“Indonesia-Africa forever”, kutipan sambutan Wakil Presiden Jusuf Kalla ketika membuka acara Indonesia-Africa Forum 2018. Terminologi tersebut menjadi menarik lantaran diadaptasi dari ungkapan dalam film Black Panther, yaitu “Wakanda forever”.
Menurut Wapres, negara-negara di Afrika mirip dengan negeri fiksi ‘Wakanda’ karena memiliki kekayaan alam dan potensi ekonomi yang besar.
Dalam jangka panjang potensi ekonomi di Afrika terbilang cukup menjanjikan. Dalam laporan bertajuk “Lions On The Move II: Realizing The Potential of Africa’s Economies”, Mckinsey memprediksi total belanja rumah tangga dan usaha di Afrika pada 2025 akan mencapai USD5,6 triliun.
Selain itu, Afrika diyakini mampu melipatgandakan keluaran manufakturnya menjadi US$930 miliar pada 2025 atau tumbuh lebih dari 80% dibandingkan 2015 sebesar US$500 miliar.
Dari sisi demografi, Population Reference Bureau menyebutkan Afrika saat ini dihuni sekitar 1,2 miliar orang. Organisasi ini meramalkan jumlah penduduk Afrika akan melonjak menjadi 2,5 miliar jiwa pada 2050. Artinya, 40% penduduk dunia berada di Benua Hitam dalam tiga dekade ke depan.
Dengan melihat peluang yang begitu besar, praktis keluhan Presiden Jokowi terkait kinerja ekspor Indonesia dapat dipahami. Presiden menyebut potensi pasar di Afrika mencapai US$550 miliar, sementara nilai ekspor Indonesia ke Afrika sebesar US$4 miliar.
Tak ayal Kementerian Perdagangan ditugaskan untuk menjalankan strategi ekstensifikasi pemasaran ekspor ke negara tujuan non tradisional, salah satunya Benua Afrika.
BACA JUGA: EKSPANSI AKSES KEUANGAN PENJALA
Bank Indonesia mencatat nilai ekspor non migas Indonesia ke Afrika pada 2017 sebesar US$4,8 miliar atau tumbuh 18% dibanding tahun sebelumnya. Apabila dibedah lebih lanjut, komoditas ekspor non migas unggulan ke Afrika bertumpu pada komoditas CPO dengan porsi lebih dari 50%.
Secara historis, kinerja ekspor CPO Indonesia ke Afrika terbilang lumayan moncer. Nilainya mencapai US$2,58 miliar atau tumbuh 39%.
Mengutip data yang dirilis oleh International Trade Statistic (ITC), Indonesia menempati peringkat satu eksportir CPO ke Afrika Melihat perekonomian Afrika yang diperkirakan terus menggeliat, peluang kenaikan ekspor CPO di masa depan sangat prospektif.
Namun demikian, besarnya ketergantungan ekspor pada komoditas CPO tentu tidak seyogyanya dibiarkan terus berlangsung. Volatilitas harga di pasar internasional dan isu lingkungan bisa menjadi penghambat pengembangan bisnis CPO.
Untuk itu, hasrat pemerintah untuk melebarkan sayap ekspor ke Afrika harus disertai dengan tiga langkah inisiatif.
Pertama, diversifikasi produk unggulan. Selain CPO, komoditas ekspor utama Indonesia berupa consumer goods diantaranya sabun, kopi dan makanan olahan. Jumlah kelas menengah Afrika diperkirakan mencapai 210 juta penduduk pada 2020 atau meningkat 40% dibandingkan satu dekade silam.
Jumlah tersebut kemudian akan tumbuh secara eksponsensial menjadi 490 juta penduduk pada 2040. Dengan dukungan daya beli yang terus melambung, produsen consumer goods tanah air wajib berbenah diri untuk menggarap peluang ini.
Sementara itu, jika dilihat dari kacamata global, ITC mencatat komposisi terbesar komoditas impor yang dibutuhkan negara-negara Afrika terdiri dari mesin, peralatan elektronik dan otomotif. Pelaku usaha tanah air sebenarnya telah mengekspor ketiga komoditas tersebut.
BACA JUGA: MENYOAL DAYA SAING BANK KECIL
Sebagai contoh, ekspor mobil dan sepeda motor Indonesia ke Afrika pada 2017 sebesar US$58 juta dan US$14 juta. Sayangnya nilai tersebut masih jauh tertinggal jika dibandingkan dengan Tiongkok, Perancis dan Jerman.
Kabar optimisme berhembus pasca pencanangan Making Indonesia 4.0. Sektor industri otomotif dan elektronik dipilih menjadi salah satu industri prioritas yang menjadi fokus pengembangan ke depan.
Dengan mengadopsi teknologi revolusi industri keempat (artificial intelligence, internet of things dan robotics), niscaya daya saing produk otomotif dan elektronik Indonesia meningkat sehingga menambah market share ekspor Indonesia.
Kedua, reorientasi pasar baru. Berdasarkan negara tujuan, sebagian besar ekspor non migas Indonesia ditujukan ke Mesir (26%), Afrika Selatan (14%) dan Nigeria (7%). Apabila dianalisis dari tataran makro, terdapat beberapa wilayah lain di luar ketiga negara tersebut yang disinyalir dapat menjadi ceruk pasar potensial.
Dengan menggabungkan pendekatan pertumbuhan ekonomi dan kenaikan ekspor Indonesia, Kenya dan Tanzania berpeluang menjadi dua pasar baru di Afrika. Pertumbuhan ekonomi Kenya tercatat sebesar 6,1% dengan kenaikan ekspor Indonesia sebesar 45%.
Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Tanzania tercatat sebesar 7,2% dengan kenaikan ekspor Indonesia sebesar 80%. Dengan pangsa pasar ekspor Indonesia masing-masing sebesar 6%, Kenya dan Tanzania patut dipertimbangkan oleh para pengusaha domestik sebagai bidikan baru.
BACA JUGA: KETENAGAKERJAAN DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0
Ketiga, ekspansi infrastruktur keuangan. Pemerintah telah memberikan penugasan khusus kepada Indonesia Eximbank untuk memfasilitasi pembiayaan perdagangan dengan Afrika.
Dalam implementasinya, Eximbank bekerja sama dengan Standard Chartered Bank dalam memberikan garansi dan pembiayaan, serta menjembatani kegiatan bisnis antara Indonesia dan Afrika.
Ke depan, diharapkan penugasan khusus ini dapat diperluas cakupannya hingga melibatkan bank-bank BUMN dan bank swasta nasional. Semakin banyak bank yang turut terlibat, semakin luas pula opsi pembiayaan dan kerja sama perdagangan yang mungkin akan terjalin.
Menaklukan pasar negeri ‘Wakanda’ memang bukanlah perkara mudah. Banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.
Namun urgensi pilihan ini semakin mengemuka tatkala negara-negara barat yang menjadi pasar tradisional Indonesia mulai menerapkan proteksionisme. Jika peluang ini tidak segera ditangkap, jangan heran bila negara lain satu langkah di depan kita.
Artikel ini telah dimuat di Harian BISNIS INDONESIA 5 Mei 2018