kripto tak lagi berdiri di luar sistem pembayaran formal. Ia mulai menempel, menyusup, dan menyatu. Ketika sumber dana dalam sistem pembayaran berasal dari aset yang volatil, lintas yurisdiksi, dan tidak dijamin negara, maka stabilitas sistem keuangan bisa goyah.
Apalagi jika kripto digunakan oleh jutaan orang untuk aktivitas ekonomi sehari-hari. Efektivitas kebijakan moneter oleh bank sental mulai luntur seperti rem mobil yang longgar di jalan menurun.
Munculnya layanan yang menghubungkan kripto dengan dompet digital mengindikasikan satu hal: ekonomi digital mulai membentuk cabang-cabang baru yang tidak seluruhnya ditanam di dalam sistem keuangan formal.
Kalau dulu kita bicara soal “shadow banking,” maka sekarang kita mungkin sedang melihat munculnya “shadow liquidity” — dana yang mengalir dari aset digital ke konsumsi, tanpa selalu melewati saluran yang diawasi regulator.
Dua kutub
Pembahasan tentang mata uang kripto kerap membawa kita pada dua kutub ekstrem. Di satu sisi, mayoritas regulator melihatnya sebagai potensi ancaman terhadap stabilitas sistem keuangan, efektivitas kebijakan moneter, bahkan kedaulatan negara.
Di sisi lain, ada pandangan bahwa kripto sebagai masa depan sistem keuangan yang lebih inklusif, terdesentralisasi, dan efisien.
Menurut laporan World Economic Forum (2025), meskipun sebagian besar bank sentral masih berhati-hati terhadap penggunaan aset kripto dalam sistem keuangan, banyak dari mereka tengah mengembangkan kebijakan yang lebih adaptif terhadap inovasi di sektor digital.
Beberapa bank sentral, seperti yang tercatat oleh BIS (Bank for International Settlements), menganggap bahwa kripto berpotensi menimbulkan ancaman terhadap stabilitas keuangan global, terutama karena volatilitas yang tinggi dan kurangnya regulasi yang jelas.
Namun, Amerika Serikat seperti memberi panggung pada industri kripto. Terpilihnya Donald Trump yang dikenal sebagai figur pro-kripto memperkuat ekspektasi pasar terhadap regulasi yang lebih longgar.
Trump sudah menyatakan secara terbuka bahwa ia tidak akan membiarkan AS kalah dalam revolusi aset digital. Beberapa analis bahkan memperkirakan bahwa masa kepemimpinan Trump bisa menjadi titik balik adopsi institusional kripto di Amerika.
Misalnya, UU Inovasi Stablecoin Amerika (GENIUS ACT) yang diusulkan pada Juni 2025 mengatur bahwa stablecoin harus didukung sepenuhnya 1:1 oleh aset-aset likud berkualitas tinggi seperti surat utang pemerintah AS.
Perlindungan hukum seperti ini tentu mempercepat adopsi pasar, sekaligus memperbesar tantangan dalam pengendalian risiko.
Tapi, mari kita lihat pengalaman negara lain yang sudah lebih dulu melangkah. El Salvador contohnya.
Negara ini sempat menarik perhatian dunia karena menjadikan Bitcoin sebagai legal tender dan bagian dari cadangan negara sejak 2021. Artinya, semua pihak di negara itu harus menerima Bitcoin sebagai alat pembayaran.
Kebijakan itu terlihat progresif, tapi realitas berbicara lain. Dalam waktu singkat, negara di Amerika Tengah ini sempat berada di ambang kebangkrutan ekonomi karena terjerat lebih banyak hutang pada tahun yang sama karena penurunan nilai Bitcoin.
Bahkan, hasil survei terbaru menunjukkan hanya 7,5% penduduk El Salvador yang menggunakan Bitcoin untuk transaksi.
Pengalaman ini mengajarkan satu hal sederhana: terlalu cepat melangkah tanpa kesiapan bisa membawa risiko besar. Yang sering terlewat dari euforia kripto adalah kenyataan bahwa aset ini masih merupakan “kotak hitam”.
Kita tidak benar-benar tahu siapa pihak dominan yang menggerakkan harga dan bagaimana struktur pasarnya terbentuk. Bahkan stablecoin yang tampak stabil di permukaan, menyimpan risiko besar dalam hal transparansi cadangan.
Apalagi aset kripto umumnya tidak memiliki nilai yang stabil. Pergerakannya bisa sangat tajam dalam waktu singkat, dipengaruhi oleh sentimen pasar global, spekulasi, dan bahkan cuitan tokoh tertentu.
Ketika nilai alat tukar tidak bisa diprediksi, maka stabilitas transaksi menjadi taruhan yang bermuara pada kerugian bagi konsumen maupun pelaku usaha.
Kehadiran kripto sebagai sumber dana pembayaran menciptakan ilusi efisiensi, serta berpotensi menyembunyikan risiko sistemik yang sulit dideteksi dengan perangkat pengawasan konvensional.
Maka kehati-hatian bukanlah bentuk ketertinggalan, tapi strategi bertahan dalam dunia yang tidak pasti.
Dengan berbagai konsideran risiko di atas, tidaklah mengherankan apabila mayoritas bank sentral mengambil posisi wait and seet sebelum mengadopsi kripto dalam lingkup sistem pembayaran.
Apalagi, dalam konteks dalam negeri, UU Mata Uang telah mengamanatkan rupiah sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah di Indonesia.
Namun, sikap konservatif tersebut tidak berarti menolak inovasi teknologi di balik kripto. Banyak bank sentral memiliki pandangan lebih positif dengan fokus pada pengembangan mata uang bank sentral atau Central Bank Digital Currency (CBDC) sebagai alternatif untuk mengimbangi perkembangan teknologi kripto.
Menurut Atlantic Council (2025), saat ini 72 negara termasuk G20 tengah terlibat dalam proyek ini, termasuk Indonesia melalui Proyek Garuda.
Pada akhirnya, membuka pintu bagi kripto sebagai sumber dana pembayaran tidak bisa dilakukan dengan gegabah. Teknologi mungkin menjanjikan efisiensi, tapi kebijakan publik bukan hanya soal tren atau adu cepat adopsi teknologi baru. Ini juga tentang menjaga stabilitas sistem keuangan nasional.
Tantangan terbesar saat ini ialah menjaga keseimbangan pedal gas inovasi dan pedal rem regulasi agar manfaat inovasi digital benar-benar bisa dinikmati tanpa menciptakan risiko sistemik.
Mengutip kata Joseph Stiglitz, peraih nobel ekonomi tahun 2001, “Inovasi keuangan tanpa regulasi adalah resep menuju instabilitas.”
Artikel ini telah dimuat di INVESTOR DAILY 15 Juli 2025