EFEK PENGGANDA MERGER & AKUISISI TEKFIN

Jan 10, 2021 | Articles on Media

Aksi merger dan akuisisi teknologi finansial (tekfin) diprediksi bakal marak di 2021. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berencana meningkatkan batas modal minimum pendirian perusahaan tekfin lending dari sebelumnya Rp2,5 miliar menjadi Rp15 miliar.

Alhasil, merger dan akuisisi merupakan salah satu opsi paling rasional bagi tekfin untuk memperoleh tambahan modal.

Argumen yang melatarbelakanginya sangat beralasan. Ketimpangan kemampuan pelaku tekfin dalam menyalurkan pinjaman menjadi pemicunya.

Data regulator menunjukkan 21 pemain atau sekitar 13,5% dari total 154 penyelenggara menguasai 80% pinjaman. Bahkan, pangsa pasar sepuluh pelaku terbesar mencapai 61,68%. Artinya, kualitas pemain kecil harus diperkuat untuk menumbuhkan kondisi persaingan industri yang sehat.

Dalam konteks ketahanan industri, momentum rencana penerbitan ketentuan yang baru dinilai sudah tepat. Pasalnya nilai pinjaman tekfin terus mengalami pertumbuhan signifikan, namun diikuti oleh penurunan kualitas kredit.

OJK mencatat total akumulasi penyaluran pinjaman per Oktober 2020 mencapai Rp137,66 triliun atau tumbuh 68,91% dibandingkan akhir tahun 2019. Di sisi lain, Tingkat Wanprestasi 90 hari (TWP 90) justru naik dua kali lipat dari 3,65% menjadi 7,58%.

Implikasinya, risiko operasional pemain tekfin kecil meningkat apabila tidak disertai kewajiban penguatan modal.

Alih-alih hanya demi pemenuhan regulasi, merger dan akuisisi selayaknya dipandang sebagai strategi pertumbuhan tekfin dalam jangka panjang.

Dua aksi korporasi ini sejatinya akan membuka peluang untuk bersinergi menciptakan skala ekonomis yang lebih besar. Simbiosis mutualisme berupa penggabungan spesialisasi, efisiensi biaya, dan peningkatan penguasaan pasar menjadi pertimbangan utamanya.

BACA JUGA: MUSIM SEMI INDUSTRI TEKFIN

Sementara dari sudut pandang industri, pamor industri tekfin yang sedang naik daun akan menjadi dalih utama yang mendasari tren merger dan akuisisi tekfin ke depan. Studi bertajuk “Global Covid-19 FinTech Market Rapid Assessment Study” melaporkan 92,3% platform tekfin global tumbuh pesat di tengah pandemi Covid-19.

Setali tiga uang, laporan e-Conomy SEA 2020 terbitan Google, Temasek dan Bain & Company menyebut penggunaan layanan digital di Indonesia melonjak 37% sejak pandemi Covid-19. Menariknya, 93% responden Tanah Air menyatakan tetap akan menggunakan layanan teknologi saat pandemi Covid-19 usai.

Berdasarkan hasil riset tersebut, tidaklah mengherankan jika korporasi raksasa akan memanfaatkan momentum ini untuk melakukan strategi ekspansi dan diversifikasi usaha.

Sejumlah grup konglomerasi bahkan dikabarkan telah terjun ke bisnis ini sebelumnya. Misalnya, Mayapada (Pohon Dana), Sinarmas (Danamas), Astra (Astra Welab Digital), Djarum (KlikAcc) dan Triputra (Batumbu).

Korporasi perbankan disinyalir sebagai pihak yang paling berminat dalam menangkap peluang ini. Apalagi era bank digital adalah keniscayaan di masa depan.

Para bankir diperkirakan akan lebih memilih adopsi teknologi lewat akuisisi tekfin daripada sibuk membangun sistem credit scoring dari awal. Selain lebih cepat dan efisien, perbankan dapat lebih berfokus pada kompetensi inti mereka.

BACA JUGA: KENORMALAN BARU BERNAMA BANK DIGITAL

Bak gayung bersambut, tren kolaborasi tekfin dengan usaha rintisan (startup) turut memperkuat wacana merger dan akuisisi tekfin.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa layanan pinjaman menjadi salah satu fitur wajib di samping produk utama usaha rintisan. Motifnya untuk melengkapi ekosistem bisnis yang tengah dibangun, serta memudahkan konsumen dalam bertransaksi.

Akuisisi tekfin Taralite oleh pemain dompet elektronik, Ovo bisa menjadi contoh studi kasus. Lewat kerja sama ini, pengguna Ovo bisa mengajukan pinjaman ke Taralite lewat aplikasi Ovo. Bahkan, pengguna Ovo bisa mencicil produk yang dibeli lewat e-commerce Tokopedia karena kedua perusahaan sudah bekerja sama.

Ekspansi luar Jawa

Dari perspektif makro, aksi merger dan akuisisi tekfin memberikan angin segar terhadap upaya pemerataan inklusi keuangan Tanah Air. Hasil Survei Nasional Literasi Keuangan 2019 menunjukkan indeks inklusi keuangan sebesar 76,19%.

Artinya, baru 76 dari 100 orang penduduk Indonesia yang sudah terhubung dengan layanan keuangan formal. Angka ini meningkat dibandingkan indeks tahun 2016 yang baru mencapai 67,8%.

Sayangnya, hasil survei tersebut juga mengungkapkan adanya kesenjangan tingkat inklusi keuangan. Rata-rata indeks provinsi di Jawa sudah di atas 80%, sementara provinsi di luar Jawa, terutama di kawasan timur Indonesia masih berkutat di angka 60-75%. Segendang sepenarian, statistik OJK juga menunjukkan 85% penyaluran pinjaman tekfin masih terkonsentrasi di Jawa.

Pekerjaan rumah krusial ke depan ialah memastikan agar modal tekfin yang semakin tebal pasca merger dan akuisisi berdampak positif dalam menciptakan peluang baru di luar Jawa.

Berkaca pada karakteristik pemain eksisting dalam industri tekfin, terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan agar aksi merger dan akuisisi memberikan efek pengganda (multiplier effect) yang lebih besar.

Pertama, merger antar tekfin sejenis (merger horizontal) cenderung kurang memberikan skala ekonomis secara optimal. Dengan layanan yang bersifat homogen, keunggulan kompetitif dan diferensiasi antar pemain nyaris tidak ada.

Pada akhirnya manfaat yang diperoleh hanyalah penambahan modal, tanpa ada penggabungan kompetensi. Implikasinya, pemerataan inklusi keuangan niscaya masih jauh dari harapan.

BACA JUGA: MENGINCAR PASAR NEGERI ‘WAKANDA’

Kedua, mendorong akuisisi tekfin oleh Bank Pembangunan Daerah (BPD), khususnya di luar Jawa. Sinergitas keduanya diyakini akan mampu mengakselerasi rencana transformasi digital BPD.

Patut dipahami bersama bahwa tekfin memiliki kelebihan berupa teknologi yang menjadi kendala mayoritas BPD. Di sisi lain, pasar tekfin juga akan semakin meluas berkat keunggulan BPD terkait pemahaman lokal dan aspek risiko industri di daerah.

Ketiga, suntikan dana pasca merger dan akuisisi tekfin seyogyanya diprioritaskan untuk akuisisi pelanggan. Dengan struktur mirip pasar persaingan sempurna, akuisisi pelanggan tekfin difokuskan pada upaya perluasan kerja sama dengan lembaga keuangan.

Misalnya, kolaborasi dengan Bank Perkreditan Rakyat di wilayah geografis tertentu lewat skema linkage program.

Mencermati tren yang tengah berkembang, probabilitas merger dan akusisi tekfin di masa depan terbilang cukup besar. Tambahan modal lewat aksi merger dan akusisi tidak hanya memastikan keberlangsung usaha tekfin di masa krisis, tetapi juga untuk mewujudkan cita-cita inklusi keuangan yang lebih merata di masa depan.

Artikel ini telah dimuat di Harian KONTAN 11 Januari 2021

Remon Samora

Remon Samora

I am a digital economy enthusiast, especially financial technology. Writing article for media is my side activity besides working as central bankers. I believe everyone must be 1% Better every single day in order to become the best version of ourself.

Social Media

Remon Samora

@remon.samora