Inovasi penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) kembali digulirkan. Untuk mengakselerasi proses distribusi pinjaman, pemerintah menggandeng empat pemain usaha rintisan raksasa. Keempatnya ialah Gojek, Grab, Tokopedia, dan Shopee. Total KUR yang disalurkan sebesar Rp31,08 miliar bagi 294 debitur UMKM. Penyaluran akan dilakukan oleh Bank Mandiri, BRI, dan BNI.
Kehadiran terobosan ini tidak terlepas dari realisasi penyaluran KUR yang masih belum optimal. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mencatat total penyaluran KUR hingga September 2020 baru mencapai Rp111,21 triliun atau 58,53% dari target Rp190 triliun. Pinjaman tersebut disalurkan kepada 3,28 juta debitur. Implikasinya, diperlukan sebuah langkah out of the box untuk mempercepat penyerapan dana KUR.
Apabila dilihat dari sisi nominal dan total debitur, jumlah rencana penyaluran KUR lewat empat usaha rintisan itu tergolong masih minim. Kabar baiknya, pemerintah menyebut upaya tersebut masih merupakan tahap awal. Ke depan, langkah ini akan ditindaklanjuti dengan penyaluran KUR kepada 12 juta UMKM mitra platform digital.
Secara historis, kolaborasi pemerintah dengan pemain usaha rintisan dalam program penyaluran pembiayaan sejatinya bukanlah barang baru. Pada Desember 2018 pemerintah meluncurkan ekosistem digital pembiayaan ultra mikro dengan menggaet Gopay dan Bukalapak. Sinergitas ini memungkinkan debitur untuk mencairkan dana pinjaman secara nontunai.
BACA JUGA: BUKALAPAK DAN KINERJA INDUSTRI E-COMMERCE
Jika ditelisik lebih lanjut, kerja sama pemerintah dengan empat usaha rintisan di atas dinilai sudah tepat. Pasalnya ekonomi digital adalah keniscayaan di masa depan, terutama saat pandemi Covid-19.
Seiring instruksi work from home yang mendorong terjadinya perubahan perilaku belanja konsumen, migrasi pelaku UMKM dari sistem perdagangan luring ke daring diyakini akan terus meningkat.
Data Bank Indonesia menunjukkan total nilai transaksi oleh 14 pelaku e-commerce terbesar di Indonesia sepanjang Januari-Juli 2020 sebesar Rp168,45 triliun atau naik 20,35% dibanding periode sama tahun lalu yang mencapai Rp139,97 triliun.
Setali tiga uang, hasil survei We Are Social melaporkan pemanfaatan internet untuk kebutuhan bisnis mengalami lonjakan drastis selama pandemi. Alhasil, porsi perdagangan daring terhadap total penjualan ritel naik menjadi 5%, dari sebelumnya di kisaran 2% pada 2-3 tahun silam.
Pada tataran teknis, usaha rintisan memiliki satu keunggulan dibandingkan perbankan pada umumnya. Bermodalkan big data dan kecerdasan buatan, metode credit scoring yang lebih akurat dapat dikembangkan. Informasi mengenai jumlah penghasilan dan pola transaksi juga tercatat dengan rapi dan lengkap.
Kemampuan bayar pelaku UMKM dapat dievaluasi dengan mudah sehingga potensi kredit macet dapat ditekan. Pada akhirnya data tersebut menjadi bahan analisis perbankan dalam menyalurkan dana KUR.
Meski tampak menjanjikan, namun manfaat dari cita-cita tersebut belum akan terealisasi secara signifikan dalam jangka pendek. Penyebabnya ialah minimnya pelaku UMKM yang telah go digital.
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah menyebut baru 13% atau 8 juta pelaku UMKM yang telah memanfaatkan ekosistem digital. Sebaliknya, 87% sisanya masih sangat bergantung pada interaksi fisik dalam proses bisnisnya.
BACA JUGA: EFEK PENGGANDA MERGER & AKUISISI TEKFIN
Bak gayung bersambut, usulan perluasan kerja sama pemerintah dengan pemain teknologi finansial (tekfin) dalam penyaluran KUR menjadi topik diskursus menarik.
Dalam konteks tekfin di bidang sistem pembayaran, wacana tersebut terbilang sangat feasible.Kemiripan keunggulan berupa kelengkapan data seperti pemain e-commerce dan ride hailing menjadi faktor pendukung utamanya.
Pertimbangan lainnya ialah masifnya pemain UMKM yang telah mengadopsi instrumen pembayaran nontunai, misalnya QRIS (QR Code Indonesian Standard). Statistik Bank Indonesia menunjukkan sudah lebih dari 3,7 juta pedagang yang terdaftar menggunakan QRIS per Juni 2020, naik 31% dari akhir Februari 2020.
Penggunaan QRIS masih didominasi oleh pengusaha mikro yang umumnya bergerak di sektor perdagangan seperti toko kelontong, warung, dan toko makanan dengan total lebih dari 2,5 juta pedagang.
Skenario berbeda justru terjadi pada industri tekfin lending. Berkaca pada data Otoritas Jasa Keuangan, usulan kerja sama dengan tekfin lending masih memerlukan persiapan lebih matang.
Satu pekerjaan rumah yang masih mengganjal ialah tren peningkatan rasio pinjaman macet di atas 90 hari. Per Juli 2020 rasio ini tercatat naik menjadi 7,99% atau yang tertinggi dalam satu tahun terakhir.
Kekhawatiran tersebut tentu dapat dipahami. Dana KUR berasal dari pemerintah yang harus dipertanggungjawabkan. Anggaran subsidi bunga KUR dalam APBN 2020 sebesar Rp13,9 triliun. Sementara dari segi kualitas kredit, penyaluran KUR dinilai sangat baik dengan dengan tingkat Non Performing Loan (NPL) atau kredit bermasalah berkisar 0,87%.
BACA JUGA: MENAKAR KELAYAKAN BANK DIGITAL
Di sisi lain, harus diakui pula bahwa model bisnis tekfin lending memiliki kemampuan yang belum dimiliki oleh mayoritas lembaga keuangan. Dengan bantuan teknologi, tekfin lending mampu menjangkau pelaku usaha berskala mikro hingga pelosok daerah.
Apalagi dengan indeks inklusi keuangan tahun 2019 yang baru mencapai 76,19%, diperlukan keterlibatan banyak pihak agar pintu akses terhadap jasa keuangan semakin terbuka lebar.
Artikel ini telah dimuat di Harian BISNIS INDONESIA 14 Oktober 2020