DIGITALISASI PEMBIAYAAN ULTRA MIKRO

Jul 14, 2020 | Articles on Media

Program pembiayaan ultra mikro kini berwajah baru. Pada Desember 2018 pemerintah meluncurkan ekosistem digital pembiayaan ultra mikro dengan menggandeng empat mitra perusahaan, yakni Telkom, Telkomsel, Dompet Anak Bangsa, dan Bukalapak. Sinergi ini memungkinkan debitur untuk mencairkan dana pinjaman secara non tunai.

Menunjuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 22/PMK.05/2017, pembiayaan ultra mikro merupakan penyediaan dana yang bersumber dari pemerintah atau bersama dengan pemerintah daerah dan/atau pihak lain untuk memberikan fasilitas pembiayaan kepada usaha mikro. Maksimal plafon pinjaman yang dapat diberikan sebesar Rp10 juta dengan jangka waktu kredit paling lama satu tahun.

Per November 2018 pembiayaan ultra mikro yang telah disalurkan mencapai Rp1,67 triliun dari total anggaran Rp2,5 triliun. Dalam praktiknya, pembiayaan ultra mikro disalurkan oleh Pegadaian, Permodalan Nasional Madani, dan Bahana Artha Ventura.

Selanjutnya debitur diberi pilihan pencairan dana dalam bentuk uang tunai atau uang elektronik. Skema ini masih dalam proses uji coba untuk dilihat kembali bagaimana tingkat penerimaan debitur terkait transaksi secara elektronik, serta proses perekaman dan pelaporan transaksi.

Menteri Keuangan menyatakan bentuk kolaborasi ini dirintis untuk mempercepat penetrasi keuangan inklusif. Isu ini sangat krusial, terutama bila dikaitkan dengan upaya pengentasan kemiskinan.

Keterbatasan akses jasa keuangan akibat sebaran kantor bank yang tidak merata menjadi salah satu pemicunya. Namun, seiring dengan maraknya kemunculan pemain financial technology (fintech) dan penerbit uang elektronik, praktis akar permasalahan tersebut menjadi kurang relevan lagi.

Pemilihan media uang elektronik sebagai alternatif instrumen pencairan pembiayaan tentu menarik untuk ditelaah lebih lanjut.

Bagi orang awam, uang elektronik tak ubahnya dengan rekening tabungan bank, meskipun berbeda secara substansi. Dengan batasan saldo maksimal Rp10 juta untuk uang elektronik terdaftar (registered), karakteristik ini dinilai cocok dengan spesifikasi pembiayaan ultra mikro.

BACA JUGA: ADU KUAT TEKFIN PEMBAYARAN

Argumen ini turut didukung agresifitas pertumbuhan uang elektronik. Statistik sistem pembayaran Bank Indonesia mencatat jumlah uang elektronik beredar per November 2018 sebanyak 152 juta, lebih tinggi dibanding kartu debit sebanyak 150 juta.

Seiring prospek penjualan ponsel cerdas yang semakin menggeliat setiap tahun, adopsi uang elektronik juga berpotensi tumbuh signifikan.

Mencermati langkah inovasi ini, setidaknya terdapat dua fenomena unik dari kebijakan keuangan pemerintah dalam beberapa tahun terakhir. Pertama, kerja sama pemerintah dengan pelaku fintech semakin intensif. Jika dirunut ke belakang, keseriusan pemerintah dalam pemanfaatan layanan digital semacam ini bukanlah barang baru.

Sebelumnya pemerintah telah menjalin kerja sama dengan beberapa pelaku fintech untuk memasarkan Saving Bond Ritel dan Sukuk Tabungan. Pelaku fintech tersebut diantaranya Bareksa, Tanamduit, Investree, dan Modalku.

Kedua, transaksi non tunai kian eksis dalam tubuh birokrasi. Jauh sebelum model pencairan pembiayaan secara non tunai digagas, pemerintah telah mengimplementasikan sejumlah beleid non tunai.

Sebut saja Program Keluarga Harapan, Bantuan Pangan Non Tunai, kewajiban pembayaran non tunai di seluruh ruas jalan tol, elektronifikasi penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah, serta penggunaan kartu kredit untuk transaksi belanja Kementerian dan Lembaga.

Keberanian pemerintah untuk menerapkan kebijakan non tunai dalam pembiayaan ultra mikro tentu patut diapresiasi. Namun upaya terobosan ini akan mendapat tantangan utama dari preferensi masyarakat dalam bertransaksi.

Mengutip laporan survei “Digital Payments: Thinking beyond Transactions”, PayPal menemukan bahwa 73% penduduk Indonesia masih lebih menyukai transaksi tunai. Angka ini lebih tinggi dibandingkan rata-rata penduduk Asia pada umumnya yang mencapai 57%.

Budaya cash and carry dan rendahnya literasi keuangan berpotensi menyurutkan minat debitur menggunakan skema pencairan pembiayaan via uang elektronik.

BACA JUGA: BANK DIGITAL ALA STARTUP

Lantas, apa solusinya? Kesuksesan program ini akan bergantung pada kemampuan penyedia aplikasi merangkul para pelaku usaha untuk bergabung dalam platform belanja daring.

Sebagai salah satu pusat perbelanjaan daring, Bukalapak mengembangkan fitur Mitra Warung. Fitur ini bisa dipakai pemilik warung dagang tradisional untuk memesan barang dagangan, terhubung dengan penyedia pembiayaan ultra mikro, dan melayani pembayaran aneka transaksi dengan teknologi finansial.

Telkom selaku pemilik platform serupabernama Blanja.com tentu dapat menerapkan skema serupa dalam menggaet minat debitur. Sementara itu, Dompet Anak Bangsa selaku penerbit uang elektronik Go-Pay juga dapat memanfaatkan fitur pesan antar makanan online, Go-Food untuk merekrut debitur mikro di bidang kuliner.

Kolaborasi Fintech

Pertanyaan lanjutan yang acapkali menjadi topik diskursus, apakah mungkin program pembiayaan ultra mikro ke depan sepenuhnya disalurkan oleh pelaku fintech peer to peer (P2P) lending? Melihat tren yang tengah berkembang, apalagi jika tingkat adopsi pencairan non tunai cukup tinggi, maka peluang kolaborasi ini sangat dimungkinkan.

Target utama pinjaman fintech memang menyasar debitur mikro. Dengan kondisi persyaratan pinjaman perbankan yang ketat, tak heran pinjaman fintech lalu menjadi opsi paling rasional untuk dipilih debitur.

Di sisi lain, rasio kredit bermasalah fintech juga relatif rendah. Mekanisme know your customer yang diterapkan oleh pelaku fintech terbukti cukup ampuh. Artinya, kekhawatiran atas risiko kerugian negara akibat kredit macet telah termitigasi dengan baik.

BACA JUGA: MENGAKSELERASI PENETRASI FINTECH PEMBAYARAN

Dari sudut pandang regulasi, PMK di atas menyebut salah satu penyalur pembiayaan ultra mikro ialah Lembaga Keuangan Bukan Bank. Sejumlah kriteria penyalur yang diatur dalam PMK juga terbilang mudah untuk dipenuhi.

Diantaranya memiliki pengalaman pembiayaan UMKM minimal dua tahun, mampu melakukan pendampingan, berkinerja baik dan terhubung dengan Sistem Informasi Kredit Program. Implikasinya, ruang kerja sama dengan pelaku fintech sebagai penyalur masih terbuka lebar.

Secara historis, keberpihakan pemerintah terhadap keterlibatan pelaku fintech juga telah terlihat dalam skema penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR). Bahkan beberapa bank besar tercatat menjalin kerja sama dengan pelaku fintech melalui linkage program dalam program ini.

Misalnya Bank Mandiri dengan Amartha Mikro Fintech dan Bank Bukopin dengan TaniFund. Momentum kolaborasi fintech dalam program pembiayaan ultra mikro nampaknya hanya masalah menunggu waktu. Semoga saja.

Artikel ini telah dimuat di Harian INVESTOR DAILY 2 Februari 2019

Remon Samora

Remon Samora

I am a digital economy enthusiast, especially financial technology. Writing article for media is my side activity besides working as central bankers. I believe everyone must be 1% Better every single day in order to become the best version of ourself.

Social Media

Remon Samora

@remon.samora